Pelbba 18
Rektor Unika Atma Jaya yang diwakili oleh Pembantu Rektor IV, Marcellinus Marcellino, Ph.D. secara resmi membuka Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya kedelapan belas (PELBBA 18) pada tanggal 18 September 2006 di Kampus Unika Atmajaya, Jakarta. PELBBA merupakan salah satu pertemuan ilmiah dua tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB) Unika Atma Jaya. PELBBA 18 dihadiri sekitar seratus peserta yang berasal dari berbagai daerah di tanah air. Mereka adalah para linguis, ilmuwan yunior maupun senior, peneliti dan pemerhati ihwal bahasa/budaya, serta mahasiswa. Pertemuan ilmiah itu menghadirkan 8 pemakalah. Pemakalah yang tampil pada PELBBA 18 adalah Prof. Dr. Benny H. Hoed (Universitas Indonesia), A. Effendi Kadarisman, Ph.D. (Universitas Negeri Malang), Prof. Uri Tadmor, Ph.D. (Max Planck), Yassir Nasanius, Ph.D. (Unika Atma Jaya), N.K. Mirahayuni, Ph.D. (Untag Surabaya), Prof. Soenjono Dardjowidjojo, Ph.D. (Unika Atma Jaya), Nany S. Kurnia, Ph.D. (Unika Atma Jaya), dan Prof. Asim Gunarwan, Ph.D. (Universitas Indonesia). Dari pertemuan ilmiah selama dua hari ( 18—19 September 2006) tersebut, mencuat beberapa kajian yang menarik tentang perkembangan lingustik kontemporer. Prof. Uri Tadmor, Ph.D. dari Max Planck Institute yang menyampaikan makalah berjudul “Kontroversi Asal-usul Bahasa Melayu-Indonesia” memaparkan teori penentuan tanah air suatu bahasa. Menurutnya, asal-usul tanah air Bahasa Melayu-Indonesia sampai saat ini ada tiga versi yaitu, teori yang menyatakan bahwa tanah air Bahasa Melayu-Indonesia berasal dari Kepulauan Riau, Sumatra bagian selatan, dan Kalimantan Barat (Borneo). Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Prof. Uri menyimpulkan bahwa tanah air bahasa Melayu-Indonesia (dari bukti sejarah, tradisi, dan arkeologi) menganggap bahwa Sumatra bagian selatan lebih meyakinkan sebagai asal-usul tanah air Bahasa Melayu-Indonesia dibandingkan dengan Borneo. Sementara itu, A. Effendi Kadarisman, Ph.D. menyajikan makalah yang berjudul “Dari Etnopuitika ke Linguistik: Menampilkan Potret Lain Bahasa Jawa”. Menurutnya, Bahasa Jawa dengan keunikan tingkat tuturnya bisa dikaji secara etnopuitika. Etnopuitika ini merupakan perpaduan dari disiplin ilmu linguistik, sastra, antropologi, dan folklor. Dari hasil pengamatannya, A. Effendi menyimpulkan bahwa watak kelisanan merupakan penanda utama puitika jawa tradisional. Selanjutnya pada hari kedua Prof. Soenjono Dardjowidjojo, Ph.D. memaparkan makalah dengan judul “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa”. Menurutnya ada derajat keuniversalan tertentu dalam proses pemerolehan bahasa pada anak. Sesuai dengan perkembangan neurofisiologisnya, keuniversalan bahasa ini diasumsikan berlaku untuk semua komponen bahasa pada bahasa manapun. Pada komponen fonologi derajat keuniversalannya sangat tinggi, berkurang pada komponen morfosintaksis, dan lebih menurun lagi pada komponen leksikon. (hr).