Menyunting Bukan Sekadar Menggunting

Menyunting Bukan Sekadar Menggunting

Redaktur atau penyunting adalah penjaga gawang bagi naskah yang ditulis oleh reporter atau penulis. Tugas seorang penyunting tidak hanya memperbaiki fakta, tapi juga meluruskan logika hingga menyelaraskan gaya penulisan dengan rubrik atau media tempat mereka bekerja.

Kita tidak bisa menyerahkan semua masalah bahasa di dalam tulisan ke redaktur bahasa, karena kerap kesalahan yang dilakukan oleh penulis bisa mengubah arti. Itulah mengapa, peran redaktur atau penyunting sangat penting.

Berikut ini sejumlah tugas "berat" seorang redaktur dalam menyunting tulisan reporter atau penulis.

 

Logika

Bahasa menunjukkan kelurusan berpikir. Seorang yang cara berpikirnya runut dan benar akan bertutur dengan baik dan benar pula. Pekerjaan terberat seorang redaktur adalah meluruskan logika penulis pemula. Para calon reporter atau reporter muda kerap memiliki masalah dengan logika.

Reporter muda sering menelan mentah-mentah data atau fakta yang diberikan oleh nara sumber tanpa mengeceknya terlebih dahulu.

Misal, pada September lalu ada berita seperti ini: "Presiden Joko Widodo yakin, Indonesia tidak perlu mengimpor beras. Hal ini karena pada Oktober hujan sudah mulai turun. 'Cadangan beras di gudang Bulog, cukup sampai bulan depan,' kata Presiden."

Sekilas berita ini sepertinya benar, tapi reporter lupa bertanya ke narasumber. Jika hujan baru turun di bulan Oktober dan saat itu petani mulai menanam, maka baru pada akhir Desember atau Januari padi siap dipanen. Lalu, selama tiga bulan itu orang Indonesia makan apa kalau tidak ada impor?

Lompatan logika juga sering terjadi. Yang saya maksud dengan lompatan logika di antaranya adalah, penulis melompat dari premis mayor ke konklusi, tanpa ada premis minor. Lompatan logika dan fakta ini merupakan salah satu hal yang harus dicermati, karena kerap menimbulkan pertanyaan dari pembaca.

Kesalahan logika sederhana misalnya ada dalam judul berikut: "Teroris Berhasil Dilumpuhkan". Sepintas judul ini tidak ada masalah, karena kita memahaminya sebagai pihak keamanan berhasil melumpuhkan teroris. Tapi, kalimat pasif seperti itu jusru membingungkan. Kalau teroris itu berhasil, tentu dia tidak dilumpuhkan. Dilumpuhkan adalah kegagalan.

Seharusnya, sebagai orang yang berjarak dengan reportase itu, redaktur lebih mudah melihat kebengkokan logika atau lompatan fakta. Masalahnya, hal ini kerap diabaikan karena redaktur lebih fokus pada hal-hal "kecil" seperti kesalahan eja.

 

Bahasa Narasumber

Jika ketidaklurusan logika kerap terjadi pada penulis pemula, maka terpengaruh bahasa narasumber ini kerap terjadi pada reporter yang lama ditempatkan di satu pos peliputan. Ada tiga ragam bahasa narasumber yang "menjajah" para reporter.

-Pengkalimatan dan pembentukan kata

Kekacauan pembentukan kata dan pengkalimatan kerap terjadi pada reporter yang terlalu lama meliput kriminal dan hukum. Bahasa kaku yang dipakai oleh hakim, pengacara, jaksa, juga polisi kerap masuk ke tulisan.

Dalam ruang sidang, jaksa, pengacara, dan hakim memakai bahasa dengan kalimat sangat panjang, tak jelas subyek-predikat-obeyek-nya, dengan alasan inilah bahasa hukum. Ketika kalimat seperti itu kemudian dituliskan ke dalam laporan, pembaca sudah dapat dipastikan akan kehilangan fokus.

Hal yang kerap terjadi adalah membuat kalimat boros dengan memakai kata "melakukan" dan "mengalami". Mencuri ditulis "melakukan pencurian", dirampok dituliskan sebagai "mengalami perampokan".

Mereka juga kerap memakai kata-kata yang tidak tepat. Misalkan kata "diamankan" untuk ditangkap. Belakangan juga ada kata "dimassa" yang diartikan sebagai digebuki oleh orang banyak.

-Jargon

Jargon atau istilah khusus yang dipakai pada bidang tertentu memang tak bisa dihindari. Tapi, kerap kali ada begitu banyak jargon dalam satu kalimat hingga membuat pembaca tidak paham. Ini sering dilakukan oleh wartawan bidang khusus, seperti ekonomi, sains, dan kesehatan. Misal, ada berita dengan judul: "Saham PT X Di-suspend".

Penyunting tidak hanya bertugas mengganti jargon-jargon yang membingungkan, tapi juga bisa memberikan alternatif untuk jargon yang belum ada padanannya untuk bahasa awam. Di saat yang sama, padanan itu tidak boleh membingungkan para pembaca khusus.

-Akronim

Lagi-lagi, wartawan yang terlalu lama bertugas di kepolisian atau militer akan terkena penyakit akronim yang akut. Hampir semua lembaga, kesatuan, dan kepangkatan di kedua badan itu memakai akronim: kabareskrim, puslabfor, jihandak, dan lain sebagainya.

Begitu akutnya penyakit ini, hingga banyak kata-kata di luar institusi mereka pun disingkat. Misalnya senpi untuk senjata api, alutsista untuk peralatan militer, sajam untuk senjata tajam, hingga narkoba untuk narkotika dan obat-obatan. Kita juga kerap tidak sadar bahwa tilang adalah akronim dari bukti pelanggaran.

 

Bahasa Asing

Pemakaian bahasa asing sebenarnya tidak dapat dihindari. Bahasa Indonesia tergolong bahasa yang masih muda, masih berkembang dan membutuhkan banyak masukan dari bahasa asing. Penggunaan istilah asing yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Indonesia, tidak dapat dihindari.

Yang menjadi masalah adalah penggunaan bahasa asing yang berlebihan. Hal ini kerap terjadi pada media atau tulisan gaya hidup. Banyak majalah gaya hidup yang memakai judul-judul berbahasa Inggris, meski isinya berbahasa Indonesia.

Alasan pemakaian bahasa Inggris kerap tak masuk akal: lebih keren. Itu artinya ada anggapan bahwa kalau judul itu tidak keren kalau ditulis dalam bahasa Indonesia. Ada juga kemalasan mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia.

 

Gaya Bahasa

Setiap media memiliki gaya bahasa sendiri. Pemilihannya kerap bukan masalah benar atau salah, karena pemakaian kedua kata itu sebenarnya tidak salah. Contoh, Tempo memakai kata Prancis, sedangkan Kompas menggunakan Perancis. Atau Tempo menggunakan Cina sedang Jawa Pos memakai Tiongkok.

Untuk judul film, Tempo menuliskannya dengan miring (italic) sedangkan Kompas senang dengan memakai tanda kutip.

Meski pemakaian kedua gaya ini dapat dibenarkan, hendaknya kita konsisten dalam memilih. Konsistensi ini diperlukan agar tulisan tidak terlihat asal-asalan. Jika memilih Prancis, maka gunakan di semua tulisan di media tersebut. Demikian juga ketika memilih Perancis.

 

Hal yang Kerap Luput

-Di langgar atau Dilanggar?

Penyunting sering luput saat reporter atau penulis melakukan kesalahan klasik: menyambung atau memisahkan "di" dengan kata sesudahnya.

-Cuma-saja

Cuma dan saja memiliki arti yang sama. Namun, kedua kata ini kerap dipakai bersamaan dalam satu kalimat. "Polisi cuma berhasil menangkap satu orang saja." Pilih salah satu, Cuma atau saja.

-Meski-tapi

Banyak penulis yang memakai kata meski dan tapi dalam satu kalimat. "Meski sudah memiliki banyak rumah, tapi dia membelinya lagi." Ini juga bisa dipilih.

-Lalu

Pencantuman kata lalu kerap tidak tepat. Misal, "pada 2014 lalu". Kata lalu dalam kutipan itu tidak diperlukan, karena 2014 memang sudah berlalu. Pilih antara "pada tahun lalu" atau "pada 2014".

 

***

Qaris Tajudin, Redaktur Pelaksana Tempo

(materi yang disajikan pada kegiatan “Penyegaran Keterampilan Berbahasa Indonesia untuk Redaktur” di Hotel Park, Jakarta, 25 November 2015)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa