Mendikbud "Gemes" Karena Alokasi Waktu untuk Pelajaran Bahasa Indonesia Hanya Dua Jam dalam Seminggu
JAKARTA—Fungsi bahasa Indonesia itu bukan hanya sebagai bahasa komunikasi, melainkan juga sebagai identitas politis, identitas ideologis, sekaligus identitas diri kita. Karena demikian pentingnya fungsi bahasa Indonesia, di dunia pendidikan formal, jam pelajaran Bahasa Indonesia harus diberi alokasi waktu dan bobot yang memadai.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, dalam sambutannya pada acara pembukaan “Seminar Bahasa dan Lokakarya Lembaga Adat” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), dalam rangka Memperingati Hari Jadi ke-69 Bahasa Negara, di Gedung Sasana Kriya, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Senin, 18 Agustus 2004.
Mohammad Nuh merasa “gemes betul” ketika mengetahui bahwa pelajaran Bahasa Indonesia yang sangat penting itu hanya dipelajari dua jam dalam seminggu, sedangkan pelajaran Bahasa Inggris mendapat porsi empat jam.
Nuh mengakui bahwa mempelajari bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, itu memang penting. Akan tetapi, “… apa tega rasanya, bahasa yang kita junjung tinggi, bahasa yang menjadi bahasa negara, bahasa ilmu pengetahuan itu hanya kita berikan bobot dua jam!" ungkapnya.
Oleh karena itu, Nuh menegaskan, dalam Kurikulum 2013 hal itu harus segera diperbaiki karena bahasa Indonesia merupakan bahasa penghela ilmu pengetahuan. Selain itu, Nuh juga menekankan, bukan hanya guru Bahasa Indonesia saja yang harus bertugas membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, melainkan semua guru.
Terkait dengan fungsi bahasa sebagai penghela ilmu pengetahuan dan pembentukan jati diri, Nuh juga mengingatkan bahwa setiap tugas yang diberikan kepada siswa harus diekspresikan dengan bahasa Indonesia. Dengan begitu, diharapkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa akan meningkat dan mereka bisa mengekspresikan bahasanya dengan kesantunan dan kehalusan.
Nuh juga berharap agar bahasa Indonesia semakin didorong untuk segera menjadi bagian dari bahasa dunia sebagai perwujudan dari komitmen dan tekad yang sudah diamanatkan dalam Kongres Bahasa Indonesia dan UU No.24 Tahun 2009.
Indonesia, katanya, dapat mencontoh sikap Jepang dan Korea. Walaupun bahasa mereka belum termasuk ke dalam lima bahasa internasional, tetapi dalam forum-forum internasional, seperti di UNESCO, para diplomat dan pejabatnya selalu menggunakan bahasa mereka. Jadi, yang disediakan adalah penerjemah. Menurut Nuh, hal itu merupakan bagian dari simbol tentang pentingnya membangkitkan kembali tekad dan semangat untuk bangga terhadap bahasa sendiri.
Selain bahasa Indonesia, menurut Nuh, bahasa daerah juga harus dipelihara. Hanya saja dia mengingatkan, memelihara bahasa daerah bukan berarti menggantikan bahasa Indonesia, melainkan bagian dari upaya memperkaya bahasa Indonesia.
Begitu juga dengan budaya bangsa Indonesia, harus dipelihara dan dikembangkan karena budaya leluhur itu bisa menjadi kekuatan bangsa yang sangat efektif dalam membentuk karakter anak bangsa.
Sementara itu, Kepala Badan Bahasa, Prof. Dr. Mahsun, M.S., dalam laporannya mengurai perjalanan panjang Badan Bahasa, yang cikal bakalnya sudah ada sejak dua tahun setelah Indonesia merdeka. Dari perjalanan panjang itu, Mahsun mencermati perjalanan Badan Bahasa periode 2009-2014.
Menurutnya, ada yang menarik pada periode itu, yaitu akumulasi dari munculnya kebijakan yang memberikan ruang kepada Badan Bahasa untuk bekerja secara profesional. Hasilnya, pada tahun 2009 lahirlah Undang-Undang No.24, tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Kemudian pada 2013 muncul kebijakan untuk menempatkan bahasa sebagai penghela ilmu pengetahuan di dalam Kurikulum 2013.
Selanjutnya, pada 2014 muncul Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan, Pengembangan, dan Pelindungan Bahasa. Pada tahun yang sama lahir pula institusi baru yang merupakan anak Badan Bahasa yang berstatus eselon II, yaitu Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan.
Pusat yang baru itu, diharapkannya, menjadi suatu ruang baru bagi pergerakan Badan Bahasa agar bahasa tidak hanya dilihat sebagai sarana berkomunikasi, tetapi bahasa sebagai jati diri, sarana berpikir, dan sarana bekerja sama.
Mahsun juga mencatat, sejak Kongres Bahasa Indonesia yang pertama tahun 1938 hingga kongres yang kesepuluh pada 2013, setiap penyelanggaraannya selalu mengamanatkan agar bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Akan tetapi, sepanjang perjalanan itu, sebelum Kurikulum 2013, tidak ada kegiatan nyata yang berupa kebijakan yang menempatkan Badan Bahasa untuk menangani masalah pendidikan bahasa di sekolah.
Oleh karena itu, Mahsun memandang periode 2009-2014 sebagai periode yang istimewa karena pada periode itu Badan Bahasa memperoleh ruang gerak yang begitu luas dan sebagai satu-satunya intitusi negara yang menangani masalah kebahasaan, Badan Bahasa dapat menempatkan posisinya pada tempat yang sebenarnya.
Untuk semua pencapaian itu, Mahsun menyatakan rasa terima kasih kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2009-2014, Mohammad Nuh. Ungkapan terima kasihnya itu diwujudkannya dengan menulis sebuah buku pembelajaran teks, yang berjudul Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia (Kurikulum 2013), yang kemudian diserahkan kepada Mohammad Nuh.
Pada acara ini, Badan Bahasa juga memberikan Anugerah Kebahasaan, yang berupa Anugerah Tokoh Kebahasaan dan Anugerah Adibahasa. Anugerah Tokoh Kebahasaan diberikan kepada perseorangan, sedangkan Anugerah Adibahasa diberikan pada provinsi pengguna bahasa Indonesia terbaik. Adapun tokoh yang mendapatkan anugerah tersebut ialah Mohammad Nuh (tokoh pendidikan), Imam B. Prasodjo (tokoh sosial), Radhar Panca Dahana (tokoh kebudayaan), Yudi Latief (tokoh kepemudaan), Pandji Pragiwaksono (tokoh hiburan), dan H.E. Mark Canning (diplomat asing). Sementara itu, Anugerah Adibahasa diberikan kepada Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.
Acara yang berlangsung meriah ini dihadiri oleh perwakilan lembaga adat dari 34 provinsi, perwakilan dari kementerian dan lembaga, serta dosen, guru, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Seminar Bahasa dan Lokakarya Lembaga Adat yang mengusung tema “Strategi dan Diplomasi Kebahasaan untuk Mengembangkan Pendidikan Perdamaian: Bahasa Negara dalam Bingkai Kebinekaan” ini berlangsung di Hotel Santika, Taman Mini Indonesia Indah, pada 17—20 Agustus 2014. Seminar ini menampilkan sekitar 40-an makalah dari kalangan pakar bahasa dan perwakilan adat dari berbagai daerah. (MLA)