Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Bekerja Sama dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang Menggelar Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII

Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Bekerja Sama dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang Menggelar Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII

Tanjungpinang—Budaya Melayu dapat dijadikan arah karakter bangsa. Hal itu diungkapkan oleh Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan, dalam sambutannya pada  pembukaan Seminar Tradisi Lisan VIII (yang merupakan rangkaian kegiatan Revitalisasi Budaya Melayu III) di Taman Budaya Raja Ali Haji, Senggarang, Tanjungpinang, Kamis, 24 Mei 2012. 

Oleh karena itu, Suryatati sangat prihatin jika generasi muda malu atau berusaha menyembunyikan identitas dirinya sebagai anak Melayu dengan mengganti namanya dengan nama yang berbau Barat. Menurut beliau, generasi muda seharusnya tetap bangga menunjukkan identitas dirinya dan menjujunjung tinggi harga dirinya sebagai orang Melayu.

Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII  yang berlangsung di Hotel Aston, Tanjung Pinang, selama empat hari (24—27 Mei 2012) ini  diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bekerja sama dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang. ATL juga bekerja sama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan pameran buku.  Ada sekitar 250 judul buku terbitan Badan Bahasa yang dipamerkan dalam seminar ini yang berisi tentang penelitian sastra Melayu dan daerah lainnya serta karya sastra yang berupa cerita rakyat.    

Seminar yang berlangsung di kota gurindam ini dihadiri oleh dua ratus peserta yang berasal dari berbagai negara, antara lain, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea, Jepang, dan Belanda. Dr. Pudentia MPSS, Ketua Umum ATL, mengatakan bahwa tujuan seminar ini adalah memberikan perhatian pada tradisi lisan dan komunitasnya (yang termasuk dalam kelompok minoritas), memperhatikan berbagai potensi tradisi lisan sebagai salah satu sumber utama penciptaan karya kreatif, dan menghidupkan tradisi lisan.

Untuk mendukung tujuan tersebut, ATL menghadirkan pakar tradisi lisan dari dalam dan luar negeri yang diharapkan mampu memberikan masukan yang berarti untuk mengangkat tradisi lisan tersebut. Ada 65 pembicara yang dihadirkan dalam seminar ini, antara lain, Prof. Dr. Chairil Effendi, Prof. Dr. Achadiati, Prof. Dr. Robert Sibarani, Prof. Dr. Taufiq Abdullah, dan Dr. Mu’jizah (Indonesia) serta  Franscois Zacot (ahli suku laut, Prancis), Aone van Engelenhoven (ahli tradisi lisan Indonesia Timur,  Belanda), dan Haron Daud (ahli mantra, Malaysia).      

Para pakar tersebut akan membahas berbagai permasalahan tradisi lisan yang dikemas dalam tema ”Dari Ingatan ke Kenyataan (From Memory to Reality)”. Tema itu diangkat karena ingatan (memory) merupakan salah satu aspek kunci untuk penetapan identitas: identitas diri, identitas kelompok/komunitas, dan identitas bangsa. Akan tetapi,  ingatan itu sering diabaikan. Ingatan dianggap sebagai penghambat dan  hanya sebagai bagian dari masa lalu saja. Padahal, ingatan adalah sebuah proses sosial yang dinamis. Ingatan yang berada di antara ranah kognitif dan ilmu sosial memungkinkan banyak hal berbeda terjadi dalam pembentukan peradaban manusia (Wittgenstein, 1974:181). 

Dengan menyelenggarakan seminar ini, Pudentia mengharapkan kepedulian masyarakat umum, para ilmuwan, budayawan, dan juga pemerintah, atau pihak yang terkait untuk menyelamatkan dan melindungi budaya dan tradisi lisan yang merupakan warisan leluhur bangsa yang sangat berharga.  “Kehilangan hal-hal itu adalah sebuah bencana”, tandasnya.

Seminar Tradisi Lisan VIII ini menjadi sangat menarik karena diselenggarakan bersamaan dengan tujuh kegiatan lainnya yang merupakan rangkaian kegiatan Revitalisasi Kebudayaan Melayu III yang dilaksanakan oleh Pemenrintah Kota Tanjungpinang. Tujuh kegiatan lainnya itu adalah, Panggung Seni Lakon Melayu, Panggung Festival Tradisi Lisan, Festival Tradisi Bahari, Panggung Eksplorasi Seni Tradisi, Pameran Museum dan Galeri Nasional, Permainan Rakyat, dan Kuliner Melayu.

Di Panggung Seni  Lakon Melayu ditampilkan Mak Yong yang berasal dari  tiga negara, yaitu Lakon Cik Wang dari Phatani (Thailand), Cik Wang  dari Kelantan (Malaysia), dan Cik Wang dari Kepulauan Riau (Indonesia). Di Panggung Festival Tradisi Lisan, ada pertunjukan Mendu (Natuna), Gobang (Anambas), Randai (Kuansing), Joget Dangkung Mak Dare (Tanjungpinang), dan Joget Dangkung Mak Long (Karimun). Di Panggung Eksplorasi Seni Tradisi, ada pertunjukan Oleng-Oleng (Siak), Celoteh Anak Sebauk (Tanjungpinang), Senandung Jolo (Jambi), Rentak Bulian (Inhu), Jogi (Batam), Malemang (Bintan), Madihin (Ihnu), dan Gazal Anak-Anak (Meranti). (mla/lus)

 

Bunga Rampai Makalah Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII:
Dari Ingatan ke Kenyataan
(From Memory to Reality)

Tanjungpinang—Ada enam puluh makalah yang disajikan dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII (SITL VIII) di Hotel Aston, Tanjungpinang, 24—27 Mei 2012. Lima di antaranya ditampilkan dalam sekilas pandang dalam tulisan ini, sedangkan makalah lengkapnya beserta makalah lainnya dimuat dalam lampiran.

Bunga Rampai Makalah SITL VIII

 

  • “Pelestarian Tradisi Lisan: Syair Melayu di Nusantara” (Prof. Dr. Indirawati  Zahid, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia)

    Di Malaysia, menurut Indirawati Zahid, syair Melayu (yang merupakan bagian  dari puisi Melayu tradisional dan berfungsi sebagai hiburan) sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Saat ini, keberadaan syair Melayu yang dulu pernah sangat popular dan menjadi kebanggan bangsa Malaysia sudah sangat terdesak oleh jenis hiburan masa kini.        

    Untuk menyelamatkan syair Melayu itu, Universiti Malaya melakukan penelitian yang bersifat multidisiplin (prosodi, musikologi, dan sastra). Hasil penelitian itu adalah syair Melayu ternyata mempunyai kekayaan variasi melodi dan juga kebijakan dalam memilih kata sebagai penyampai pesan.

    Dalam makalah ini, Indirawati zahid akan memaparkan bagaimana usaha dan cara mereka secara lebih detail dalam melestarikan syair Melayu itu agar tetap dapat dinikmati dan diapresiasi oleh generasi masa depan.
  • Tradisi Lisan, Kohesi Sosial, dan Industri Kreatif: Cerita dari Komunitas Using” (Prof. Dr. Ayu Sutarto, Universitas Jember, Jember, Jawa Timur)

    Ayu Sutarto berpendapat bahwa kekuatan yang mengancam keberadaan tradisi lisan, sebenarnya, bukan hanya berasal dari hadirnya produk kelisanan (seperti radio, televisi, internet, dan on line games), melainkan rendahnya apresiasi pewarisnya.  Ancaman tersebut akan sirna apabila para pewaris tradisi lisan mampu memosisikan tradisi lisan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan lahir  (ekonomis) dan kebutuhan batin (kebanggaan, identitas).

    Komunitas Using di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur,  menurut Ayu Sutarto, dapat dijadikan rujukan dalam hal mengapresiasi, menjaga, dan memasarkan tradisi lisan yang diwarisi dari leluhurnya. Menurutnya, tradisi lisan Using bertahan karena pewarisnya mampu menghadirkan kekuatannya, bukan hanya sebagai pusaka budaya yang menyangga identitas kulturalnya, melainkan juga sebagai kohesi sosial, instrumen politik, dan yang lebih hebat lagi, sebagai sarana yang menyejahterakan (industri kreatif).
  • “Keberagaman Tradisi, Keberagaman Pemikiran, dan Pemberdayaan Masyarakat: Cerita Motif Bidadari” (Dr. Mu’jizah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta)

    Menurut Mu’jizah,  cerita motif bidadari (yang dalam tradisi Eropa disebut motif swan maiden) sudah  dikenal oleh masyarakat Indonesia  mulai dari Indonesia bagian barat (Aceh) hingga Indonesia bagian timur (Nusa Tenggara Timur). Cerita yang tersebar luas itu mempunyai  berbagai kesamaan (yang menjadikannya sebagai kesatuan budaya)  dan keragaman atau kelokalan (yang menjadikannya sebagai kekhasan lokal budaya setempat). Cerita bermotif bidadari adalah cerita tentang turunnya bidadari dari langit (langit sebagai simbol kehidupan alam atas) dan menikah dengan pria di bumi (bumi sebagai simbol alam bawah). Contoh cerita bermotif  bidadari ini, antara lain, Jaka Tarub (Jawa), Sumur Tujuh (Sunda), Raja Pala (Bali), serta beberapa cerita lainnya yang dimiliki oleh masyarakat Gayo, Lampung. Wolio, Mandar, Dayak, Toraja, dan Papua.

    Selanjutnya, Mu’jizah menjelaskan bahwa daya tarik cerita tersebut menyebabkan para seniman membuat kreativitas baru ke dalam bentuk seni lain (alihwahana), seperti film, drama, iklan, lagu, dan lukisan. Alihwahana tersebut dapat dijadikan model bagi pemasyarakatan sastra tradisional lain yang belum dikenal oleh masyarakat dan sekaligus dapat memberdayakan mereka agar memanfaatkan sastra sebagai bahan kreativitas seni lain. Bagaimana pemberdayaan masyarakat melalui alihwahana itu, akan diurai Mu’jizah dalam makalahnya ini.
  • “Restorative Justice ala Hukum Pidana Adat Baduy” (Ferry Faturokhman, M.H., Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten dan Dr. Alexandra Landmann, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Bali)

    Penulis makalah ini menjelaskan bahwa pakar hukum tengah menyadari kelemahan sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sistem peradilan pidana itu terfokus kepada pelaku: bagaimana cara menghukum  pelaku dan menciptakan efek jera kepada pelaku dan orang lain yang berpotensi melakukan kejahatan, sedangkan kepentingan korban diabaikan. Penghukuman pelaku oleh negara dianggap sudah mewakili kepentingan korban.

    Restorative Justice (peradilan restorasi) kemudian hadir untuk mengisi kelemahan itu. Peradilan restorasi bertujuan untuk memulihkan korban, pelaku, dan masyarakat yang terkena dampak dari kejahatan yang terjadi. Australia dan New Zealand menggali masalah peradilan restorasi dari suku Maori di New Zealand, sedangkan dunia Barat meneliti nilai-nilai peradilan restorasi dari suku Navajo (New Meksiko).

    Di Indonesia, suku Baduy adalah salah satu komunitas adat yang menggunakan hukum pidana yang berkonsep dasar peradilan restorasi. Hukum pidana adat Baduy bertujuan memulihkan keseimbangan antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat. Uniknya, hukum pidana Baduy ini dilestarikan secara lisan dari generasi ke generasi.  Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana cara masyarakat Baduy melestarikan hukum tersebut melalui budaya lisan dan juga peluang hukum adat Baduy itu untuk dipakai sebagai dasar penegakan hukum di masa depan.
  • “Tradisi Lisan sebagai Sumber Kearifan Lokal: Sebuah Pemahaman Metodologis”  (Prof. Dr. Robert Sibarani, Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara).

    Menurut Sibarani, ada tiga hal yang saling terkait jika membicarakan tradisi lisan, yaitu mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan. Oleh karena itu, para penggiat kebudayaan diharapkan dapat menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan budaya leluhur (masa lalu) yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan masa kini  serta untuk mempersiapkan generasi masa depan. Penggalian dan pemahaman kearifan lokal tersebut sangat tergantung pada metode penelitian tradisi lisan sebagai sumber kearifan lokal tersebut.       

    Dalam makalah ini, Sibarani membahas jenis-jenis kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan dan cara mengungkapkannya, serta beberapa aspek metode penelitian tradisi lisan.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa