Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara 2010
JAKARTA - Para sastrawan dan pecinta sastra se-Asia Tenggara berkumpul di Hotel Santika, Jakarta, Senin (27/9/2010). Mereka menghadiri Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT). Seminar dua hari tersebut mengambil tema Sastra dan Ideologi. Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara diharapkan menghasilkan pemikiran baru yang bertaut dengan persoalan sastra dan ideologi. Selain itu, perbincangan tentang sastra dan ideologi juga ditujukan untuk membuka ruang dialog antarnegara dan antarkelompok, baik yang berada di Indonesia maupun yang ada di berbagai negara. WKS Pusat Bahasa Kemendiknas RI, Agus Darma, Ph. D., menyatakan, sastra tanpa ideologi memiliki kecenderungan untuk menjadi sastra tanpa tanggung jawab intelektual. Namun, hal itu tidak berarti bahwa sastrawan menulis karena tujuan propaganda ideologi yang dianutnya. "Jika hal itu terjadi, esensi sastra akan hilang sebab karya sastra adalah sebuah ruang untuk menyatakan sebagian realitas kemanusiaan, bukan alat yang dapat digunakan oleh pengarangnya, kelompok tertentu, atau penguasa," papar Agus. Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional (Sekjen Kemendiknas) Dodi Nandika menyampaikan, SAKAT merupakan langkah signifikan untuk lebih memantapkan bahasa dan sastra Melayu di kancah sastra dunia. Selain itu, menurut Dodi, kemajuan suatu bangsa sangat terkait dengan kemampuan bangsa tersebut mengembangkan berbagai sumber dayanya, termasuk bahasa. "Bahasa adalah living organism yang harus dikembangkan dan dipelihara," ujar Dodi ketika membuka seminar. Pada kesempatan tersebut, Sastrawan muda Indonesia, Joni Ariadinata, menerima Penghargaan Sastrawan Muda dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional Dodi Nandika, dalam “Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara” di Hotel Santika, Jakarta, 27 September 2010. “Penghargaan tersebut merupakan apresiasi kepada sastrawan yang telah berhasil mengungkapkan budaya bangsa melalui karya sastra yang bermutu,” jelas Dodi. Di antara karya sastra Joni adalah Kali Mati (Bentang Budaya, 1999), Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), Air Kaldera (Aksara Indonesia, 2000), dan Malaikat Tak Datang Malam Hari (DAR Mizan, 2004). Bersama Taufiq Ismail, Joni juga aktif mengedit berbagai buku penting yang merepresentasikan sejarah sastra serta pemikiran-pemikiran penting seputar kebudayaan, seperti Horison Sastra Indonesia satu (Kitab Puisi), Horison Sastra Indonesia dua (Kitab Cerpen), Horison Sastra Indonesia tiga (Kitab Novel), Horison Sastra Indonesia empat (Kitab Drama), serta Horison Esai Indonesia.Pria kelahiran Majalengka, 23 Juni 1966 ini turut aktif dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Selama lima tahun, Joni, Taufiq Ismail, dan kawan-kawan berkeliling ke penjuru Indonesia memperkenalkan sastra ke SMU-SMU. Sebelumnya, Joni juga pernah menerima “Anugerah Pena 2007? dan “Anugerah Sastra Pusat Bahasa 2008? atas kumpulan cerpen Malaikat Tak Datang Malam Hari. Selain Joni, sastrawan asal Malaysia SM Zakir, dan sastrawan asal Brunei Darussalam Awang Puasa bin Kami juga menerima Penghargaan Sastrawan Muda Mastera 2010. Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara 2010 dihadiri oleh dosen, pengajar, mahasiswa, peneliti, sastrawan, pengamat sastra, dan pemerhati sastra dari berbagai negara. Para pemakalah yang tampil di antaranya WKS Pusat Bahasa Kemendiknas RI Agus Dharma, Ph.D., Dr. Seno Gumira Aji Darma (Indonesia), Sirikit Syah (Indonesia), Prof. Dr. Budi Darma (Indonesia), Dr. Gabriel E. Otto (Jerman), Prof. Madya Ampuan Dr. Haji Brahim bin Ampuan bin Haji Tengah (Brunei Darussalam), Salmiah Ismail (Malaysia), Prof. Madya Dr. Nor Faridah binti Abdul Manaf (Malaysia), Prof. Cai Jincheng, M.A. (China), dan Prof. Dr. Henri Chambert-Loir (Prancis). (Ca: dr berbagai sumber/DM).