Badan Bahasa Terima Kunjungan Kerja Komisi E DPRD Sumut

Badan Bahasa Terima Kunjungan Kerja Komisi E DPRD Sumut

Jakarta—Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Dadang Sunendar menerima kunjungan kerja Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang dipimpin oleh Ketua Komisi, H. Syamsul Qodri Marpaung, Lc. di Aula Gedung Samudra Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta, Jumat, 10 Juni 2016.   

Ketua Komisi E DPRD Sumut, H. Syamsul Qodri Marpaung, Lc., mengatakan bahwa kunjungan ini terkait rencana pembuatan peraturan daerah (perda) tentang penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sastra daerah di Provinsi Sumatera Utara. “Kami dari komisi sedang memproses bersama-sama dengan Balai Bahasa Sumut untuk melahirkan suatu perda tentang penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sastra daerah, saat ini baru berupa draf, dan kami ingin mengetahui kebijakan-kebijakan strategis di kementerian di dalam implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009,” kata Syamsul.

Selanjutnya, Syamsul mengutarakan bahwa hasil pertemuan ini akan menjadi acuan dalam membuat perda dan kebijakan strategis Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut. “Kami meminta penjelasan dan arahan, sebesar apa wewenang daerah dalam menjamin pengembangan, pembinaan dan pelindungan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sastra daerah, dan kami meminta masukan seperti apa sanksi yang dibolehkan dalam perda itu, serta hambatan seperti apa yang dialami oleh Badan Bahasa,” ujar Syamsul.  

Dalam sambutannya, Kepala Badan Bahasa, Prof. Dr. Dadang Sunendar mengapresiasi inisiatif Komisi E DPRD Sumut untuk membuat perda tentang penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sastra daerah di Provinsi Sumatera Utara.  “Kerja sama yang sudah terjalin antara Badan Bahasa dengan pemerintah daerah selain mengenai pengendalian penggunaan bahasa di ruang publik, yaitu mengenai pelindungan bahasa dan sastra daerah,” tutur Dadang.   

Dadang menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 42 disebutkan bahwa (1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia, (2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan, (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

“Dasar acuan kerja kami adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dengan fokus utama yaitu pembinaan bahasa Indonesia, pelestarian bahasa daerah, dan penguasaan bahasa asing,” ungkap Dadang.

Bahkan, dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan lebih teknis  bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. “Jadi politik bahasa nasional itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, dan teman-teman Komisi E DPRD Sumut tidak perlu menerjemahkan lagi karena sudah dijelaskan,“ tambah Dadang.

Lebih lanjut, Dadang mengungkapkan bahwa pasal mengenai bahasa dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memang merupakan pasal yang tidak ada sanksi dan dendanya, namun menurutnya, “Badan Bahasa lebih memilih penggunaan sanksi adminstratif untuk melindungi bahasa Indonesia di ruang publik,” tegas Dadang.

Terkait hambatan yang dialami oleh Badan Bahasa, Kepala Pusat Pembinaan, Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim mengatakan bahwa saat ini muncul gejala inferioritas dalam penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, “Pada akhir tahun 2015 saat kami ditugasi ke Batam, terdapat penggunaan kalimat Welcome to Batam di gerbang kota, hal itu menunjukkan seolah kita merasa rendah diri jika kita menggunakan kalimat selamat datang di Kota Batam,” kata Gufran.

“Kami mendukung sepenuhnya peraturan daerah yang mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik dan bukan malah menomorduakannya, kita bisa mencontoh negara Jepang, Korea, dan Perancis yang lebih mengutamakan bahasa nasionalnya dibandingkan bahasa asing lain,” tutur Gufran. (an)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa