Konferensi Internasional Kesusastraan XVII
“Peran Hiski sangat diharapkan dalam mengembangkan dan mengelaborasi nilai-nilai budi pekerti dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terkandung di dalam berbagai karya sastra sebagai objek kajian sastra. HISKI juga diharapkan dapat mengembangkan satu sistem peningkatan apresiasi karya sastra yang dimulai dengan peningkatan minat baca anak-anak”. Pernyataan itu merupakan harapan yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam kata sambutannya yang dibacakan oleh Dirjen Kebudayaan dan Pariwisata, Dr. Sri Hastanto, ketika membuka Konferensi Internasional Kesusastraan XVII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, di Hotel Maharadja, Jakarta. Menteri juga mengatakan bahwa “HISKI sebagai kelompok intelektual yang sehari-harinya bergumul dengan dunia pikir, pasti memiliki pengalaman bagaimana membaca isyarat dan simbol yang terungkap dalam karya sastra. Karya sastra itu sendiri merupakan salah satu penyangga peradaban sebuah bangsa yang senantiasa menyuarakan keprihatinan dan kesaksian sang pengarang sebagai manusia yang diberi kelebihan oleh Yang Maha Kuasa untuk dapat menyerap nilai-nilai yang agung dalam kehidupan. Dengan demikian, konferensi ini hendaknya diarahkan pada upaya memaksimalkankan penggalian makna yang terkandung dalam teks kesusastraan. Untuk itu, peserta konferensi hendaknya menjadi jembatan untuk mengalirkan nilai-nilai kandungan karya sastra kepada masyarakat awam terutama anak-anak dengan menggunakan berbagai teknologi dan mekanisme”. Konferensi Internasional Kesusastraan yang ke-17 HISKI ini berlangsung tanggal 7—10 Agustus 2006, dengan mengambil tema "Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra: Menapak Masa Depan". Konferensi itu diselenggarakan atas kerja sama Hiski Pusat dengan Komisariat Hiski Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Komisariat Hiski Universitas Negeri Jakarta. Prof. Dr. Riris K. Toha-Sarumpaet (Ketua HISKI Pusat) dalam kata sambutannya mengatakan bahwa “konferensi tersebut mengangkat persoalan identitas keindonesiaan dan kemelayuan dalam sastra. Melalui pemikiran dan penelitian atas karya sastra Indonesia dan Melayu, kita berharap dapat mengenali keindonesiaan dan kemelayuan, perubahan dan permasalahannya serta merumuskan kembali keindonesiaan dan kemelayuan sebagai identitas budaya dengan kemampuan kesintasan yang tinggi di masa depan”. Konferensi ini diikuti sekitar 200 peserta yang merupakan pakar, pengajar, pengamat, dan peminat sastra. Para peserta berasal dari berbagai negara, antara lain Australia, Jepang, Malaysia, Brunei dan Singapura, sedangkan para peserta dari Indonesia berasal dari berbagai daerah dan instansi. Konferensi ini terbagi menjadi dua sidang, yaitu sidang pleno dan sidang panel. Pembicara yang membentangkan pemikirannya dalam sidang pleno antara lain, David Tom Hill (National University of Singapura), Amin Sweneey (University of California, Berkeley USA), Morsidi Haji Mohammad (University Brunei Darussalam), Julia Suryakusuma (Sosiolog, Indonesia), Muhammad Haji Salleh (Universiti Sains Malaysia), Jan van der Putten (National University of Singapore), Salleh Yaapar (International Institute of Asian Studies, Leiden), dan Solehah Ishak (Universiti Kebangsaan Malaysia), sedangkan sidang panel menghadirkan 40 pemakalah, antara lain, Sakinah Abu Bakar (Universiti Sains Malaysia), B. Rahmanto (Universitas Sanata Darma, Yogyakarta), Kinayati Djoyosuroto (Universitas Negeri Jakarta), Safrina Noorman (Universitas Pendidikan Indonesia), Kurnia Ningsih (Universitas Andalas, Padang), Nyoman elly Swandayani (Universitas Nasional, Jakarta), dan Hasanuddin W.S. Surabaya). (CAS) Catatan dari Konferensi Internasional Kesusastraan XVII HISKI Dalam Konferensi ini HISKI juga memperkenalkan jurnal berkala yang terbit dua kali dalam setahun (Januari dan Juli). Jurnal itu bernama Susastra: Jurnal Ilmu Sastra Dan Budaya. Jurnal itu diharapkan menjadi wahana penyebarluasan karya ilmiah dan hasil penelitian di bidang sastra dan budaya. Pada edisi pertama dan kedua, jurnal ini diterbitkan atas kerja sama HISKI dan Metafor Publishing, sedangkan edisi ketiga, HISKI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Untuk mendapatkan jurnal ini, peminat bisa menghubungi Ibu Nikmah Sunardjo atau Ganjar Hwia, d.a. Pusat Bahasa, Depdiknas, Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur. Telp.(021) 4896558 pswt 127 atau 157, pos-el: ganjar_hwia@yahoo.com Prof. Dr. Amin Sweeney “Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi: Melayu atau Bukan?" Dalam makalahnya, Sweeney mengatakan bahwa Abdullah hanyalah sebuah contoh mengenai konsep kemelayuan dan yang bukan kemelayuan. Keindonesiaan jelas tidak perlu dipertanyakan lagi karena sudah menyiratkan suatu wilayah yang nyata yakni Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Namun, jika kemelayuan yang dimaksudkan dalam pikiran dasar konferensi ini sebagai dua hal yang dikotomis dengan keindonesiaan, jelas hal itu anakronistis dan perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman pemikiran mengenai konsep kemelayuan dalam konteks ini. Solehah Ishak “Sastra Keindonesian dan Kemelayuan: Kemunculan Semula Hang Tuah sebagai Wira Budaya Melayu Serumpun” Solehah Ishak, dalam makalahnya, membedakan antara konsep keindonesiaan dan kemelayuan. Pada asasnya keindonesiaan ialah satu konsep politik, sedangkan kemelayuaan ialah satu konsep budaya. Konsep keindonesiaan boleh dikatakan merujuk pada imajinasi yang berkaitan dengan wujud Negara-Bangsa Indonesia, yaitu satu entiti politik yang mempunyai otonomi serta kedaulatannya yang terwujud dalam Negara-Bangsanya, sedangkan konsep kemelayuan adalah satu konsep yang membayangkan kewujudan keserumpunan budaya di Nusantara atau di Alam Melayu. Kemelayuan terbentuk dari hasil interaksi sosial budaya (agama, kesenian, bahasa dan sastra) yang terjadi sejak sekian lama di kalangan sekumpulan manusia yang mempunyai ciri-ciri fisik yang sama. Hj. Morsidi Haji Muhamad “Antara Kemelayuan dan Globalisasi dalam Puisi Melayu Brunei” Ada beberapa penyair yang yang mengemukakan saran atau ide melalui puisi mereka bahwa globalisasi tidak boleh dan tidak bisa di tolak, harus diterima tetapi harus disaring dan disesuaikan demi untuk kemajuan dan perkembangan bangsa dan negara. Ada kecenderungan di kalangan penyair, yang menekankan bahwa identitas negara tidak harus terkikis hanya karena globalisasi, meskipun terdapat puisi-puisi yang dihasilkan oleh beberapa penyair yang agak liberal tetapi di kalangan mereka tetap mempertahankan pentingnya identitas dan jati diri bangsa, negara serta agama, begitu pernyataan yang diungkapkan Morsidi haji Muhamad dalam makalahnya.(cas)