Menjalin Indonesia dari Sulawesi Tenggara: Mengulik Sastra Lisan

Menjalin Indonesia dari Sulawesi Tenggara: Mengulik Sastra Lisan

Kendari, 8 Oktober 2021—Salah satu rangkaian peringatan Bulan Bahasa dan Sastra 2021 oleh Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (KBST) adalah “Menjalin Indonesia dari Sulawesi Tenggara”. Acara ini dilaksanakan secara virtual dan menghadirkan dua narasumber, yaitu Makmur, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikmudora) Kota Kendari dan Rahmawati, peneliti dari KBST. Temu wicara yang bertema “Eksistensi Sastra Lisan Tolaki di Era Globalisasi” ini dibuka secara resmi oleh Herawati, Kepala KBST. Kepala KBST menekankan bahwa Indonesia merupakan negara yang bineka dengan beraneka ragam suku dan bahasa. Di Sulawesi Tenggara, ada sembilan bahasa daerah, yaitu bahasa Tolaki, Kulisusu, Wolio, Moronene, Culambacu, Wakatobi, Lasalimu-Kamaru, Ciacia, dan Muna. Bahasa daerah yang beragam tersebut memerlukan penanganan yang baik dan berkesinambungan oleh para pemangku kepentingan di Sulawesi Tenggara.

Acara dimulai dengan memperlihatkan video tentang profil dan produk KBST, konservasi sastra lisan Tolaki, dan testimoni para pemangku kepentingan terkait dengan kiprah KBST dalam pengembangan, pelindungan, dan pembinaan bahasa dan sastra di Sulawesi Tenggara. Beberapa tahun terakhir, peneliti KBST telah melakukan penelitian mengenai sastra lisan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah sastra lisan Tolaki. Hasil penelitian yang dilakukan oleh KBST pada tahun 2020 dan 2021 menunjukkan bahwa kondisi sastra lisan Tolaki mengalami kemunduran dan terancam punah sehingga perlu dikonservasi. Selain untuk meningkatkan daya hidup sastra lisan, konservasi bertujuan untuk mendokumentasikan sastra lisan tersebut.

Setelah pemutaran video, Heksa Biopsi P.H., moderator acara Menjalin Indonesia, mempersilakan narasumber pertama, yaitu Makmur, untuk memberi paparan. Kepala Dikmudora Kota Kendari itu menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan pengajaran sastra lisan Tolaki sebagai muatan lokal (mulok) di lembaga pendidikan. Pertama, sumber daya manusia sebagai pengajar bahasa Tolaki. Ia menjelaskan bahwa di Kendari, bahasa Tolaki pernah dimasukkan sebagai mulok, tetapi banyak pengajar yang kurang memahami struktur bahasa Tolaki sehingga pemelajar tidak dapat menerima pelajaran bahasa Tolaki. Kedua, diperlukan pendataan sastrawan atau penutur jati bahasa Tolaki sehingga pembelajar dan pemelajar dapat mempelajari bahasa dan sastra lisan Tolaki. Hal ini dapat diteruskan dengan mengadakan ruang-ruang budaya dan perlombaan yang erat kaitannya dengan budaya, bahasa, dan sastra Tolaki. Ketiga, diperlukan juga kurikulum yang komprehensif dalam pembelajaran dan pemelajaran bahasa dan sastra Tolaki.

Rahmawati, narasumber kedua dan juga peneliti KBST, menjelaskan kiprah KBST dalam hal pelindungan bahasa dan sastra lisan Tolaki. Sastra lisan Tolaki dan sebagian besar bahasa serta sastra daerah lain perlu dilestarikan karena ia merupakan aset budaya dan sumber pengajaran, baik dari segi nilai moral maupun kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Kondisi sastra lisan yang semakin tersingkir dengan apresiasi masyarakatnya yang semakin rendah juga menjadi alasan mengapa sastra lisan tersebut  harus dilindungi.

Menurut Rahmawati, tim dari KBST telah mengambil data terkait dengan sastra lisan Tolaki dari berbagai sumber di Sulawesi Tenggara, seperti para penutur jati, praktisi, seniman tradisi, dan pemerhati. Hal ini dilakukan untuk memetakan dan mengetahui vitalitas sastra lisan Tolaki sehingga upaya selanjutnya dapat dirancang untuk melindungi sastra lisan ini.

Setelah kedua narasumber selesai memaparkan materi, peserta diberi kesempatan untuk bertanya yang kemudian dijawab oleh para narasumber. Banyak peserta bertanya tentang bagaimana cara melestarikan dan mengajarkan bahasa dan sastra daerah dengan kondisi saat ini. Rahmawati menjelaskan bahwa salah satu cara melestariakn dan mengajarkan bahasa dan sastra daerah adalah dengan memperkenalkan bahasa dan sastra melalui media sosial yang dekat dengan masyarakat, khususnya kepada generasi muda. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan kegiatan-kegiatan yang menarik minat masyarakat penutur, misalnya dengan pementasan, acara kesenian, dan lain-lain. Namun, semua itu perlu dukungan dari berbagai pihak, para pemangku kepentingan, dan penutur jati bahasa guna keberhasilan pelestarian bahasa dan sastra daerah tersebut.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa