UU 24/2009, Penerjemah, dan Juru Bahasa
Pada hari Sabtu, 16 Jan 2010, Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) mengadakan diskusi dengan topik “UU 24/2009: Peluang Kerja untuk Penerjemah dan Juru Bahasa” di Pusat Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur. Diskusi tersebut dipandu oleh Kukuh Sanyoto (Wakil Ketua II HPI) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara: Sugiyono Shinutama (Kabid Pengembangan Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa) dan Junaiyah H. Matanggui (Konsultan dan Praktisi Bahasa Indonesia).Dalam acara yang dihadiri oleh lebih kurang 40 orang dan berlangsung antara pukul 10.00–12.30 tersebut, Sugiyono, sebagai orang yang terlibat langsung dalam proses penyusunan UU 24/2009, menjabarkan isi Undang-Undang 24/2009 yang berkaitan dengan bahasa. Sedangkan Junaiyah, sebagai ahli bahasa yang sering dilibatkan dalam pembahasan RUU,membahas beberapa kesalahan umum yang banyak ditemukan dalam naskah RUU.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan atau disingkat BBLNLK disahkan pada tanggal 9 Juli 2009. Sesuai dengan namanya, salah satu topik yang diatur pada undang-undang (UU) ini adalah tentang bahasa negara. Isi Undang-Undang Bahasa Negara Masalah bahasa negara secara spesifik dijelaskan dalam 21 pasal (pasal 25 sampai 45) dari total 74 pasal yang ada dalam UU ini. Sedangkan tiga pasal (1, 72, dan 73), meskipun tidak spesifik, juga membahas bahasa negara. Pasal 1 menjelaskan tentang definisi bahasa Indonesia (bahasa resmi nasional), bahasa daerah (bahasa yang digunakan secara turun-temurun di daerah di Indonesia), dan bahasa asing (bahasa selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah). Pasal 25 menjelaskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara dan bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Fungsinya adalah sebagai (1) jati diri bangsa, (2) kebanggaan nasional, (3) sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta (4) sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Pasal 26 sampai 39 menjelaskan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam hal-hal berikut. 1. Peraturan perundang-undangan. 2. Dokumen resmi negara, misalnya surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan. 3. Pidato resmi, yaitu pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu. Pejabat negara yang dimaksud adalah semua pejabat dari tingkat tertinggi sampai dan termasuk tingkat kepala daerah tingkat II (kabupaten/kota). 4. Bahasa pengantar pendidikan. Bahasa asing dapat digunakan untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing. 5. Layanan administrasi publik. 6. Nota kesepahaman/perjanjian. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris dan semua naskah itu sama aslinya. Khusus untuk perjanjian dengan organisasi internasional, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipilih organisasi tersebut. 7. Forum resmi nasional/internasional. Bahasa asing dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri. 8. Komunikasi resmi lingkungan kerja. Berlaku baik untuk lingkungan kerja pemerintah maupun swasta (perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia). Pegawai yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia 9. Laporan kepada instansi pemerintahan. 10. Karya ilmiah. Untuk tujuan atau bidang kajian khusus, dapat digunakan bahasa daerah atau bahasa asing. 11. Nama resmi geografi dan nama diri. Termasuk di dalamnya adalah nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, serta organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. 12. Informasi produk atau jasa. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat disertakan jika dikeperluan. 13. Rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat disertakan jika dikeperluan. 14. Media massa. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat digunakan pada media massa yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus. Pasal 40 menyebutkan bahwa keterangan lebih lanjut tentang penggunaan seperti butir-butir di atas akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres). Pasal 41 sampai 45 menjabarkan tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Bahasa Indonesia, serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. 1. Pemerintah melalui lembaga kebahasaan mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar sesuai dengan perkembangan zaman 2. Pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. 3. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. 4. Pemerintah dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. 5. Lembaga kebahasaan dibentuk sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pasal 72 tentang ketentuan peralihan menjelaskan UU ini tidak berlaku surut terhadap peraturan yang sudah ada dan belum diganti. Pasal 73 tentang ketentuan penutup menetapkan waktu dua tahun untuk membuat peraturan pelaksanaan UU ini (misalnya PerPres). Kesalahan Umum Naskah RUU Dalam proses pembuatan rancangan undang-undang (RUU), ternyata cukup banyak kesalahan-kesalahan yang dibuat. Konsultan atau ahli bahasa berperan penting dalam memberikan masukan untuk perbaikan kesalahan-kesalahan tersebut. Beberapa kesalahan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut. 1. Huruf kapital yang diberikan bukan berdasarkan kaidah melainkan karena kebiasaan atau rasa hormat. Huruf kapital seharusnya hanya diberikan untuk nama diri sedangkan nama jenis tidak diberi huruf kapital. Singkatan ditulis seluruhnya dalam huruf kapital sedangkan akronim hanya diberikan huruf kapital pada huruf pertama. Misalnya POLRI, padahal seharusnya Polri. 2. Tanda koma yang seharusnya diberikan sebelum kata “dan” pada butir terakhir. Misalnya “…a, b dan c peraturan itu” padahal seharusnya “…a, b, dan c peraturan itu”. 3. Tanda titik dua. Daftar yang diawali dengan titik dua selalu dibuat seolah sebagai serangkaian kalimat: setiap butir bernomor diawali dengan huruf kecil (kecuali jika diawali dengan nama diri) dan diakhiri dengan tanda koma. Tiap baris yang merupakan kalimat yang berdiri sendiri harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. 4. Definisi yang tidak berimbang, misalnya kata benda harus didefinisikan dengan kata benda yang setara. 5. Kesalahan penggunaan kata karena tidak mengerti urutan pembentukan kata, kaitan bentuk dan makna, perbedaan pemakaian kata yang mirip, serta penulisan kata yang baku. Diskusi dan Tanya Jawab Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, ada beberapa isu yang dibahas. Berikut penjabaran beberapa masalah yang sempat dibicarakan. Sanksi Mengapa tidak ada sanksi bagi pelanggar UU bahasa negara? Tim Pusba sudah berusaha keras untuk memasukkan ini. Tapi perdebatan mengenai hal ini memang sangat alot karena baik di KUHP maupun KUHAP sulit ditemukan pasal yang cocok untuk pelanggaran bahasa ini. Sebagai penghibur, mungkin bisa dilihat UUD 1945. UUD sama sekali tidak memuat sanksi tapi tetap dianggap mengikat dan dijadikan dasar bagi hampir semua peraturan lain. Sanksi juga nanti bisa dimasukkan dalam peraturan pelaksanaan. Masalah di Lapangan Dalam komunikasi yang melibatkan pihak asing, penggunaan bahasa Indonesia dapat membuat tidak lancarnya komunikasi. Hal ini sebenarnya adalah karena orang Indonesia< sendiri>