Bengkel Forensik Kebahasaan

Bengkel Forensik Kebahasaan

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyelenggarakan Kelas Daring Laboratorium Forensik Kebahasaan secara daring melalui aplikasi Zoom dan menyiarkannya secara langsung melalui YouTube Badan Bahasa pada tanggal 26—30 Juli 2021.

Pada hari pertama, tanggal 26 Juli 2021, materi disampaikan oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (E. Aminudin Aziz), Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra (M. Abdul Khak), dan Ahli Bahasa Kantor Bahasa Kalimantan Timur (Ali Kusno). 

Dalam laporannya, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, M. Abdul Khak, menyampaikan bahwa peserta yang terdaftar mengikuti kegiatan melalui aplikasi Zoom adalah sebanyak 479 orang. Para peserta tersebut berasal dari Badan Bahasa, yaitu sebanyak 61 orang dan dari luar Badan Bahasa, yaitu sebanyak 418 orang yang terdiri atas dosen, guru, perwakilan kementerian dan lembaga, perwakilan penerbit, dan perwakilan perusahaan pengembang teknologi. 

 

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kasus-kasus (forensik kebahasaan) yang sekarang ini muncul, terutama di media daring, ujung-ujungnya berurusan dengan pengaduan kepada pihak kepolisian. Hal tersebut merupakan akibat dari penggunaan bahasa yang tidak wajar. Acara seperti ini bisa menjadi sebuah cara agar kita memberdayakan masyarakat pengguna bahasa supaya betul-betul berbahasa yang bermakna dan menunjukkan martabat.  

Lebih lanjut, dalam paparannya Aminudin Aziz menyampaikan bahwa linguistik forensik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan mengkaji ilmu bahasa dalam ranah hukum. Cabang linguistik ini mengkaji secara lebih dalam tentang bahasa yang digunakan oleh seseorang yang terlibat dalam suatu kasus. Ada sebuah dalil dalam filsafat linguistik, yaitu “Hakikat makna berada pada minda seorang penutur” atau the true meaning lies behind the speaker's mind. Menurutnya, jika berbicara tentang hakikat berbahasa, bagaimanapun bisa dikatakan bahwa berbahasa itu sesungguhnya adalah berwacana. Ketika berwacana, seseorang akan dipengaruhi oleh latar budayanya. Perangkat untuk menganalisis wacana itu terdiri atas unsur linguistik dan nonlinguistik. Unsur-unsur nonlinguistik itu meliputi (1) warna suara (biasanya menggunakan spektrograf) dan (2) prosodi (nada, tekanan, gerak tubuh, dan jenis mimik lainnya). Kemudian, perangkat linguistik meliputi (1) praanggapan (presupposition), makna ikutan (entailments), (3) implikatur berskala (scalar implicature), (4) pemagaran dan penguat (hedges and boosters), dan (5) syarat-syarat kebahagiaan (felicity conditions).

Ia menambahkan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis, yaitu (1) pengaturan pertuturan, (2) kompetensi dalam berbahasa, khususnya bagi saksi dan tersangka, (3) hubungan antarpersonal, dan (4) pemahaman pragmatik antarbudaya.  

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, M. Abdul Khak, mengatakan bahwa wacana bahasa dan hukum atau forensik kebahasaan terdiri atas tiga hal, yaitu (1) bahasa dalam produk hukum, (2) bahasa sebagai alat bukti hukum, dan (3) bahasa dalam proses hukum. Wacana adalah bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan hubungan sosial dan proses yang secara sistematis menentukan variasi sifat-sifatnya, termasuk bentuk-bentuk bahasa yang muncul dalam teks. Analisis wacana meliputi tiga level, yakni teks (mikro), praktik wacana (meso), dan praktik sosial (makro). Untuk dapat memahami ujaran atau wacana itu dengan baik dan tepat, penganalisis dapat dibantu dengan beberapa aspek, yaitu aspek tekstual, konteks, tuturan, dan ideologi pembicaranya.  

Selanjutnya, ahli bahasa dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur, Ali Kusno, menyampaikan paparannya tentang praktik analisis sengketa bahasa dengan perspektif analisis wacana kritis. Seorang ahli bahasa dalam penanganan kasus harus menggali informasi terkait sebanyak-banyaknya, baik berupa keterangan dari pihak penyidik maupun informasi lain yang menunjang analisis. Harapannya adalah pendekatan tersebut dapat mengungkapkan analisis kasus secara komprehensif dan objektif. 

Pada hari kedua, tanggal 27 Juli 2021, kegiatan bertajuk “Terorisme dalam Sudut Pandang Bahasa dan Hukum”. Materi disampaikan oleh Kasubdit Penyidikan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Imam Subandi), Plt. Kasubdit Pengawasan BNNPT (Faisal Yan Aulia), dan Peneliti Yayasan Pesantren Menglobal Nusantara (Al Fajri). 

Imam Subandi dalam paparannya menjelaskan hubungan antara terorisme dan bahasa. Bahasa digunakan sebagai sarana, penyamaran perbuatan, propaganda dan promosi, rekruitmen, dan upaya mendapatkan dukungan perbuatan terorisme. Selain itu, ia menjelaskan deteksi aktivitas terorisme dan istilah-istilah terorisme. Selanjutnya, Faisal Yan Aulia menjelaskan penanggulangan terorisme di Indonesia, bentuk-bentuk penyebaran radikalisme dari sisi kebahasaan, dan kontribusi bahasa dalam proses deradikalisasi. Terakhir, Al Fajri menjelaskan pemanfaatan korpus linguistik untuk riset forensik kebahasaan serta riset seputar terorisme dan deradikalisasi. 

Pada hari ketiga, tanggal 28 Juli 2021, kegiatan bertajuk “Efektivitas Pemanfaatan Media Sosial dan Media Daring untuk Menguatkan Literasi Digital”. Materi pertama disampaikan oleh Ketua Umum Siberkreasi (Yosi Mokalu atau Yosi Project Pop) dan Praktisi Hukum Online (Arasy Pradana). Yosi memaparkan fenomena budaya dan etika di media digital oleh warganet Indonesia dan  tantangan dalam meningkatkan literasi digital di masyarakat. Selanjutnya, Arasy Pradana memaparkan permasalahan dalam kesadaran hukum di masyarakat, polemik penggunaan bahasa di media sosial yang bersinggungan dengan hukum, dan efektivitas penggunaan media daring dalam edukasi bidang bahasa dan hukum. 

Pada hari keempat, tanggal 29 Juli 2021, kegiatan bertajuk “Potensi dan Pemanfaatan Big Data dalam Riset Forensik Kebahasaan”. Materi disampaikan oleh Peneliti LIPI (M. Alie Humaedi), Praktisi Drone Emprit (Ismail Fahmi), dan Praktisi Universitas Bayangkara Surabaya (Budi M. Mulyo). 

M. Alie Humaedi  memaparkan big data dan fenomena penggunaan bahasa dalam masyarakat digital dan pemanfaatan big data dalam riset forensik kebahasaan. Selanjutnya, Ismail Fahmi memaparkan pengolahan dan analisis big data sebagai sumber data dalam riset. Selain itu, ia menjelaskan identifikasi pola kebahasaan pada isu-isu yang berkembang di media sosial. Terakhir, Budi M. Mulyo memaparkan pengumpulan data untuk riset forensik kebahasaan dan pembuatan pangkalan data sederhana. 

Pada hari kelima, tanggal 30 Juli 2021, materi disampaikan oleh Kanit IV (Kerma) Subdit III Ditipid Siber, Bareskrim Polri (Endo Priambodo); Analis Forensik Direktorat Pengendalian Informasi, Investigasi, dan Forensik Digital, Badan Siber dan Sandi Negara (Nanang Cahyana);  serta Praktisi dan CEO Prosa.ai (Teguh Eko Budiarto).  

Endo Priambodo memaparkan perkembangan kejahatan yang memanfaatkan teknologi, pemanfaatan teknologi dalam proses penegakan hukum, serta proses virtual policing dan upaya penegakan hukum restoratif. Selanjutnya, Nanang Cahyana mengidentifikasi fenomena kebahasaan dalam jejak digital masyarakat di media sosial dan pemanfaatan teknologi dalam keamanan dan literasi digital. Pemateri selanjutnya, Teguh Eko Budiarto, memaparkan perkembangan teknologi dalam mengungkapkan fenomena kebahasaan dan komunikasi. Selain itu, Teguh menjelaskan teknologi kecerdasan artifisial dan kecenderungan terjadinya pelanggaran hukum terkait dengan hal itu. 

Selama kegiatan berlangsung, peserta antusias terhadap pemaparan pemateri dan aktif dalam sesi diskusi. Dengan demikian, diharapkan bahwa tujuan kegiatan ini, yaitu adanya peningkatan pemahaman ilmu forensik kebahasaan bagi praktisi, pegiat riset, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum yang berminat terhadap ilmu forensik kebahasaan, dapat tercapai. (Ali/KBKaltim)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa