Diskusi Undang-undang Bahasa 24/2009
Pada hari Sabtu, 27 Mar 2010, telah diselenggarakan acara diskusi mengenai Undang-Undang Bahasa (UU 24/2009) di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta. Diskusi ini digelar oleh Forum Bahasa Media Massa (FBMM) dengan menghadirkan empat orang pembicara, yaitu Dendy Sugono, Hinca Panjaitan, Eko Endarmoko, dan T.D. Asmadi. Suryopratomo, Direktur Pemberitaan Metro TV, yang juga direncanakan sebagai pembicara ternyata tidak dapat hadir. Acara diskusi yang dipandu oleh Rita S. Hastuti ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam dalam suasana yang cair dan santai. Dendy Sugono, mantan Kepala Pusat Bahasa, dalam sesi tanya jawab menyampaikan bahwa RUU awal yang diajukan Pusat Bahasa sebenarnya mencantumkan sanksi terhadap pelanggaran undang-undang ini–sesuatu yang kemudian tidak muncul dalam versi akhirnya. Beliau mengatakan ada perbedaan antara bahasa baku dan bahasa yang baik dan benar. Undang-Undang ini mengatur bahasa baku yang hanya satu pada setiap negara dan juga telah diterapkan oleh negara lain seperti Prancis, Quebec, dan Cina. Pengaturan diperlukan agar bahasa dapat teratur dan mudah dipelajari. Di sisi lain, bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang sesuai dengan konteks pembicaraan serta kaidah ejaan dan tata bahasa yang berlaku. Pembicara kedua, Hinca Panjaitan (pengamat hukum), menyampaikan pandangannya dari segi hukum bahwa bahasa sebagai sesuatu yang dinamis kurang pas untuk diatur dalam sesuatu yang statis atau undang-undang. Dari perspektif hukum, kelemahan utama undang-undang ini adalah tidak adanya sanksi konkret terhadap pelanggaran. Meskipun demikian, ada beberapa usulan yang menarik dari Hinca, yaitu antara (1) segera buat peraturan pelaksanaan undang-undang, (2) segera buat lembaga kebahasaan yang selalu sedia untuk menerima pertanyaan dari masyarakat, dan (3) ajukan somasi bagi para pelanggar undang-undang ini sebagai suatu terapi kejut! Pembicara ketiga, Eko Endarmoko (praktisi bahasa, penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia), telah menyiapkan makalah “Bangga Berbahasa Indonesia” yang dibagikan kepada para peserta bersama dengan salinan tulisannya yang pernah dimuat pada Majalah Tempo edisi 26 Mar 2007 yang berjudul “Sengkarut Undang-Undang Bahasa”. Dengan singkat ia memaparkan pemikirannya bahwa yang terpenting harus dibangun adalah kebanggaan terhadap bahasa Indonesia; bukan dalam bentuk sauvinisme, melainkan sebagai kebanggaan terhadap jati diri. Pembicara keempat, T.D. Asmadi (Ketua Umum FBMM), membawakan bahasan “Menunggu Titik dari Presiden” yang juga dibagikan dalam bentuk cetak kepada para peserta. Beliau menyatakan bahwa ibarat kalimat, undang-undang ini masih pada tanda baca “koma”, perlu tindakan-tindakan lain agar menjadi kalimat sempurna yang diakhiri dengan “titik”. Tindakan tersebut, yaitu dengan segeranya dikeluarkan peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan UU tersebut. T.D. Asmadi juga memaparkan beberapa masalah atau hal yang terkait dengan bahasa seperti (1) penggunaan istilah asing untuk nama acara, (2) media massa yang masih belum kompak dalam pelafalan dan penulisan, (3) penamaan geografi (toponimi) yang masih karut-marut, serta (4) unsur lokal yang memberi warna bahasa Indonesia. (Sumber: Ivan Lanin)(DM)/hr./