Badan Bahasa Menggelar Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional 2014
Jakarta—Pesan sastra sebagai pengikat atau wahana menyampaikan suatu hal yang menarik, dalam kurikulum 2013 hal itu dituangkan dalam materi untuk kelas tujuh dan sepuluh, yaitu menggunakan puisi sebagai konteks pembelajaran yang baik, hal itu diungkapkan Kepala Bidang Pembelajaran, Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dr. Fairul Zabadi ketika memberikan sambutan pada pembukaan Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 28 Oktober 2014.
Lebih lanjut, Fairul memberikan contoh pada tahun 2012 ketika musikalisasi puisi dapat menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan antara SMA 6 dan 70 Jakarta. Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional ini dilaksanakan pada tanggal 28—31 Oktober 2014 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.
Pertumbuhan musikalisasi puisi berkaitan erat dengan sejarah perkembangan sastra dan musik itu sendiri. Sejak awal pertumbuhannya, sastra dan musik memang saling terkait. Seperti kita ketahui, munculnya kesenian berawal dari kepentingan ritual dalam upacara-upacara yang dilakukan masyarakat tradisional. Dalam kegiatan ini, segala aspek yang kini disebut seni, seperti sastra (mantra), musik, nyanyian, dan tarian, merupakan satu kesatuan yag saling mengisi tanpa ada kategorisasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, terwujudlah kesenian-kesenian rakyat dan tradisi sastra lisan. Syair-syair serta cerita-cerita di dalam tradisi lama kita kerap disampaikan dan dibawakan dengan iringan musik dan/atau dibawakan dalam lantunan tembang. Pawang penglipur lara (Pawang Kaba) di Sumatra, misalnya, bersyair dengan iringan musik (yang alat-alatnya terbuat dari kulit binatang, kayu, dan bambu). Di daerah Jawa Barat dikenal Tukang Pantun (contohnya dalam Seni Beluk). Tukang Pantun ini bercerita semalam suntuk dalam bentuk lantunan tembang sambil memetik kecapi. Cerita-cerita yang kerap dibawakan adalah karya sastra berisi hikayat yang terkadang membutuhkan waktu sampai tujuh malam berturut-turut untuk menyelesaikannya.
Dalam perkembangannya, para seniman opera menyusun syair-syair baru dan aransemen musiknya. Para seniman tersebut memiliki prinsip yang berbeda- beda. Ada seniman yang mengompromikan deklamasi dan nyanyi, ada yang berprinsip musik harus mengabdi pada kata-kata dan bukan menguasainya. Ada pula yang berkehendak mengungkapkan makna kata melalui musik. Pengungkapan makna dalam musik ini bukan hanya pada musik vokal, melainkan juga pada musik instrumental. Dalam perkembangan sastra modern kita, upaya memadukan musik dengan puisi ini terus berkembang hingga mencapai bentuk yang sekarang, yang kemudian mendapat nama musikalisasi puisi.
Setyo Untoro, M.Hum. selaku ketua panitia penyelenggara mengatakan bahwa kegiatan ini adalah lanjutan kegiatan sebelumnya yang diadakan di Surakarta pada Tahun 2013 dan untuk tahun ini jumlah peserta lebih banyak yakni diikuti oleh tim musikalisasi puisi dari 23 provinsi di Indonesia, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Sumatra Utara, Sumatra Utara, Banten, Lampung, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Aceh, Riau, Bali, Maluku Utara, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan DKI Jakarta.
Dalam kegiatan ini dilakukan penilaian terhadap penampilan para peserta oleh juri untuk menentukan enam penampil terbaik. Adapun kriteria penilaian meliputi penafsiran puisi (30%), komposisi (30%), keselarasan (20%), vokal (10%), dan penampilan (10%). Tim penilai dalam kegiatan ini terdiri atas lima orang, yaitu Remy Sylado, Jose Rizal Manua, Embi C. Noer, Reda Gaudiamo, dan Andre S. Putra. (an)