Akar dan Pohon Sastra

KONVENSI DAN INOVASI | Para pemaham dan perumus sastra selalu bergerak dalam tegangan konvensi dan inovasi. Hal ini bukan tanpa alasan. Bahasa yang menjadi bahan baku sastra juga menjadi tempat manusia ber-ada. Segala usaha yang dilakukan dalam semangat memahami dan merumuskan "apa itu sastra" terjejak dalam bayang manusianya sendiri sebagai subjek yang mengetahui.  Sumpah serapah pun dituah atas nama objektivitas. Dapatkah kita benar-benar terjarak dalam memahami dan merumuskan sastra?

Apa lacur, kita berada dalam bahasa dan bersusah payah mencoba ke luar dari jejaringnya. Hal ini pernah dialami oleh A. Teew dalam pergulatan memahami dan merumuskan sastra. Dia menuangkan pengalaman batinnya itu ke dalam sebuah buku yang menyiratkan tegangan antara konvensi dan inovasi, yakni Sastra dan Ilmu Sastra. Buku ini menjadi salah satu sumber referensi klasik bagi para pemaham dan perumus sastra generasi berikutnya di Indonesia yang bersanad pada teori dan metode positivisme Barat.

2.

MEMAHAMI DAN MERUMUSKAN | Apakah Teew berhasil memosisikan sastra sebagai objek yang dipahami dan dirumuskan? Dalam bagian pembuka bukunya, ia justru menguatkan asumsi bahwa sastra dan ilmu sastra yang paralel dengan memahami dan merumuskan selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan inovasi takberbatas. Apalagi, objek yang ia hadapi adalah kesastraan Timur yang memiliki sejarah sosial dan budaya yang berbeda dengan Barat. Maksud saya, karakteristik objek yang diketahui, dalam hal ini kesastraan Nusantara dengan berbagai suku dan bahasa, tentu memiliki kode generatif bahasa, sastra, dan sosial-budaya yang mencerminkan kearifan lokal masing-masing yang berbeda dengan Barat.

Tentunya, kita dapat berkilah bahwa teori-teori dan segala pendekatan kesastraan Barat pun memiliki dalil dan hukum universal, mengingat kesastraan adalah gelaja universal di mana pun sebagai cara berada manusia dalam memahami diri dan lingkungannya. Artinya, apa yang ditemukan di Barat dapat juga diterapkan di Timur. Sebagai kebudayaan yang mungkin diposisikan sebagai budaya “lain”, logis jika Timur dianggap belum tercerahkan dan menjadi subordinat kebudayaan Barat. Demikian juga dalam kesastraan. Masuknya genre puisi (bebas), prosa (novel dan cerpen), dan drama (berorientasi naskah), selain sastra rakyat yang sudah turun-temurun berkembang dalam tradisi tutur leluhur, menandai keterpanaan kita atas sesuatu yang baru.

3.

TUTUR LELUHUR DAN TULIS CETAK | Mengapa perdebatan usang ini saya hadirkan kembali? Setidaknya, sampai tahun 2000-an kesastraan Indonesia berkembang secara dialektis dalam tradisi tutur-leluhur dan tulis-cetak. Keduanya hidup dengan andaian masyarakat pendukungnya masih mengapresiasi dan menghidupkannya. Namun, betapa banyak tradisi tutur-leluhur yang tidak sekadar menuntut kecakapan menulis yang akhirnya hilang tidak ada penerusnya.

Di tahun 1990-an, saya masih sempat menyaksikan pertunjukan pantun beton yang mengharuskan seorang dalang dan sekelompok pemusik tradisional beraksi semalam suntuk. Pertunjukkan yang tidak hanya menyertakan cerita berbentuk pantun saja, tetapi juga musik, rupa, bahkan ritual keagamaan. Sang Dalang pantun beton saat itu sudah tua. Di tahun  2000-an saya mendapat kabar bahwa dia sudah meninggal dan membawa sekitar 17 riwayat pantun beton yang taksempat saya dokumentasikan. Saya pun belum mendapat kabar penggantinya, atau mungkin tidak akan pernah ada.

Hal tersebut sangat berbeda dengan kesastraan modern yang berkembang dalam tradisi tulis-cetak. Sastra modern berkembang dalam karya dan kritik yang didukung oleh pendirian kajian teori di fakultas sastra di universitas (di beberapa universitas sekarang menjadi fakultas ilmu budaya); media massa cetak menyediakan ruang pemuatan karya dan kritik; komunitas-komunitas diskusi terbatas bergeliat; serta tentu berbagai penghargaan sebagai apresiasi diberikan pada karya sastra. Media massa cetak, baik koran, majalah, jurnal, dan buku, menjadi teristimewa sebagai ruang pengakuan karya. Mungkin, polarisasi penyebaran karya yang tersentralistik di beberapa media cetak nasional dan daerah membuat karya seperti puisi atau cerpen begitu sulit dimuat, terutama bagi para penulis yang baru muncul.

4.

AKAR DAN POHON SASTRA | Dapatlah dinukil secara serampangan bahwa pohon sastra kita berakar dalam tegangan konvensi dan inovasi yang menyertakan sastra tutur-leluhur dan tulis-cetak. Kita dapat mengikuti alur sejarah kesastraan Indonesia dari para pendahulu. Pemaham dan perumus sastra H.B. Jasin mewatas pohon sastra modern dari karya Balai Pustaka, Majalah Kebudayaan Pujangga Baru, Gelanggang Angkatan 45, dan Kritik Orientasi Kebudayaan Angkatan 66. Pohon ini kemudian  dihidupkan kembali oleh Korrie Layun Rampan dan berbuah Angkatan 2000. Setiap periode angkatan memiliki karakter yang dapat dibaca sebagai keumuman pada masanya.

Lalu, bagaimana dengan kesastraan kita saat ini? Sastra Indonesia pasca-Angkatan 2000? Kita kembali pada awal tulisan ini. Saya akan meminjam dalil Teew perkara pohon sastra yang menyertakan karya sastra, kritik sastra, dan teori sastra. Mungkin, asumsi mendasar tulisan ini adalah mencoba memahami tegangan antara konvensi dan inovasi dalam kesastraan pasca-Angkatan 2000 dari sebuah karya buku kumpulan puisi Yudistira ANM Massardi berjudul Jangan Lupa Bercinta. Buku ini representatif untuk dijadikan ulasan karena menjadi pemenang buku puisi terbaik2020. Dan lagi-lagi, saya akan meminjam Teew dalam menakar tegangan tersebut dalam kode bahasa, kode sastra, dan kode sosial budaya.

5

JANGAN LUPA BERCINTA | Buku kumpulan puisi Jangan Lupa Bercinta karya Yudhistira ANM Masardi menjadi memenangkan predikat buku puisi terbaik yang terbit di tahun 2020. Yayasan Hari Puisi Indonesia memilih buku ini tentu dengan pertimbangan yang tidak asal-asalan. Apalagi, juri yang menilai adalah Sutardji Chalzoum Bachri dan Abdul Hadi W.M. yang mewakili praktisi (sastrawan) serta Maman S. Mahayana yang mewakili akademisi. Ketiga juri ini juga sering mengulas dan memberi kritik atas karya sastra dengan gaya masing-masing.

Buku setebal 214 halaman ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (Cet. I, 07, 2020). Di dalamnya termuat 145 puisi yang dibagi dalam tiga bagian, yakni 23 puisi dalam rentang tahun penulisan 2017, 79 puisi dalam rentang tahun penulisan 2018--2019, dan 43 puisi dalam rentang tahun penulisan 2020. Sampul buku berwarna jingga dengan karakter huruf dan fon yang tipis dan ornamen beberapa siput dalam berbagai pose.

6.

KODE BAHASA | Seperangkat pengetahuan yang menjadi prapemahaman dan praperumusan dalam mengapresiasi tulisan dapat dikatakan sebagai sebuah kode. Bahkan, kode ini boleh jadi menjadi konvensi pembacaan dan penafsiran bersama atas teks. Tentunya, teks dalam hal ini dibatasi sebagai any discourse fixed by writing (meminjam batasan Paul Riceour). Teks yang memiliki kode generatif yang membedakannya dengan teks-teks lain yang menciptakan ragam teks. Namun, ragam teks tetap terbakukan dalam bahasa sebagai kode generatif teks.

Dalam hubungan seperti ini, bahan baku atau dasar bahasa yang menjadi taruhan seorang penyair yang telah undur peran dalam teks puisi menjadi keniscayaan. Bahkan, penyair menjadi berstatus sebagai pembaca terjarak saat puisi diinskripsi ke dalam teks yang kemudian dengan sadar dilabeli puisi. Kode bahasa juga yang menghampiri pembaca lain sehingga puisi dapat memaksa pembaca untuk tunduk pada ketatabahasaan (kesepakatan bersama) dan mafhum atas pelanggarannya (litentia of poetica). Kita kutip sebuah bait berikut ini.

Di pedestrian baru itu

Bangku-bangku menunggu waktu

Rehat dari penat

Menghitung umur yang lewat

Bait pertama puisi “April di Malioboro” saya kutip sebagai contoh bahwa kita, sebagai pembaca, mengaktifkan persepsi indera pelihatan atas aspek kata benda konkret pedestrian baru dan bangku-bangku serta kata benda abstrak waktu dan umur. Kata kerja menunggu, rehat, menghitung, dan lewat menghubungkan keempat kata benda itu dalam peristiwa yang tentunya memaksa seluruh penginderaan kita untuk merangkainya dalam sebuah suasana yang berasosiasi dengan kata sifat penat. Selain itu, kehadiran kata depan di dan dari juga kata penghubung yang menambah kepaduan makna antarkata dan antarbaris.

Persepsi indrawi itu diteruskan melalui sensor motorik ke dalam memori otak kita, yakni memori belahan kiri otak (sebut saja Si Oki) dan memori belahan kanan otak (sebut saja Si OKa). Si Oki menyimpan data kata dan angka sementara Si Oka menyimpan data gambar/citraan kata serta sensasi berupa emosi hasil dari kesesuaian bunyi vokal dan konsonan dalam rima antarbaris, yakni irama dan ritme. Dari peran Si Oki kita dapat menimbang logika makna puisi dan dari peran Si Oka kita dapat menimbang daya imajinasi dan kreativitas bahasa serta emosi ‘nilai rasa’.

7.

KODE SASTRA |  Ragam teks tidak hanya menyertakan kode bahasa sebagai bahan baku teks. Kita dapat mengatakan bahwa kode generatif ragam teks yang membuat kita dapat membedakan teks sebagai berita, opini, sastra, dsb. Dengan kode ragam teks ini kita dapat membedakan juga bahwa teks ini adalah teks sastra bergenre puisi, prosa, atau drama. Lebih jauhnya, kode generatif ragam teks dipelajari dalam tekstologi.

Pada dasarnya, karakteristik bahasa dalam teks sastra menandai ketaklangsungan ungkapan yang membedakannya dengan teks seperti berita atau opini. Ketaklangsungan ungkapan ini juga menandai relasi tanda antara (1) penanda ‘yang menandai’ (aspek bentuk kata dalam citraan huruf dan bunyi) dan (2) petanda ‘yang ditandai’ (aspek isi kata sebagai gejala psikis yang menghubungkannya dengan konsep dalam otak sebagai arti, makna, atau definisi) yang tidak otomatis, seperti dalam berita, opini, bahkan percakapan sehari-hari.

Selain itu, ketaklangsungan relasi penanda-petanda yang menjadi bahan baku sastra, yang didukung dengan otoritas untuk melanggar ketatabahasaan seorang sastrawan, menjadikan teks sastra sebagai teks yang menyarankan makna lebih. Maksudnya, bineritas relasi penanda-petanda, dalam teks sastra, menjadi multibineritas. Hal ini menandai bahwa sistem tanda dalam teks sastra memang didefinisikan kembali dalam berbagai tahap, bisa displacing of meaning ‘kesalahan penempatan kata dalam relasi antarkata’, distorting of meaning pengurangan atau penambahan medan makna kata dalam relasi antarkata, bahkan creating of meaning ‘penciptaan makna baru kata dalam relasi antarkata.

Sekarang mari kita masuk dalam pembicaraan buku puisi Jangan Lupa Bercinta. Sebermula label kemudian kita tersaran untuk manafsir dan memaknai teks dengan kode bahasa dan kode sastra yang menyertai pelabelan teks. Karena penulisnya telah melabeli buku dengan Kumpulan Puisi 2017--2020, saya dengan sadar dan atau tidak sadar telah menyiapkan seperangkat prapemahaman dan praperumusan dengan kode teks berlabel puisi. Saya kutip dua bait lanjutan “April di Malioboro” (hlm. 4) berikut ini.

Sejumlah kenangan dijajakan di angkringan

Album foto menguning di trotoar

“Berapa banyak puisi cinta ditulis

dan dinyanyikan di Malioboro?

Adakah yang mengalunkan rinduku?”

Bait pertama yang dikutip di bagian sebelumnya dan bait kedua di atas memakai bentuk larik yang menyusun bait konvensional dalam puisi. Namun, dalam bait ketiga terdapat perbedaan yang menandai ujaran langsung aku lirik puisi dalam tanda baca petik dua. Ujaran langsung ini menandai adanya tokoh dan peristiwa dalam puisi. Puisi “Cahaya” (hlm. 3) yang pertama diletakkan dalam susunan buku memakai strategi literer penulisan bait puisi dalam bentuk ujaran langsung. Saya menemukan kecenderungan alih kode ini jumlahnya cukup banyak.

Sementara dalam puisi keempat berjudul “Kata”, terbaca bentuk penulisan puisi konvensional dengan aku lirik sebagai partisipan orang pertama langsung yang menyertakan orang kedua dengan pronomina kamu dalam partikel kau dan mu. Hal ini pun terbaca dalam puisi “Sajak-sajak Pendek” dan Sajak-sajak Semarangan”. Berikut saya kutip utuh puisi “Kata” (hlm. 8) yang hanya 1 bait.

          Kata

   Betapa sukar membaca isyaratmu

          Setiap kali kauberikan sepatah kata

          Dunia makna seakan bertawaf

          Mengelilingi khazanah tafsir

          Seperti perpustakaan berputar

          Melepas sejuta huruf

          dalam formasi Cinta

          Di peta buta

          Agustus, 2017

Dari 23 puisi yang ditulis tahun 2017, puisi “Borobudur” terbaca, secara bentuk penulisan, berbeda dengan lainnya. Puisi ini mengambil tipografi larik berundak sebagaimana terbayang saat kita menaiki Candi Borobudur. Berikut saya kutip bait pertama puisi tersebut.

         Belasan abad

     Mengukir waktu di batu

Mengabarkan kisah panjang pada mulut

     Tentang stupa-stupa berongga

Tentang mandala, moksa, dan nirwana

       Tentang para pencari makna

      : Cinta, kuasa, samsara, dan moksa

Kecenderungan bentuk penulisan puisi seperti puisi “Cahaya” dan “April di Maliobaro” tampak berlanjut dalam 79 puisi dalam rentang tahun penulisan 2018--2019 dan 47 puisi dalam rentang tahun penulisan 2020. Kepiawaian alih kode dari aku lirik dalam bentuk baris ke aku dramatik dalam bentuk ujaran langsung terus dieksplorasi dan menjadi kecenderungan yang tidak membosankan. Sebabnya, alih kode satuan gramatikal kalimat sebagai aspek pembangun teks juga menyiratkan bias genre teks sastra antara puisi dengan persepsi aku lirik dan drama dengan narasi yang menghadirkan tokoh dan konfilk.

Namun, beberapa puisi patut kita ulas dalam alih kode yang lain. Puisi “Sejak Semalam” (104), “Sajak Bubur Ayam” (106), “Sajak Kisah Cinta” (107), “Sajak Kebencian” (108), dan “Sajak Perempuan Cantik” (109) memakai strategi literer prosa dalam bentuk penulisannya. Transformasi satuan gramatikal kalimat sebagai dasar pembangun teks menjadi bias dalam mendefinisikan ragam sastra: puisi. prosa, dan drama. Satuan gramatikal kalimat dalam bentuk larik atau baris yang menyusun bait diubah menjadi satuan kalimat dalam bentuk kalimat yang menyusun paragraf. Berikut saya kutip utuh puisi “Sajak Bubur Ayam”.

Bubur ayam itu menu paling kaya interpretasi: Jangan pakai

bawang, jangan pakai seledri, jangan pakai kacang, jangan…

banyakin daun bawangnya. Banyakin kacangnya… Boleh

pakai telor mentah, banyak merica, tambah tongcay, tanpa

cakue… (“Macam sudah hebat kali kau!” kata kawan dari Medan).

Maka pelajaran demokrasi harus dimulai dari tukang bubur

ayam! Biar tumpah semua selera. Biar tumpah segala nyinyir.

Seperti aneka polusi mengotori Jakarta. Seperti semua bunyi

membisingkan pagi hingga malam. Bahkan tukang parkir tak

henti teriak: “Terus…! Terus…! Terus…! Kiri…! Kiri…! Rasa

gila terbawa mimpi. Entah apa cita-citanya sejak kecil. Entah

jadi apa pula anak-bininya nanti. Demokrasi bisa bikin gila siapa

saja. Seperti bubur ayam tanpa ayam. Tapi enak, Gila!

Bandung, September 2019

Dalam bagian ini, apa yang dapat kita katakan atas bias genre dalam teks sastra adalah transformasi kalimat dalam berbagai bentuk. Bentuk larik yang membangun bait, bentuk kalimat yang membangun paragraf, dan bentuk ujaran langsung yang membangun adegan dalam teks sastra menciptakan kode sastra dalam genre puisi, prosa, dan drama. Dalam satuan gramatikal kalimat tersebut terdapat persoalan diksi dan style yang menandai kekhasan seorang sastrawan yang dikaji dalam stilistika. Karena keterbatasan ruang, dua hal ini belum saya bahas maksimal.

8.

KODE SOSIAL | Satu hal yang tidak bisa dilupakan dari Teew adalah adagium sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Ungkapan ini menandai bahwa kesastraan dengan bahan baku bahasa adalah tindakan konkret manusia melalui peritiwa bahasa atau wacana. Selain itu, tahap ini juga menyadarkan kita bahwa sistem tanda adalah subordinat dari sistem yang lebih besar, yakni sistem sosial. Kurang lebihnya, dapatlah dikatakan bahwa bahasa mengatakan sesuatu melalui sesuatu yang lainnya. Dari asumsi ini, bahasa, khususnya dalam teks sastra, memendam energi metafor, bukan sekadar simbol dalam otonomi relatif tanda seperti prasaran Saussure.

Untuk menjembatani hubungan sistem tanda ke sistem sosial, ragam tanda ikon, indeks, dan simbol sesuai prasaran Pierce dapat dipakai. Teks puisi dapat memiliki hubungan representatif dengan sesuatu (ikonitas), memiliki hubungan kausalitas dengan sesuatu (indeksikal), dan memiliki hubungan konvensional arbitrer dengan sesuatu (simbolitas). Sebagai contoh, kutipan Maka pelajaran demokrasi harus dimulai dari tukang bubur ayam! Biar tumpah semua selera. Biar tumpah segala nyinyir dari puisi “Sajak Tukang Bubur” ini mau tidak mau memaksa kita sebagai pembaca untuk menghubungkannya dengan sesuatu di luar bahasa. Ada ikonitas tukang bubur yang memang digambarkan dengan lugas, tetapi diungkapkan dengan nada satire dalam melayani keinginan konsumen. Ada kausalitas peristiwa tukang bubur yang melayani keinginan konsumen dengan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara kita yang dibingkai dalam demokrasi dan keragaman memilih menu isi bubur. Bahkan pun, ada simbolitas kata terus dan kiri yang dapat ditafsirkan dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan ideologi.

Namun, dari semua kode sosial yang terbaca, ungkapan Demokrasi bisa bikin gila siapa saja. Seperti bubur ayam tanpa ayam. Tapi enak, Gila! menjadi semacam judgment penyair dalam menyikapi realitas objektif yang dihayati. Saya sangat bahagia, ternyata Yudhistira yang saya kenal masih memiliki sisi anekdot. Kemampuan yang jarang di-endorse dalam inskripsi karya sastra. Membaca ungkapan tersebut mengingatkan saya akan tahun 1970-an, saat puisi mbeling digulirkan untuk menginterupsi kemapanan corak puisi zaman itu. Dalam buku Jangan Lupa Bercinta, beberapa puisi masih menghadirkan sense of crisis dalam ungkapan menertawakan diri sendiri.

9.

ALIH KODE DAN TRANSGENRE | Sekarang, apa yang dapat kita catat dari ulasan kode bahasa, kode sosial, dan kode budaya di atas? Buku puisi Jangan Lupa Bercinta memilih bahasa sebagai bahan baku teks dalam diksi yang cenderung konvesional. Namun, hal ini tidak membuat makna puisi menjadi datar, kering, dan basi. Penyair menyadari tegangan konvensi dan inovasi yang tersedia dalam kosakata dan kosamakna bahasa Indonesia sebagai sumber produksi metafor.Alih kode genre sastra adalah contoh kepiawaian penyair dalam menyusun teks puisi. Transformasi satuan gramatikal kalimat ke dalam antarlarik, antarkalimat, dan antarujaran menandai alih kode teks puisi. Mungkin, jika saja kita iseng berandai-andai membayangkan penulisnya tidak men-judgement tulisannya dengan label puisi, sebagai pembaca, kita justeru akan meredefinisi prapemahaman dan praperumusan kita saat membaca teks, seperti terbaca dalam teks berikut ini.


Yang Menggigilkan Subuh adalah Doa dari Sudut Sesal

Takada penyesalan abadi, gumamnya. Hanya saja, ia sedang merasakan sayatan  tipis pisau          do(s)a di sekujur jiwa. Namun, tetap, takada penyesalan abadi, pungkasnya. Ia seka perih terakhir yang sebentar lagi meleleh di sudut mata.

Subuh yang menggigil ia peluk dengan segenap upaya. Ia bangkit menuju jendela dan membiarkan dirinya menelusup pada poripori kesegaran; pada daun pada embun pada remang yang ngungun.


(beberapa getar dari gawai yang ia simpan di meja kerja menandai dimulainya pertarungan itu)

Derwati, 19/02 /21

Saya berasumsi bahwa gejala alih kode ini juga dapat terjadi pada penulis lainnya. Gejala yang dimaksud juga terbaca dalam posting-an di Facebook Ketua Dewan Pembina Forum Lingkar Pena (FLP) Nasional, Mochammad Irfan Hidayatullah, seperti dalam teks di atas. Bagaimana kita melabeli teks di atas? Puisi, prosa, atau drama?

Gejala bias genre boleh jadi adalah kepiawaian Yudhistira dalam menyusun teks. Hal ini yang mungkin mendasari ketiga juri memilih buku ini sebagai buku puisi terbaik 2020. Kita mengetahui bahwa selain sebagai penyair Yudistira juga menulis novel, skenario film, dsb. Mungkin, ini pula yang membuat saya harus memahami dan merumuskan ulang keyakinan-keyakinan tentang kode bahasa, sastra, dan sosial-budaya yang selama ini ajeg. Gejala semacam transgenre yang dipengaruhi oleh new media ‘media baru’ digital cukup bergairah saya temukan di media sosial internet. Teks yang sering dikatakan dengan up date status, tweet, pesan, atau posting telah menginskripsi aku lirik, aku prosaik, dan aku dramatik secara bergantian. Mungkin, hal ini juga yang semakin mempertegas akar dan pohon sastra kita yang berbenih dari tradisi tutur leluhur dan tulis cetak. Indonesia, antara kelisanan dan keberaksaraan, demikian salah satu gagasan Teew.

10.

IMPLIKASI TEORETIS DAN KRITIS | Terakhir, saya ingin menghubungkan ulasan terhadap karya buku puisi ini dengan implikasinya terhadap perumusan sastra yang melahirkan teori dan pendekatannya serta apresiasi dan penilaian karya yang melahirkan kritik sastra. Jika kita sepakat dengan akar dan pohon sastra kita yang dibangun dari tegangan antara tradisi tutur leluhur dan tradisi tulis cetak, dapatkah kita memformulasikan suatu kode generatif kesastraan yang kemudian ajeg dan ditasbih menjadi teori? Saya pun masih memakai pendekatan Barat.

Adakah para pemaham dan perumus kita akhirnya membuat pisau bedah dari tungku peradaban kita sendiri? Apalagi, konvergensi teks sastra yang di-endorse oleh media baru digital seperti berjalan masing-masing dengan kanon-kanon sastra mapan. Selain fenomena teks di media sosial, beberapa aplikasi memuat konten sastra yang asik dengan dunianya sendiri, seperti wattpad. Dari aplikasi ini, konvergensi teks digital berubah menjadi cetak kemudian berubah lagi menjadi film. Belum lagi, gejala self publising yang mulai menjalar di berbagai negara yang menegasikan sentralisasi produksi karya sastra, seperti dalam aplikasi Zine.

Hal ini menjadi teristimewa karena dasar teoretis dapat menumbuhkan kritik sastra yang kontekstual dengan keindonesiaan. Belakangan, saya menyimak kritik sastra kita berdegup kencang.  Namun, apakah pertumbuhan akar dan pohon sastra ini tumbuh dalam keselarasan antara karya, teori, dan kritik? Manakala kita belum dapat merumuskan teori yang bersumber dari konteks kesastraan sendiri, ditambah kritik yang sesekali tumbuh dalam kegaduhan, sementara karya tumbuh dalam keberagaman bentuk, jangan-jangan ada yang salah dengan teori dan pengetahuan kesastraan kita selama ini. Beberapa kali saya menyimak perkembangan kritik sastra Indonesia tumbuh dalam penilaian baik buruk, bahkan penghakiman yang masuk dalam ranah mencari-cari kelemahan karya secara berlebihan sampai ke urusan subjek bukan karya. Mungkin, kita harus memformulasikan ulang pemahaman dan perumusan kesastraan kita[1].

Padahal, energi seni dan khususnya sastra adalah ketidakselesaian pencarian bentuk dan isi, yang sama juga terjadi dalam kritik. Jika pola kritiknya terbaca gaduh terus, mungkin dugaan saya, sebenarnya sang kritikus telah gagal menangkap dinamika karya yang berkembang. Apalagi, tantangan kita ke depan adalah menangkap keumuman karya, teori, dan kritik yang menjadi napas zaman sekarang. Dapatkah kita menukil bahwa buku ini sebagai pemantik untuk lahirnya sebuah kecenderungan baru dalam akar dan pohon sastra kita kini? Setiap karya, kritik, dan teori sebagai buah dari akar dan pohon sastra akan membuat riwayatnya sendiri: melampaui zaman atau terlupakan.

Sumber Bacaan:

A. Teew, 2003, Sastra dan Ilmu Sastra, Penerbit Pustaka Jaya

-----------,1994, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Penerbit Aksara

Yudhistira AMN Massardi, 2020, Jangan Lupa Bercinta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Mangkubumi, 20 Februari 2021


Ditulis sebagai bahan diskusi untuk peluncuran buku puisi Jangan Lupa Bercinta, karya Yudhistiwa ANM Massardi yang diselenggarakan oleh Acep Zamzam Noor di Komunitas Azan, tanggal 28 Februari 2021.

Nizar Machyuzaar

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa