Narasi Subversif Mitos Baru di Era Digital

Dalam esai ini saya mencoba mengulas informasi internet atau sekarang familiar diistilahkan dengan konten, yang begitu cepat, luas, dan masif diproduksi. Konten yang berbentuk transmisi data digital dapat menyimpan rekaman suara, tulisan, dan video. Dalam ketiga rekaman tersebut, aspek sistem tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal, dapat memenuhi kriteria konten sebagai teks, yakni dokumen rekaman atas peristiwa bahasa yang bertujuan menyampaikan sesuatu.

              Keberlimpahan konten yang memiliki relevansi sosial menandakan tindakan nyata manusia dengan ekspresi bahasa yang bersifat simbolis. Idealnya, tujuan pemroduksi melalui konten sampai pada pengonsumsi. Begitu pun sebaliknya, tujuan pengonsumsi  konten tercapai manakala konten yang diproduksi menyediakannya. Namun, kesalahpahaman dimungkinkan terjadi karena konteks peristiwa bahasa terjadi dalam dunia maya.

Fenomena di atas menjadi dasar penelusuran esai ini dengan berpijak pada empat asumsi, yakni (1) konten sebagai teks telah kukuh dengan acuan-diri dan makna otonom ketika diunggah ke dunia maya, (2) narasi subversif terjadi dalam penerimaannya ketika memperlakukannya sebagai teks fiksi, (3) gejala share ‘berbagi’ dan reshare ‘berbagi ulang’ konten membuat kodifikasi masif narasi subversif, dan (4) situasi ini telah membuat konten sebagai narasi subversif sejajar dengan narasi ambivalen yang dimiliki mitos.

 

Konten sebagai Teks

              Konten adalah segala informasi yang terdapat dalam internet. Konten berbentuk dokumen transmisi digital merupakan hasil olah teknologi informasi yang merekam wacana ‘peristiwa bahasa’ dalam bentuk suara, gambar, dan video. Dengan demikian, konten dapat dikatakan sebagai teks karena dokumen tersebut memiliki kode bahasa sebagai seperangkat sistem tanda simbolis di luar sistem tanda bahasa.

Konten sebagai teks menyertakan aspek-aspek pemroduksian konten tersebut. Dengan kata lain, konten menyertakan konteks. Aspek-aspek konteks sebuah konten menyertakan (1) pemroduksi, (2) konten, (3) pengonsumsi, dan (4) relevansi sosial budaya sebagai acuan simbolis pada saat pemroduksian konten tersebut.

Konten yang diunggah di internet setidaknya  telah (1) memisahkan makna tujuan pemroduksi yang temporal ‘terbatas pada waktu dan tempat saat konten dibuat’, (2) mencukupkan acuan diri dan maknanya dengan kegramatikalan sistem tanda bahasa dan ikonisitas gambar hasil transmisi digital, dan (3) menghubungkannya dengan dunia luar sebagai ekspresi simbolis produk sosial dan budaya.

              Sementara itu, pengonsumsi harus menafsir konten mulai dari satuan terkecil pembentuk wacana, yakni kalimat. Satuan gramatikal bahasa ini dibangun setidaknya oleh dua unsur, yakni subjek dan predikat. Selanjutnya, kohesi ‘kesatuan gagasan’ dan koherensi ‘kepaduan makna’ antarkalimat menyusun satuan gramatikal paragraf. Kohesi dan koherensi antarparagraf menyusun keutuhan sebuah konten yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

Dapat disimpulkan bahwa konten sebagai teks dapat kita pahami dengan menempatkannya sebagai sebuah wacana yang dinarasikan. Referensi diri dan makna otonom konten dijamin oleh kegramatikalan kalimat dan ikonisitas gambar transmisi digital. Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, konten dapat dikonsumsi asalkan memiliki akses internet.

 

Narasi Subversif

              Narasi ‘kisah’ dibangun dari hubungan dialektis penamaan (nominalisasi) dan pelabelan (predikat). Nominalisasi dengan kata benda dan kata ganti orang menyiratkan adanya pelaku (Subjek kalimat) dan predikat memberi adanya pelabelan (Predikat kalimat) yang mengacu pada identifikasi (kata benda), peristiwa (kata kerja), kualitas (kata sifat), dan kuantitas (kata bilangan).

Sebagai contoh, Nomina Chairil sebagai nama orang dapat diganti dengan dia sebagai kata ganti. Nomina Chairil atau kata ganti dia dapat dihubungkan dengan nomina penyair, verba menulis, atau adjektiva cerdas. Pernyataan “Chairil atau dia (seorang) penyair“, “Chairil atau dia menulis” atau “Chairil atau dia cerdas” sempurna menjadi narasi manakala ada deskripsi latar waktu dan tempat. Hal ini menandai satuan gramatikal kalimat sebagai pembangun narasi sederhana. Kombinasi antarkalimat menyusun paragraf dan kombinasi antarparagraf menyusun keutuhan suatu narasi.

Ragam narasi dapat dilihat dari hubungannya dengan realitas yang dinarasikan. Setidaknya narasi dapat mengacu pada realitas faktual dan realitas fiksional. Narasi faktual dapat dibedakan dalam strategi penulisannya, yakni 1) narasi yang membawahkan persepsi subjektif narator, seperti dalam teks berita, teks sejarah, termasuk teks ilmu pengetahuan, dan 2) narasi yang mengeksplorasi persepsi narator dalam strategi penulisannya, seperti dalam teks berita feature, esai, teks cerita sejarah, teks biografi, dsb. Pelibatan persepsi subjektif narator dalam menyusun narasi dalam deskripsi latar melahirkan situasi dan suasana.

Sementara itu, narasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan kenyataan, yang menghadirkan kreativitas imajinasi, banyak dieksplorasi dalam karya seni dan sastra. Situasi dan suasana dalam narasi fiksional dimanfaatkan untuk menarik persepsi pembaca, pendengar, atau penonton untuk (seolah-olah) hadir dalam kisah yang sebenarnya fiktif. Narasi jenis ini tidak berusaha menghadirkan realitas faktual. Narasi jenis ini menempatkan penanggap untuk masuk dan merasakan sensasi peristiwa dan masalah serta meneguhkan keyakinan bahwa kisah ini nyata meski dalam logika imajinasi.

Dari penjelasan di atas, ragam narasi fiksional yang tidak memiliki referensi indeksikal dengan kenyataan, seperti karya novel,  telah biasa dibaca. Setiap orang yang membaca novel, sebagai contoh, menyadari bahwa kegiatan membacanya akan sampai pada dunia nyata hasil reka kreatif dunia imajinasi penulisnya. Kesadaran ini memiliki hubungan taklangsung atau bersifat simbolis dengan realitas objektif yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, tidak ada relasi indeksikal atau hubungan sebab-akibat langsung antara dunia narasi fiksional dan realitas objektif.

Dengan demikian, kebenaran narasi fiksional tidak menuntut adanya pembuktian faktual,  tetapi hanya menuntut kesadaran bahwa pembaca masuk ke dalam dunia narasi. Praanggapan sebelum membaca narasi fiksional ini menjadi seperangkat pengetahuan atau konvensi pembacaan dan penafsiran atas hal tersebut. Namun, dalam proses penafsiran, sering ditemukan bahwa ragam narasi faktual pun diperlakukan seperti ragam narasi fiksional. Sebagai contoh, pernyataan Wiwi adalah presiden boneka yang dipasang oleh Sembilan Naga untuk mengamankan kepentingan ekonominya atau pernyataan Wowo adalah seorang jenderal purnawirawan yang gagal menjadi presiden karena tersandung kasus HAM di era Orde Baru dikonstruksi sedemikian rupa melalui kecanggihan teknologi informasi dalam berbagai bentuk konten di media sosial, seperti dalam berita, caption, meme, video, dsb.

Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa internet telah memproduksi konten-konten sebagai ekspresi simbolik para penggunanya (pemroduksi-pengonsumsi) dalam narasi yang mirip fiksi, yang tidak menuntut perjumpaan atau kontak langsung dengan narasumber, bersifat simbolik dan tidak perlu pembuktian faktual, dan menuntut kebenaran dalam realitas simbolik (citraan digital),  serta kita dengan sadar atau taksadar meyakini bahwa realitas itu ada. Model interpretasi narasi fiksional yang diterapkan ke narasi faktual dalam konten-konten internet pun terjadi. Sebabnya, sifat internet yang cepat, luas, dan masif dalam penyebaran informasi telah membuat fakta dan fiksi menjadi bias dan cenderung subversif. Sementara di pihak lain, keberlimpahan konten telah memosisikan pengonsumsi konten untuk mendapat informasi dengan cepat, tepat, dan praktis.

Kodifikasi Masif Konten

              Model komunikasi internet yang cepat, luas, dan masif mengakibatkan komunikasi yang dikemas dengan tampilan konten yang serba praktis. Selain itu, berbagai aplikasi penyedia menu konten berlomba menawarkan beragam isi, mulai dari jurnal pribadi, berbagi konten, jejaring sosial, dsb. Bahkan, kita sangat dimanjakan mendesain sebuah konten stiker, pengaturan situs atau blog, dan dokumen rekam pesan suara atau video  hanya dengan mengunduh layanan aplikasi templat.

              Selain itu, kita bisa saat itu juga mengunggah ulang (reshare) sebuah konten sebagai pesan pribadi atau umum dalam berbagai layanan aplikasi media sosial. Gejala unggah dan unggah ulang menjadi hal yang biasa kita lakukan sebagai warganet. Pada situasi ini konten yang berkarekter cepat-luas-masif telah mengalami proses penggandaan berlipat-lipat. Kodifikasi masif konten ini juga dipengaruhi tradisi tutur masyarakat kita yang begitu kuat. Sampai-sampai,  seorang akademisi dari Universitas Indonesia menduga bahwa teks seperti karya sastra yang seharusnya hadir dari tradisi tulis (maksudnya berpikir reflektif dan kritis), masih didominasi oleh tradisi tutur atau kelisanan (maksudnya praktis dan fungsional). Padahal, ulasan ini ditemukan dalam objek teks cetak sebelum marak berkembang teks digital versi internet.

              Gambaran unggah dan unggah ulang ini menandai ratusan ribu bahkan jutaan ribu transaksi ekonomi.Oleh karena itu, fasilitas internet bukan perkara gratis. Kita mengakses internet tentu membeli paket data. Simbiosis mutualisme terjadi ketika seseorang mampu memformulasikan ide kreatifnya dan hal tersebut menjadi keinginan khalayak ramai, para pemilik jasa layanan data akan mempersunting Anda dengan mahar yang superrealist, melampaui kerja formal di lembaga atau instansi resmi. Dapat dikatakan bahwa lalu lintas komunikasi internet (traffict log in) menandai bukan sekadar transaksi konten belaka, melainkan juga transaksi kapital dalam bentuk digital. 

Mitos Baru

Dalam bagian akhir ini akan diulas bagaimana narasi yang dihasilkan dari kegiatan interpretasi atas konten (realitas simbolik) mampu mengonstruksi realitas subjektif.  Realitas subjektif mengalami kodifikasi masif melalui serangkaian signifikasi atas ekspresi simbolik konten dalam penerimaan atau resepsi penanggap. Tentu, penanggap di sini adalah pengonsumsi konten yang sadar menggunakan internet, terutama medsos, tetapi dalam proses penafsiran konten sering terjebak dalam prosedur penafsiran fiksi sehingga menghasilkan narasi subversif.

Peristiwa interpretasi seperti ini mirip dengan peristiwa penafsiran atas narasi ambivalen yang dikenal di masyarakat dengan mitos. Ambivalensi mitos terjadi karena ketegangan terma mitos, yakni (1) narasi yang berhubungan dengan sistem keyakinan atau agama dan (2) narasi yang direduksi sebagai fiksi atau cerita bohong. Kedua terma mitos ini menuntut kerelaan kita untuk memperlakukannya sebagai narasi tanpa pembuktian faktual. Namun, tidak  semua narasi yang ada dalam medsos dapat menjadi mitos. Setidaknya, kredibilitas pemroduksi, baik individu atau organisasi dapat menjamin realitas simbolik konten sebagai informasi yang referensi dan maknanya mengacu pada realitas objektif.

Akhirnya, diperlukan kajian lebih mendalam dan spesifik atas narasi dalam relasi horizontal antarnarasi (relasi sintagmatik) dan relasi vertikal antarkekuatan sosial dalam struktur kemasyarakatan (relasi paradigmatik). Oleh sebab itu,  narasi subversif yang hampir seperti mitos adalah konsumsi sehari-hari masyarakat di era digital. Kita dapat menyebut dalam deretan panjang narasi yang hampir menjadi mitos, seperti narasi komunis versus khilafah, narasi cebong versus kadrun, dsb. yang mengalami kodifikasi masif, terutama di media sosial. (21/11)


Sumber bacaan:

  1. Paul Ricoeur, Interpretation Theory, Discourse and The Surplus of Meaning,
  2. Sapardi Djoko Damono, Kelisanan dalam Keberaksaraan Kasus Puisi Indonesia 2,
  3. Peter L. Burger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi PengetahuanLP3ES, Jakarta, 1990

SELINGAN

Daftar Selingan

  • zoonosis = zoonosis
  • work from office = kerja dari kantor (KDK)

  • work from home = kerja dari rumah (KDR)

  • ventilator = ventilator

  • tracing = penelusuran; pelacakan

  • throat swab test = tes usap tenggorokan

  • thermo gun = pistol termometer

  • swab test = uji usap

  • survivor = penyintas

  • specimen = spesimen; contoh

  • social restriction = pembatasan sosial

  • social media distancing = penjarakan media sosial

  • social distancing = penjarakan sosial; jarak sosial

  • self-quarantine = swakarantina; karantina mandiri

  • self isolation = isolasi mandiri

  • screening = penyaringan

  • respirator = respirator

  • rapid test = uji cepat

  • rapid strep tes =t uji strep cepat

  • protocol = protokol

  • physical distancing = penjarakan fisik

  • pandemic = pandemi

  • new normal = kenormalan baru

  • massive test = tes serentak

  • mask = masker

  • lockdown = karantina wilayah

  • local transmission = penularan lokal

  • isolation = isolasi

  • incubation = inkubasi

  • imported case = kasus impor


Nizar Machyuzaar

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa