Memeriksa Kembali Pemikiran-pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana
Selama ini masyarakat lebih mengenal Sutan Takdir Alisjahbana (biasa disebut STA) sebagai sastrawan yang menulis novel Layar Terkembang dan memimpin Pujangga Baru. Padahal, sumbangan utama STA adalah di bidang bahasa dan kebudayaan. STA juga memberi sumbangan penting di bidang pendidikan, filsafat, dan sosiologi, yang memengaruhi kebudayaan dan kehidupan berbangsa. satu putri STA yang menjabat sebagai Ketua Yayasan STA, dalam diskusi sastra bertajuk “Memeriksa Kembali Pemikiran-Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana”, yang dilaksanakan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (25/3). Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana. Diskusi menghadirkan narasumber Goenawan Mohammad, Nirwan Arsuka, dan Jos Daniel Parera. Sutan Takdir Alisjahbana adalah fajar modernisme Indonesia. Padanya-lah kita mendapati semangat membangun Indonesia modern justru sebelum Indonesia lahir. Lewat pemikirannya dibidang sastra, bahasa, filsafat, dan kebudayaan yang tersebar dalam berbagai tulisan dan buku, STA tak lelah-lelahnya memperjuangkan kemajuan Indonesia. Selanjutnya Tamalia mengatakan, STA menyadari bahwa ilmu dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu bangsa. Agar dapat berjalan dengan baik, suatu masyarakat harus memiliki kebudayaan yang dapat menjadi dasar atau sandaran bagi ilmu dan teknologi. "Maka STA pun memunculkan polemik kebudayaan pada tahun 1930-an," katanya. Menurut Tamalia dasar pemikiran Takdir tentang polemik kebudayaan yakni ilmu dan teknologi Barat yang berasal atau berkembang sejak Zaman Renaissance. Untuk mengambil alih ilmu dan teknologi tersebut bangsa Indonesia pun harus mengambil alih nilai-nilai kebudayaan zaman itu. "Tertib berbahasa menggambarkan orang itu tertib berpikir. Dengan bahasa kita mengembangkan etika, mengembangkan budaya. Ini sikap STA dalam mengembangkan bahasa. Prinsipnya mengembangkan ilmu kemajuan bahasa dan manusia rasional," demikian dikatakan linguis Jos Daniel Parera. Daniel menjelaskan, kecintaan STA akan memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa yang maju telah ditunjukkannya dengan Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia Jilid 1 dan 2, serta majalah Pembina Bahasa Indonesia, yang terbit sejak tahun 1949. Sementara Nirwan Ahmad Arsuka yang menyampaikan Autopoiesis Takdir mengatakan, telaah atas sumbangan STA terhadap bahasa Indonesia sudah banyak dilakukan. "Suatu bahasa dinamakan modern kalau dalam dirinya tercermin apa yang dinamakan modern kalau dalam dirinya tercermin apa yang dinamakan prinsip aktivitas yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang sanggup mengubah diri dan lingkungan hidupnya. Prinsip kedua adalah abstraksi dan pemikiran rasional. Prinsip ketiga adalah kelugasan dan prinsip keempat adalah egalitarianisme," katanya. Simpulan Goenawan Mohamad sebagai pembicara terakhir menyatakan bahwa ada yang bisa dicacat dari sejarah STA: di tahun 1934, ia merayakan puisi. Di tahun 1937, ia melepaskan puisi untuk prosa. Sejak itu, ia adalah sebuah prosa par excellence.(HR)