Mendikbud Bersilaturahmi dengan Pejabat di Lingkungan Kemendikbud

Mendikbud Bersilaturahmi dengan Pejabat di Lingkungan Kemendikbud

Jakarta—Bertempat di Ruang Sidang Graha Utama, Gedung Ki Hajar Dewantara, Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mendikbud, Prof. Dr. Muhadjir Effendy bersilaturahmi sekaligus memperkenalkan diri dengan pejabat eselon I, II, III di lingkungan Kemendikbud, Jumat, 29 Juli 2016.

Di hadapan ratusan pejabat yang hadir, Mendikbud yang baru, Prof. Dr. Muhadjir Effendy yang berasal dari Malang, Jawa Timur itu bercerita tentang latar belakangnya sebagai seorang akademisi. “Saya dosen  di Universitas Negeri Malang (UNM), kemudian mengabdi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tetapi, Januari kemarin saya mengakhiri masa jabatan sebagai rektor di UMM. Saya di UMM sejak selesai sarjana, kemudian sebagai pembantu rektor III selama 12 tahun, setelah itu menjadi  pembantu rektor I selama empat tahun, dan menjadi rektor selama 16 tahun, “ tuturnya.

Ia juga bercerita tentang amanat yang diberikan oleh Presiden kepadanya. “Kemarin saat bertemu dengan Pak Presiden ada dua hal yang harus saya perhatikan, minimal dalam waktu dekat ini. Pertama yaitu mengatasi masalah kesenjangan, dan yang kedua adalah masalah ketenagakerjaan.

“Pertama, kita (Kemendikbud) harus meningkatkan, dan mempertajam pendidikan vokasi, dan kedua adalah harus segera menyelesaikan Program Kartu Indonesia Pintar. Karena itu dalam waktu dekat saya mohon bantuan ke semuanya agar kita bekerja keras merealisasikan kedua hal itu, terutama yang kedua,  karena itu penting untuk intervensi kesenjangan masyarakat yang tidak mendapatkan akses pendidikan secara baik, “ tegas Muhadjir.

“Vokasi juga tidak hanya monopoli SMK seperti yang dipahami orang umum. Sebetulnya di bidang pendidikan nonformal itu tak kalah padatnya, karena itu, kita harus mengeksplorasi, bahkan tenaga kerja juga termasuk dalam budaya, karena terkait budaya etos kerja, “ gagasnya.

Selanjutnya, Muhadjir juga bercerita tentang aktivitasnya di ormas terbesar ke-2 di Indonesia yaitu Muhammadiyah. “Saya memang aktif di Muhammadiyah. Jadi sekarang saya menjabat sebagai salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan kebetulan saya membidangi pendidikan, dari pendidikan dasar menengah hingga pendidikan tinggi, kemudian lembaga seni budaya dan olahraga, serta pengembangan pondok pesantren, “ ungkapnya.

“Ada surat kabar yang menerangkan bahwa kelemahan saya adalah tidak memiliki pengalaman birokrasi, dan itu memang betul. Karena itu saya akan belajar keras, mungkin 1 – 2 bulan, “ tegas Muhadjir.

Selanjutnya, Muhadjir mengatakan bahwa kelemahan lainnya adalah dalam hal menghafal nama. “Karena itu, saya meminta maaf jika nanti tidak kenal satu persatu. Tetapi kemarin saya sudah sampaikan di eselon I, hal ini ada untungnya karena salah satu prinsip birokrasi itu harus ada hubungan yang impersonal, itu adalah syarat birokrasi, “ ujarnya.

“Jadi saat berhubungan birokrasi dengan seseorang, kita tidak perlu tanya siapa, nama siapa, dia dari mana, tetapi dia melakukan fungsi apa, dalam posisi apa, dan dalam hubungan apa dengan saya. Itu menjadi persyaratan birokrasi yang sehat. Sehingga tidak terjadi hubungan interpersonal, " jelas Muhadjir.

Terkait posisinya sekarang, Muhadjir mengatakan bahwa dirinya bukan orang yang berbahagia menggantikan Pak Anies. “Dia (Anies Baswedan) saya anggap adik saya, dan saya sudah berhubungan baik dengan keluarga Pak Anies. Tetapi dalam memegang amanah seperti saya dan Bapak/Ibu sekalian, jika kita keluar dari sesuatu yang sebetulnya masih bisa kita pertahankan, kita harus berpikir mungkin ini bukan jalan yang buruk, mungkin ini malah jalan yang lebih baik. Asal kita berserah bahwa ini adalah pilihan Allah, pilihan Tuhan, “ ungkapnya.

“Ciri kerja saya adalah kerja cepat. Mungkin itu salah satu yang dipertimbangkan oleh Bapak Presiden. Padahal, sejujurnya saya tidak mengenal Pak Presiden. Saya tidak tahu juga dasar pertimbangan beliau. Tetapi menurut saya itu baik, berarti pengangkatan ini bukan karena hubungan baik sebelumnya. Mudah-mudahan beliau mengangkat saya karena kapasitas saya, “ kata Muhadjir.  

Ia pun akan meninjau kebijakan-kebijakan yang tidak mencerminkan prinsip gotong royong ini. Menurutnya ada tiga hal yang harus diperhatikan, pertama, penerapan inner control yang berasal dari diri sendiri, kedua, kontrol sosial, berasal dari lingkungan atau teman-temannya sendiri, dan ketiga, dengan menggunakan regulasi.

Di akhir acara, Muhadjir berpesan bahwa pada kepemimpinannya, semua yang dilakukan dan dikerjakan adalah ibadah. “Maka dalam bekerja disini niatnya ibadah. Kalau kita niatkan ibadah maka pahalanya dua. Sebagai orang beragama dan beriman tentu kita percaya akan hari akhir, dan percaya apa yang kita perbuat disini maka akan dipanen di akhirat nanti, “ pesannya.

(iw/an)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa