Puisi Mbeling

Setidaknya ada dua pendapat yang menjadi latar belakang mengapa puisi mbeling hadir di tengah perpuisian Indonesia. Pertama adalah pendapat yang mengaitkan fenomena perpuisian (kesusastraan) dengan fenomena sosial politik dan kedua adalah pendapat yang tidak mengaitkannya dengan faktor ekstrinsik di luar persoalan kesusastraan itu sendiri.

Pendapat dengan sudut pandang pertama diungkapkan oleh Harry Aveling (lahir di Sydney, 1942, seorang kritikus sastra, dosen di Departement of Asian Studies di Latrobe University, Melbourne, Australia). Di dalam bukunya yang berjudul Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words: Indonesian Poetry, 1966—1998dia memberikan gambaran bahwa kondisi sosial politik Indonesia di bawah rezim Soeharto menjadikan hal sebagai berikut.

Legalisasi hak untuk mengkritik, sebagaimana yang ditentukan oleh pemerintah, mempunyai akibat lain bagi penulis. Pertama adalah kemunduran ke situasi lama, yakni terjadinya semacam penolakan terhadap sesuatu yang mengingatkan kepada sosialisme, ideologi sayap kiri, dan kekacauan 1965. Akibat yang kedua memiliki dampak yang lebih langsung, yakni terciptanya batas antara sastra dan politik, yang semakin diperkuat oleh pemerintah dengan pelarangan penulisan, penangkapan, dan penahanan penulisnya (2003: 64—65).

 

Menurut Harry Aveling, reaksi atas fenomena sosial politik tersebut melahirkan gambaran “dunia menjadi absurd” melalui jenis puisi mbeling karya Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman, dan Yudistira ANM Massardi.

“Puisinya tampil lebih dari sekadar humor getir. Di baliknya tersimpan dengan halus “kepahitan pada ketidakadilan yang garang di masyarakat Indonesia saat ini,” dibuat seperti, “simbol dan slogan yang dapat dengan bebas menampilkan imaji kepentingan masyarakat.” (2003: 68)

 

Pendapat dengan sudut pandang kedua diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono. Dia berpendapat sebagai berikut.

“Puisi rupanya telah menjadi bentuk sastra yang menarik minat orang-orang muda, terutama sekali dalam masa perkembangan awalnya sebagai sastrawam. Sajak-sajak yang dikirimkan ke majalah-majalah yang berprestasi tidak dapat dimuat segera. Mereka harus menunggu atau mengirim karya mereka itu ke koran-koran yang cukup banyak jumlahnya. Sementara beberapa penyair mendapatkan tempat yang semakin kukuh dalam perkembangan puisi Indonesia, kaum muda yang baru mulai menulis itu merasakan semacam tekanan. Mereka merasa tidak bisa cepat tampil karena terhalang oleh tokoh-tokoh yang sudah “mapan”. Memang hal itu bisa dirasakan sebagai penindasan sebab ruang gerak mereka, yakni penerbitan yang bisa menampilkan karyanya, sangat terbatas. Tambahan lagi, kebanyakan mereka menetapkan kepenyairan berdasarkan dimuat atau tidaknya sajak-sajaknya dalam majalah sastra satu-satunya, Horison.

Keadaan yang dirasakan sebagai penindasan itu telah mengundang berbagai tanggapan. Salah satu tanggapan yang unik adalah gagasan “puisi mbeling”. Harus diakui bahwa puisi jenis ini telah memberikan sumbangan yang berharga bagi keanekawarnaan puisi kita.” (1983: 90—91)

 

Aktuail adalah majalah yang membuka lembaran khusus untuk menampung sajak-sajak. Oleh pengasuhnya, lembaran itu diberi nama “Puisi Mbeling”. Hampir setiap edisi lembaran itu disertai dengan pengantar pengasuh. Yang pertama dan menjadi paling terkenal namanya adalah Remy Sylado (sering pula dia menuliskan dengan 23761).

Dalam pengantar pengasuh “Puisi Mbeling”, Remy Sylado melandasi timbulnya puisi mbelingMbeling berasal dari bahasa Jawa yang kira-kira berarti ‘nakal’, ‘kurang ajar’, ‘sukar diatur’, dan ‘suka berontak’. Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa “Dari sejumlah kata pengantar yang sempat diteliti bisa ditarik kesimpulan bahwa Remy Sylado dan pengasuh-pengasuh lain bukanlah orang-orang yang suka berpendapat tanpa alasan berharga. Yang khas adalah gaya penyampaian alasan-alasan tersebut (1983: 91).” Penulis mengutip pendapat teoretis puisi mbeling karya Remy Sylado, Sonny Suriaatmadja, dan Sanento Juliman agar tergambar landasan bersastranya.

Remy Sylado (via Damono, 1983: 91) mengatakan bahwa membuat puisi itu gampang sekali, seperti orang meludah atau membuang ingus saja. Dia menganjurkan mereka untuk melihat apa saja yang ada di sekeliling, lalu

“Pindahkan saja apa yang kaulihat tadi secara menyeluruh tanpa harus dibebani pikiran tentang baik-buruknya, bersih-kotor, indah-jelek, maka dengan jalan itu pula kau telah memilih sikap yang lugu, yaitu menerima akan apa adanya.”

 

Berkaitan dengan persepsi tentang puisi, Remy Sylado mengatakan (via Jassin, 1983: 32) bahwa

“Puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah pernyataan apa adanya, maka dengan begitu terjemahan mentalnya, hendaknya diartikan bahwa tanggung-jawab moral seorang seniman ialah bagaimana dia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu dan apa adanya.”

 

“Lugu dan apa adanya” itu kita jumpai pada sajak-sajak Yudhistira ANM Massardi (pada empat kumpulan sajaknya: Hari-hariku, Piala, Biarin!, dan Omong Kosong yang ditulis antara tahun 1973 dan 1978). Empat kumpulan sajak tersebut disatukan ke dalam satu buku yang diberi judul Sajak Sikat Gigi. Cetakan pertama karya tersebut diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1983 dan mendapatkan penghargaan sebagai buku kumpulan sajak terbaik versi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1977. Sajak berikut ini adalah tipikal puisi mbeling yang lugu dan apa adanya serta terkesan ditulis oleh seorang yang masih kanak-kanak.

 

Sajak Karya Yudhistira ANM Massardi

SAJAK SIKAT GIGI

 

Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur

Di dalam tidur ia bermimpi

Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

 

Ketika ia bangun pagi hari

Sikat giginya tinggal sepotong

Sepotong yang hilang itu agaknya

Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

 

Dan ia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu berlebih-lebihan

 

1974

(“Sajak Sikat Gigi”, 1983: 48)

 

Sajak Yudhistira ANM Massardi tersebut berlogika seperti anak-anak yang cara berpikirnya lugu sehingga selalu bertanya-tanya dan merasa heran serta tiba-tiba mengambil kesimpulan yang menggelikan, “Dan ia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.” Tema-tema puisi mbeling sederhana sekali sebagaimana judul-judul sajaknya, seperti “Sajak Angkat Topi”, “Sajak Waktu Mandi”, dan “Sajak Dolanan Anak-anak”. Akan tetapi, bisa berubah secara mendadak pada tema yang tajam tentang masyarakatnya, namun penderitaaan dihadapinya dengan humor sehingga tidak terkesan cengeng, sebagaimana dalam “Sajak Dolanan Anak-anak” dan sajak “Biarin” :

 

Sajak Karya Yudhistira ANM Massardi

BIARIN!

 

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin

kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin

kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

 

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kamu

Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana

cuman, karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang seperti itu

 

kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin

kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin

 

soalnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa coba, lonte?

aku laki-laki. Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu

aku rampok hati kamu. Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia

ini. Ya nggak? Kalau nggak percaya tanya saja sama polisi

 

habisnya, kalau nggak kubilang begitu mau apa coba

bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini berjalan

seperti kamu sadari sekarang ini

 

kamu bilang itu melelahkan. Aku bilang biarin

kamu bilang itu menyakitkan

 

1974

(“Sajak Sikat Gigi”, 1983: 58)

 

Pikiran yang berubah-ubah berperan terhadap perubahan tema tersebut. Bagi Remy Sylado (via Damono, 1983:92), hal itu justru menandakan penyair kreatif.

 

“Penyair yang pikirannya sama saja dari hari ke hari, tahun ke tahun, sebaiknya dihadiahkan segera bintang anumerta bagian urusan Penyair-penyair Mapan, sebab dengan begitu mereka sudah karam dari segala kemungkinan.”

 

“Nah, apa yang istimewa dari puisi-puisi ini? Tidak ada! Tapi sengaja dimuat pula dengan catatan tak ada istimewanya tersebut. Memang, puisi bukan nasi goring. Yang pakai embel-embel istimewa hanyalah nasi goring dan sejumlah nama makanan. Maka jangan mimpi jadi istimewakalau cuma sekedar jadi penyair.”

 

Bahkan, Sonny Suriaatmadja menuduh orang-orang yang bersikap serius terhadap sastra sebagai orang yang frustrasi. Tidak benar bahwa sastra hanya bisa dihasilkan oleh manusia super, genius, dan sebangsanya: salahlah kalau kita beranggapan bahwa sastra adalah kegiatan yang intelektual. Seniman yang diakui khalayak akhirnya hanya mengurus fasilitas empuk bagi dirinya sendiri saja dan bukan “berkarya to have pleasure in giving pleasure” (via Damono, 1983: 93). Tokoh lain puisi mbeling, Sanento Juliman, dengan nada sama mengatakan bahwa

Ada ahli sastra yang sebentar-sebentar berfatwa: puisi itu mesti menyentuh, mendalam nukik, nungging, bikin haru-biru. Jia-ilah. Kayak manusia nggak pernah ketawa saja. Ngetawai pengalaman, ngetawai diri sendiri, melihat yang pahit getir bukan sebagai sengsara, melainkan kekonyolan yang bikin geli, nah, itu baru saja kebolehan namanya. Suatu kebolehan yang sebetulnya bakat manusia, malah bakat yang sangat manusia. Kan manusia itu satu-satunya binatang yang ketawa di muka bumi ini, seperti ujar Nietzsche (via Damono, 1983: 93).

 

 

Dari berbagai ungkapan yang dikutip dari pengantar pemuatan puisi mbeling tersebut, Sapardi Djoko Damono (1983: 94—95) mengambil suatu kesimpulan bahwa kelakar adalah ciri utamanya. Di samping itu, ciri lainnya adalah kritik dan ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh penyair umumnya dalam menghadapi puisi. Kata-kata dipermainkan serta arti, bunyi, dan tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut. Sebagian besar puisi mbeling tersebut menunjukkan bahwa penyairnya sekadar mengajak pembaca berkelakar, tanpa maksud lain yang disembunyikan. Oleh karena itu, Taufiq Ismail (1977) menyebut puisi mbeling ini sebagai “puisi yang mengkritik puisi”. Sebagaimana sajak Yudhistira ANM Massardi yang memarodikan sajak Rendra menjadi “Sajak Sepatu Usang si Billy Peronda” dan sajak Goenawan Mohamad menjadi “Di Beranda Ini, Mohamad Pariksit, telah Jadi Logam”, keduanya menjadi sesuatu yang tragis, tetapi lucu.

Akhirnya, beberapa dampak positif dari gerakan puisi mbeling ini setidaknya mencairkan dikotomi “penyair mapan” dan “penyair tidak mapan”, “penyair pusat” dan “penyair daerah”, dan semacamnya, yang hal tersebut bisa-bisa membekukan proses kreatif perpuisian Indonesia. Sikap mbeling ini juga mendasari terjadinya Pengadilan Puisi yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 8 September 1974, yang oleh Sapardi Djoko Damono dinilai sebagai “usaha untuk membebaskan diri dari ‘penindasan’ kritikus, penyair mapan, dan majalah Horison”. Di samping itu, gerakan puisi mbeling ini juga menjadikan sikap berkesenian terbuka terhadap pemakaian bahasa yang diambil dari berbagai unsur keindonesiaan, seperti bahasa Jawa, Sunda, Batak, bahkan mengambil unsur serapan bahasa asing, seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Prancis. Landasan bersastra dan ciri-ciri puisi mbeling pada perkembangan perpuisian Indonesia yang demikian itulah memberikan kontribusi terhadap lahirnya berbagai variasi puisi kritik sosial. Sebagaimana hal itu dikembangkan dengan kekhasan masing-masing dalam Ohoi: Kumpulan Puisi-Puisi Balsem (1991) karya A. Mustofa Bisri.*****


Daftar Pustaka

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.

Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus.

<

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Departemen Pendidikan Nasional. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ismail, Taufiq dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta: Horison.

_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1-2. Jakarta: Horison.

Jassin, H.B. 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta : PT. Gramedia

Massardi, Yudhistira ANM. 1983. Sajak Sikat Gigi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mohamad. Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.

Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair yang lahir di Lamongan, 7 Oktober 1966; lulus magister humaniora dari UGM dan doktoral dari Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS); dan bekerja sebagai dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa