Bahasa Karakter Bangsa
YEYEN mempunyai obsesi agar Badan Bahasa eksis, bermanfaat bagi masyarakat, dan berkontribusi pada pencerdasan bangsa. Lembaga ini diharapkan bisa berperan penting dalam peningkatan kepribadian bangsa melalui kecintaan terhadap bahasa Indonesia sehingga kita menjadi bangsa yang berkarakter. ”Bahasa Indonesia adalah karakter dan identitas bangsa,” ujarnya tegas.
SEJAK berdiri Juli 2010 (melalui Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian dan Lembaga Pemerintah), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum memiliki pemimpin definitif. Agus Dharma, PhD memang pernah menjadi pelaksana tugas (plt) Kepala Badan Bahasa (versi singkat nama lembaga ini), tetapi Agus pun sudah pensiun sejak 1 Desember 2011. Belum ada calon yang akan mengisi jabatan penting tersebut.
Dalam kondisi itu, Sekretaris Badan Bahasa Dra Yeyen Maryani, MHum (49) berperan sebagai koordinator internal, peran yang sudah dijalaninya sejak lembaga itu bernama Pusat Bahasa dan dalam masa transisi menjadi Badan Bahasa yang pemimpinnya adalah pejabat eselon I, berbeda dengan Kepala Pusat Bahasa dulu yang eselon II.
Ketika badan baru itu berdiri, Yeyen-lah pejabat pertama yang dilantik. Sebagai pejabat eselon II dan seorang sekretaris lembaga besar, dia mengoordinasikan semua kegiatan Badan Bahasa, baik yang bersifat teknis (pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa) maupun nonteknis (kegiatan pendukung).
Wanita kelahiran Cianjur, 20 Juli 1962 ini dikenal energik. Jam kerjanya tidak lagi hanya dari pukul 9.00 sampai pukul 17.00 WIB seperti umumnya pegawai, tetapi sering kali ”tembus” sampai larut malam. Belum lagi bila dia harus berangkat ke luar kota. Bahkan, dalam satu hari terkadang dia harus melaksanakan tugas di dua kota berbeda. Namun, semua itu dijalaninya dengan penuh dedikasi.
Belum lagi, Yeyen pun masih menempuh dua program doktor, yakni di Universitas Negeri Jakarta (program studi manajemen pendidikan) dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (linguistik). Tak heran bila pada akhir pekan dia harus berangkat ke Yogyakarta untuk menyelesaikan tahap akhir program doktornya. Suaminya, HM Darwis, SH, seorang wirausaha, tampak memaklumi kesibukan Yeyen. ”Namanya juga perjuangan,” kata Darwis saat mendampingi Yeyen dalam wawancara dengan ”PR” di Bandung, Rabu, 21 Desember 2011.
Yeyen tidak hanya piawai menapaki karier. Dia juga mampu mengurus rumah tangga dengan baik. Bersama suami, Yeyen membesarkan dan mendidik anak-anaknya hingga meraih kesuksesan. Pasangan Yeyen dan Darwis punya empat anak, yakni Isni Fitriana Noeraini Darwis (28), Siti Latifa Nurrahima (25), Ahmad Finandika Nurrasyid (21), dan Ali Akbar Finanuddin (11). Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan kehadiran seorang cucu, Muhammad Zaki Kusuma Raharjo (1 tahun), anak pertama Isni, putri sulungnya.
Isni yang lulusan S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti dan S-2 dari PPM (Pendidikan dan Pengembangan Manajemen) Business School Jakarta sudah bekerja di Bank DKI, Siti Latifa adalah seorang dokter lulusan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta dan sudah buka praktik di Jakarta dan Bogor, sedangkan Ahmad Finandika adalah karbol (taruna) tingkat III Akademi Angkatan Udara. Si bungsu Ali Akbar Finanuddin masih kelas V SD 04 Pondok Kelapa, Jakarta.
Pada 1986 Yeyen menyelesaikan program sarjana di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kini sudah berubah nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Gelar magister (S-2) pada bidang studi ilmu budaya dia raih tahun 1990 dari Universitas Indonesia. Tentang dua program doktornya, sementara ini Yeyen sedang fokus untuk menyelesaikan studi S-3 linguistik di UGM terlebih dahulu. Selama kariernya, Yeyen telah menghasilkan banyak karya tulis soal bahasa, serta aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kebahasaan, baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk di Jerman dan Belanda yang menjadi pusat kajian linguistik Eropa.
YEYEN mempunyai obsesi agar Badan Bahasa eksis, bermanfaat bagi masyarakat, dan berkontribusi pada pencerdasan bangsa. Lembaga ini diharapkan bisa berperan penting dalam peningkatan kepribadian bangsa melalui kecintaan terhadap bahasa Indonesia sehingga kita menjadi bangsa yang berkarakter. ”Bahasa Indonesia adalah karakter dan identitas bangsa,” ujarnya tegas.
Dalam struktur organisasi, di bawah Kepala Badan Bahasa ada tiga pejabat eselon II yakni Sekretaris Yeyen Maryani, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa Dr Sugiyono yang menggantikan Prof Dr Cece Sobarna dari Unpad, serta Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan Drs Muhadjir, MA yang menggantikan Ir Kodrat Wisnuadji.
Sekadar kilas balik, ketika Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono pensiun, Agus Dharma, PhD yang saat itu Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, diangkat sebagai Wakil Sementara (Wks) Kepala Pusat Bahasa pada Juli 2010. Kemudian pada 19 November 2010 (melalui SK Mendiknas tertanggal 17 September 2010) dilantiklah Prof E Aminudin Aziz, PhD (guru besar linguistik Universitas Pendidikan Indonesia) sebagai Kepala Pusat Bahasa. Namun, Aminudin hanya berkiprah beberapa bulan di Pusat Bahasa, dan memilih kembali ke kampus UPI sebagai Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan.
Pada 28 Desember 2010, Yeyen dilantik sendirian sebagai (pejabat definitif) Sekretaris Badan Bahasa sekaligus menandai berdirinya lembaga baru itu. Sementara Agus Dharma, PhD menjadi pelaksana tugas (plt) Kepala Badan Bahasa. Kemudian, pada 11 Januari 2011 diangkatlah dua pejabat eselon II Badan Bahasa, yakni Cece Sobarna sebagai Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa serta Kodrat Wisnuadji sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan.
Mengapa harus dibentuk Badan Bahasa? Menurut Yeyen, semangat masyarakat untuk mendorong Pusat Bahasa menjadi lembaga yang punya kewenangan lebih besar, sudah tergambar dalam putusan Kongres Bahasa, sejak 1988. Para peserta berkeinginan agar (Kepala) Pusat Bahasa dinaikkan eselonnya, dari eselon II yang berada di bawah sekretariat jenderal kementerian, menjadi eselon I yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional (sekarang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan).
Dalam segi teknis kebahasaan, ada tugas dan fungsi Badan Bahasa, yakni pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa. Selama ini, terus dilakukan berbagai penelitian kebahasaan dan kesastraan. Salah satu kegiatan unggulan Badan Bahasa adalah penelitian tentang kekerabatan bahasa-bahasa daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wujud akhirnya berbentuk peta bahasa. Sampai setakat ini, dari penelitian tersebut, sudah terpetakan 548 bahasa. Masih ada wilayah sebaran bahasa yang belum terpetakan, terutama di sebagian Papua, Maluku, dan Maluku Utara. ”Kami terus melakukan pemetaan,” ujar Yeyen. Peta bahasa itu sangat penting karena dapat menjadi bukti, kalau bahasa-bahasa itu eksis di suatu daerah berarti secara politis daerah itu merupakan wilayah NKRI. Dengan demikian, peta bahasa bisa menguatkan garis batas wilayah negara.
Dalam konteks pembakuan, Badan Bahasa telah menyusun kamus serta berbagai rujukan dan pedoman kebahasaan. Di lain pihak, penggunaan bahasa (Indonesia) masih memprihatinkan, terutama di media luar ruang, misalnya spanduk yang terkesan seenaknya. ”Gunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar sehingga informasi dapat diterima dengan jelas,” ujar Yeyen. Menurut dia, penggunaan bahasa yang tertata dengan baik mencerminkan pola pikir masyarakat (bangsa) yang baik pula, sesuai dengan pepatah bahwa bahasa adalah jiwa bangsa.
Bahasa Indonesia pun dirancang untuk bisa menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Bahasa Indonesia dinilai mampu menjadi bahasa iptek karena memiliki banyak kosakata yang bisa memerikan (menjelaskan) konsep iptek, termasuk lewat kata serapan.
Dalam dimensi lain, perlu ada peningkatan fungsi dan peran bahasa Indonesia agar menjadi bahasa internasional sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 bagian keempat Pasal 44 tentang Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional. Untuk pengguna pun ada Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang berbasis kertas dan daring.
Yeyen mengajak masyarakat agar mengutamakan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. ”Namun, kita juga jangan melupakan bahasa daerah sebagai sumber dari berbagai kearifan lokal, dan jangan pula menafikan kemampuan berbahasa asing untuk berkomunikasi di tingkat global,” ujarnya. (Imam Jahrudin Priyanto, Pikiran Rakyat, 22 Januari 2012, Rubrik "Berakhir Pekan")