Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional: Hanya Mimpi?
Debat Bahasa antarmahasiswa dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2006 yang dilaksanakan oleh Pusat Bahasa, Depdiknas, masuk putaran kedua. Pada putaran kedua ini yang menjadi tuan rumah adalah FKIP Universitas Pakuan, Bogor. Putaran kedua ini dibagi atas dua sesi. Sesi pertama topiknya adalah, “Penggunaan Bahasa Indonesia di Tempat Umum, Perlu atau Tidak?” dan sesi kedua topiknya adalah, “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional, Mungkin atau Tidak?” Debat sesi pertama yang diikuti oleh Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, dan Universitas Pakuan, Bogor kurang “bertenaga”. Kelihatannya ketiga kelompok kurang menguasai masalah yang diperdebatkan. Istilah “tempat umum” (penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum) ditanggapi berbeda-beda sehingga permasalahan tidak terfokus. Debat ini menghangat pada sesi kedua, yakni ketika perdebatan mengarah pada masalah mungkinkah bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Kelompok A (Universitas Pakuan, Bogor) dengan jelas dan lantang mengatakan tidak mungkin, alasannya adalah ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi ketika sebuah bahasa itu dijadikan bahasa Internasional. Persyaratan itu, antara lain, bahasa itu sudah dikenal di dunia internasional, ekonomi negara asal bahasa itu kuat, ipteknya kuat, dan militernya kuat. Di samping Indonesia tidak memenuhi persyaratan itu, bagaimana mungkin bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sedangkan masyarakatnya saja malu berbahasa Indonesia dan sangat bangga menggunakan bahasa Inggris/asing? Kelompok A memberi contoh pemakaian bahasa di pusat kota Jakarta dan kota besar lainnya, seperti penamaan gedung-gedung bertingkat, hotel, dan pusat perbelanjaan, hampir semua menggunakan nama asing. Begitupun kaum intelektual bangsa ini, sering sekali mencampurkan bahasanya dengan bahasa Inggris/asing. Pernyataan kelompok A ini didebat oleh kelompok B (STKIP Budhi Rangkasbitung) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia punya potensi untuk menjadi bahasa internasional. Alasan yang mendasarinya, antara lain, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, menjadi pemersatu bangsa Indonesia, bersifat dinamis, sedang berkembang, dan mudah dicerna. Alur yang melanggengkannya, antara lain, Indonesia kaya ragam budaya (bahasa dan budaya merupakan dua unsur yang tak terpisahkan) dan hal ini menarik bagi negara lain, adanya era globalisasi, adanya internet (yang memungkinkan Indonesia terpublikasi ke dunia internasional), dan adanya kerja sama pemerintah dengan negara lain dalam perdagangan (saling mengambil manfaat). Sayangnya, penyangkalan kelompok B terhadap kelompok A tidak disertai contoh-contoh yang memadai sehingga alasan itu lebih merupakan retorika atau angan-angan/harapan saja. Kelompok C (Universitas Indonesia) yang duduk dibangku netral berpendapat bahwa bahasa Indonesia bisa diwujudkan sebagai bahasa internasional, tetapi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Alasan yang dikemukakan, antara lain, Indonesia harus mengubah dan mengembangkan kepribadian bangsa dulu, lebih cinta dan bangga menggunakan bahasa Indonesia, dan menata keadaan internal bahasa Indonesia itu sendiri, sebagai bahasa yang layak secara internasional. Nah! Satu hal lagi, yang membuat kelompok A merasa pernyataannya mendekati kebenaran adalah pernyataan narasumber (Dr. Sugiono, Pusat Bahasa) yang mengatakan bahwa jangan bicara bahasa Indonesia jadi bahasa internasional dulu. Masalahnya sekarang adalah apakah pada akhir abad ini bahasa Indonesia masih ada, masih digunakan? Jadi, benarkah bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional hanya mimpi???