Pencemaran Nama Baik
Salah satu topik yang tidak akan pernah lekang oleh waktu, yaitu persoalan pencemaran nama baik. Apalagi saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat tentang perlu tidaknya revisi beberapa pasal dalam Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang di dalamnya juga memuat klausul pencemaran nama baik, yang sebagian besar masyarakat menyebutnya dengan “pasal karet”. Tulisan ini tidak akan mengupas tentang pasal-pasal yang dikatakan “karet” tersebut, tetapi lebih pada pengalaman penulis menjadi saksi ahli bahasa pada beberapa kasus, terutama yang paling sering penulis tangani, yaitu kasus pencemaran nama baik.
Berbicara tentang pencemaran nama baik, hampir dapat dipastikan bahwa ragam yang sering digunakan oleh banyak orang adalah ragam bahasa tulis. Dari ragam bahasa tulis inilah muncul delik aduan berupa pencemaran nama baik. Hal ini ditambah dengan berkembang suburnya media, khususnya media sosial yang memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada siapapun untuk berekspresi melalui tulisan. Berdasarkan pengalaman dan amatan penulis, kasus pencemaran nama baik pada umumnya muncul melalui medium berupa media sosial seperti facebook, instagram, twitter, bahkan whatsapp. Hal ini dapat terjadi karena pengguna media sosial di Indonesia memiliki jumlah yang sangat banyak.
Pada tulisan ini, penulis akan memberikan batasan sebuah ujaran atau tulisan masuk kategori pencemaran nama baik atau tidak. Pertama, media yang digunakan. Apabila bentuk ujaran atau tulisan yang diindikasi memuat aspek pencemaran nama baik, harus dipastikan betul-betul tentang media apa yang digunakan seseorang melakukan hal itu. Hal ini berhubungan erat dengan batasan selanjutnya. Kedua, penyebaran konten yang diduga memuat ujaran atau tulisan pencemaran nama baik itu, apakah hanya berhenti di satu titik (medium) tertentu atau telah menyebar ke khalayak? Analogi sederhananya, jika seseorang membuat konten yang diduga memuat ujaran atau tulisan yang mencemarkan nama baik melalui whatsapp misalnya, kemudian ia kirim kepada seseorang yang ia maksud, kemudian oleh si penerima pesan tidak ia sebarkan atau teruskan, sangat kecil kemungkinan masuk dalam delik pencemaran nama baik. Hal ini berbeda misalnya jika si penerima pesan meneruskan atau bahkan menyebarkan konten yang diduga berisi pencemaran nama baik ke pihak atau orang lain. Prinsip ini akan berbeda jika konten yang diduga berisi pencemaran nama baik dilakukan oleh seseorang melalui media sosial seperti facebook, twitter, dll. Mengapa demikian? Hal ini karena sudah dapat dipastikan bahwa media sosial seperti telah disebutkan bersifat umum dan terbuka bagi khalayak untuk mengaksesnya. Simpulan dari poin kedua ini yakni selama konten yang diduga mengandung unsur pencemaran nama baik tidak disebarkan, hampir dapat dipastikan konten itu sulit masuk dalam kategori pencemaran nama baik. Hal ini yang masih belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat.
Ketiga, pembuktian ujaran atau tulisan yang diduga memuat konten pencemaran nama baik secara bahasa, khususnya aspek semantiknya. Kajian ini masuk ke dalam ranah lingusitik forensik yang membedah sebuah kejahatan dari sisi bahasa. Pembuktian ini sangat penting karena ada kalanya konten yang diduga berisi muatan pencemaran nama baik seringkali tidak secara langsung menyebut objek yang menjadi tujuan ujaran atau tulisannya. Seringkali para pembuat konten menggunakan kiasan walaupun tidak seluruhnya. Kepekaan seorang saksi ahli bahasa sangat dituntut dalam persoalan ini. Aspek semantik yang dominan dalam penanganan sebuah konten yang diduga berisi pencemaran nama baik meliputi aspek semantik gramatikal dan semantik leksikal, komponen semantik, dan juga aspek makna lain yang selalu akan bersinggungan dengan hal-hal semantik secara umum.
Seorang saksi ahli bahasa, dalam memberikan keterangan kesaksiannya, harus dan wajib mendasarkannya pada aspek-aspek kelimuan. Kita tidak boleh memiliki persepsi pribadi atas personal-personal yang sedang ditangani kasusnya. Saksi ahli bahasa, dengan menyandang kata “ahli”, harus benar-benar ahli menjadi penginterpretasi, yaitu menjadi linguis yang tidak hanya sekadar berdasar pada aspek kelimuan saja tetapi juga memiliki intuisi yang selalu berpihak pada jalan kebenaran.
Dalam setiap kasus pencemaran nama baik, posisi saksi ahli bahasa sangat strategis karena ialah yang nantinya akan menyimpulkan bahwa sebuah konten memenuhi apa yang dinamakan sebagai pencemaran nama baik atau tidak. Kedudukan yang sangat strategis tersebut adalah peluang bagi para ahli bahasa untuk berkiprah dalam bidang ini. Sayangnya di Indonesia masih sangat terbatas para ahli yang membidangi/ mendalami hal ini secara tekun. Kita berharap displin ilmu lingusitik forensik dapat terus dikembangkan di Indonesia untuk menghadapi semakin kompleks dan tingginya pemakaian media sosial di negara kita. Semoga akan banyak sumbangsih para ahli bahasa untuk kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Teguh Santoso
Penulis adalah Perencana Ahli Madya PPPPTK Penjas dan BK, Bogor.