Badan Bahasa Gelar Seminar Kajian Vitalitas Bahasa dan Sastra Daerah

Badan Bahasa Gelar Seminar Kajian Vitalitas Bahasa dan Sastra Daerah

Jakarta—Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2009, sekitar 2500 bahasa di dunia termasuk lebih dari seratus bahasa daerah Indonesia terancam punah dan sebanyak 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir.

“Dengan kondisi seperti ini, kita lakukan langkah-langkah pelindungan bahasa dan sastra, upaya awal sebelum melakukan kegiatan pelindungan tersebut adalah dengan melakukan tahap kajian bahasa dan sastra di empat provinsi,” kata Plt. Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Dr. Hurip Danu Ismadi saat membuka Seminar Kajian Vitalitas Bahasa dan Sastra Daerah di Aula Gedung Samudra Badan Bahasa, Jakarta, Rabu, 30 November 2016.

“Jadi, tahun ini kami melakukan kajian vitalitas bahasa dan sastra di empat provinsi, antara lain Bahasa Yalahatan di Maluku, Bahasa Sawai di Maluku Utara, Bahasa Marori di Papua, dan Bahasa Kalabra di Papua Barat. Sementara untuk sastra, Tanggomo di Gorontalo, Vaino di Sulawesi Tengah, Basicuang di Riau, dan Mob Papua di Papua,” tambah Danu.

Merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Bahasa, Danu mengatakan bahwa di wilayah Maluku yang memiliki 65 bahasa daerah, bahasa yang dikategorikan terancam punah (dituturkan sebagian orang tua dan usia lanjut setelahnya) adalah bahasa Banggoi, Piru, Hulung, Amahai, dan Fogi yang terdapat di Pulau Seram, selanjutnya Teun dan Lisela di Pulau Buru, serta Serua di Maluku Tenggara.

Sementara itu, Danu menambahkan contoh kasus lain, masih di wilayah Maluku, bahasa yang dikategorikan punah atau penuturnya sudah tidak ada lagi (tidak seorang pun dapat menuturkannya) adalah bahasa Moksela, Palumata, Kayeli, dan Hukumina di Pulau Buru, serta bahasa Loun di Seram Barat.

“Strategi penelitian kita, bagaimana kita memetakan dalam dengan situasi sosiokultural yang berbeda-beda, dimana masing-masing daerah mempunyai karakteristik tersendiri. Ada sepuluh indikator vitalitas bahasa yang digunakan, yaitu jumlah penutur, kontak bahasa, bilingualitas, posisi dominan masyarakat penutur, ranah penggunaan bahasa, sikap bahasa, regulasi, pembelajaran, dokumentasi, dan tantangan baru,” tutur Danu.

Selanjutnya, dengan perkembangan kondisi sekarang, Danu menegaskan bahwa tidak mungkin Badan Bahasa melakukan kegiatan pelindungan ini sendirian, karena sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib melestarikan bahasa dan sastra di daerahnya, “Jadi kita perlu tingkatkan lagi koordinasi dengan pemerintah daerah untuk bahu-membahu mendorong upaya pelestarian bahasa dan sastra daerah,” ungkapnya.

Bahasa dan sastra bukan sekadar sekumpulan kata atau seperangkat kaidah tata bahasa dan sastra, melainkan khazanah pemikiran berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai keunikan sebagai refleksi pemikiran dan pengetahuan. Kehilangan bahasa dan sastra, berarti kita juga akan kehilangan daya kreativitas dan pemikiran sebagai realisasi kemanusiaan. Kepunahan bahasa dan sastra berarti pula kematian kekayaan batin kelompok etnis pengguna bahasa dan pemilik sastra itu.  (an)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa