Bahasa, Sastra, dan Nasionalisme

Bahasa, Sastra, dan Nasionalisme

MATARAM—Bahasa, Sastra, dan Nasionalisme menjadi tema utama kegiatan seminar internasional yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kegiatan seminar internasional yang bertujuan untuk memfungsikan dan menguatkan kembali peran bahasa dan sastra dalam mengokohkan rasa nasionalisme tersebut, dilaksanakan pada tanggal 22—23 September 2014, bertempat di Hotel Jayakarta, Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Seminar internasional yang secara rutin dilaksanakan tiap tahun oleh Kantor Bahasa NTB tersebut, dibuka secara resmi oleh Assisten III (Administrasi Umum dan Kesra) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Drs. H. Lalu Syafii, MM. yang mewakili Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam sambutannya, Drs. H. Lalu Syafii, MM. mengatakan bahwa di dalam sebuah ungkapan, bahasa menunjukkan bangsa, sungguh memiliki nilai yang sangat penting dalam upaya dan ikhtiar menumbuhkan dan mengembangkan jiwa nasionalisme sebuah bangsa yang beradab. Rasa memiliki suatu bahasa, membuat seorang penutur bahasa terasa dekat secara emosional dengan penutur lainnya, walaupun berada dibelahan bumi yang berbeda, etnis yang berbeda. Ikatan emosional ini akan menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebanggaan, sehingga muncul keinginan dan semangat senasib seperjuangan guna menciptakan dan mempertahankan kedaulatan bangsanya.

Syafii juga menyampaikan, bahwa penyebaran dan penguatan paham nasionalisme Indonesia terbukti tidak hanya melalui bahasa Indonesia, tetapi juga melalui sastranya. Sejak berdirinya bangsa Indonesia yang ditandai dengan deklarasi Sumpah Pemuda, perjuangan pergerakan nasionalisme Indonesia selalu didampingi oleh semangat yang kuat dan pentingnya peran kesusastraan. Puisi dan lagu perjuangan adalah sebuah bukti nyata yang terus mengiringi dan menyemangati setiap gerak dan langkah perjuangan Indonesia dari sebelum dan sesudah hari kemerdekaan. Konsep tersebut yang menjadikan seminar ini bernilai penting dan strategis, yaitu dalam upaya menyegarkan dan memupuk kembali kecintaan kita terhadap bahasa dan sastra sebagai identitas bangsa Indonesia.

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa Bahasa Indonesia memiliki berbagai ragam bahasa daerah yang tersebar di 34 Provinsi, di tiap Provinsi tersebut hampir seluruhnya memiliki bahasa daerah dan dialek yang berbeda-beda dan beraneka ragam coraknya, namun seluruhnya menerima perbedaan itu dan bersatu dalam bahasa persatuan yakni dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya kebersamaan jiwa yang dimiliki oleh berbagai macam suku bangsa di Indonesia, hal ini membuktikan bahwa persatuan dan nasionalisme Indonesia berada di atas segalanya.

Dalam konteks pergaulan dunia Internasional maka peran bahasa dan sastra Indonesia harus terus kita lestarikan dan kita kembangkan. Diharapkan dengan potensi dan kemajuan yang dimiliki bangsa Indonesia, insyaAllah, kita sedang dalam perjalanan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa dunia. Oleh karena itu, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang dalam hal ini diwakili Asisten III (Administrasi Umum dan Kesra) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, berharap seminar tersebut dapat menjadi media komunikasi berbagai kalangan untuk saling berbagi ilmu, pendapat, dan saran, dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang besar dengan semangat nasionalismenya. Untuk itu, mari kita cinta dan bangga memiliki bahasa Indonesia, dan gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Diakhir seminar tersebut, juga dirangkaikan dengan kegiatan promosi budaya dan nuansa kedamaian di negeri 1000 masjid Nusa Tenggara Barat.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. H. Mahsun, M.S. mengatakan bahwa, bangsa Indonesia tidak terlepas dari masalah kebahasaan. Bangsa Indonesia memiliki strategi yang berbeda dengan negara lain dalam membangun semangat jiwa nasionalismenya dan dalam membangun negara dan bangsanya. Tidak mungkin membangun negara Indonesia ini di atas pondasi etnis dan suku bangsa, karena di Indonesia terdapat beragam jenis etnis, sampai pada tahun 2013 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah berhasil mengidentifikasi 659 bahasa lokal di yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bahasa lokal identik dengan identitas etnis itu sendiri. Indonesia juga memiliki beragam jenis agama, yang hingga saat ini ada enam agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia. sehingga tidak mungkin kita pilih mana diantara keenam agama tersebut yang akan menjadi pondasi negara Indonesia ini. Oleh karena itu, bahasa melayu dipilih untuk menjadi bahasa persatuan, karena bahasa melayu hampir terdapat di seluruh pulau di Indonesia dibandingkan bahasa lainnya, sehingga bahasa melayu lebih representatif untuk menjadi bahasa persatuan.

Mahsun menambahkan, bahwa dalam kongres pemuda pertama, Mohammad Yamin memberikan rumusan sumpah pemuda yang salah satunya menjunjung bahasa persatuan, bahasa melayu, yang kemudian setelah didiskusikan dan diubah menjadi bahasa Indonesia. Disini dapat disimpulkan bahwa politik identitas dalam rangka membangun kepercayaan diri dalam menumbuhkan jadi diri bangsa akan lebih efektif dan lebih mudah dengan menggunakan bahasa nasionalnya. Beliau juga menambahkan, kiranya seminar ini dapat menjadi bahan renungan dalam membangun rasa nasionalisme kita, dan diharapkan muncul pemikiran-pemikiran baru dalam memperbaharui niat kita dan memperkokoh niat para pahlawan dalam memperjuangkan bahasa Indonesia agar tetap menjadi bahasa nasional demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dalam wawancaranya dengan Laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dr. Syarifuddin, M.Hum., selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan bahwa kegiatan seminar yang sudah dilaksanakan masuk tahun ke-7 itu, selalu disajikan dengan tema yang berbeda. Syarifuddin mengatakan bahwa seminar tersebut dapat menjadi media komunikasi, untuk saling berbagi informasi dan tukar pikiran dalam rangka meningkatkan rasa nasionalisme di masyarakat, khususnya melalui bahasa dan sastra.“Intinya bagaimana kita melihat konsep nasionalisme dari sisi bahasa dan sastra”tegasnya. Beliau juga menambahkan, diharapkan nantinya akan ada rekomendasi yang didapatkan dari hasil kegiatan seminar tersebut, yang nantinya akan diteruskan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kepada pemerintah daerah, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kegiatan seminar yang dilaksakan selama dua hari tersebut, dihadiri 184 orang peserta termasuk 85 orang pemakalah, dengan 3 orang pemakalah utama, antara lain, Prof. Dr. Mahsun, M.S., Dr. Dr. Andrea Acri, dari ISEAS Singapura, dan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., dari Universitas Gajah Mada, perwakilan anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi Nusa Tenggara Barat, perwakilan dari Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Barat, perwakilan dari akademisi, bahasawan, sastrawan, dan budayawan.

Dalam makalahnya yang berjudul “Menimbang Bahasa Membangun Bangsa”, Prof. Dr. Mahsun, M.S menyampaikan  bahwa Indonesia mempunyai karakterisitik yang berbeda dengan Negara lain dalam membangun nasionalisme, Indonesia telah memilih bahasa sebagai pondasi dalam membangun nasionalisme, hal ini terlihat dari sejarah yang berawal ketika kongres pemuda I pada tahun 1926 yang kemudian dilanjutkan dengan kongres pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 yang merubah butir ketiga sumpah pemuda yang berbunyi bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan menjadi bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Dilihat dari perjalanan penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, prosesnya membutuhkan perjuangan  yang berat. Ada dua tantangan yang dihadapi pada saat itu tegas Mahsun, pertama semua bahasa di wilayah yang menjadi cikal bakal negara Indonesia statusnya adalah bahasa etnis, yang sebelum proklamasi merupakan bahasa nasional negara-negara kecil di Nusantara. Kedua, bahasa lokal memiliki tingkat varian yang sangat tinggi dalam kaitannya dengan jumlah penutur dan kemampuan daya ungkapnya. Pilihan terhadap bahasa Melayu menjadi bahasa nasional tentunya disertai kebesaran jiwa para pendiri bangsa yang telah melakukan seleksi terhadap bahasa lokal yang ada yang mempunyai potensi sebagai bahasa nasional.

            Seminar ditutup dengan pembacaan rekomendasi oleh  Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dr. Syarifuddin, M.Hum., sebagai berikut.

  1. Kajian  terhadap sastra daerah, terutama kaitannya dengan  nasionalisme, harus terus digalakkan karena didalamnya terdapat nilai nasionalisme yang selama ini dianggap hanya ada dalam sastra Indonesia
  2. Kebanggaan  terhadap bahasa dan sastra Indonesia, dalam  kaitannya dengan dunia pendidikan, harus dicontohkan/dilaksanakan oleh semua kalangan (terutama guru), bukan hanya guru bahasa Indonesia
  3. Perlu adanya terobosan baru oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan minat dan kebanggaan masyarakat terhadap bahasa dan sastra Indonesia dan daerah.
  4. Perlunya sosialisasi kebahasaan dan kesastraan guna mengawal UU Nomor 24 Tahun 2009
  5. Kearifan lokal nusantara harus mendapat porsi lebih besar dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia dan bahasa daerah (mulok)
  6. Perlunya mengajar dengan hati dan modifikasi materi secara berkala
  7. Perlu adanya kajian linguistik yang menyeluruh agar nilai kenusantaraan yang tercermin dalam bahasa daerah terungkap dan dapat menyatukan kita (nav/tr)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa