OBITUARIUM GERSON POYK

OBITUARIUM GERSON POYK

Pak Be’a—panggilan akrab kami untuk Gerson Poyk—telah meninggalkan kita.  Ia wafat pada hari Jumat, 24 Februari 2017, sekitar pukul 11.00 WIB. Sepuluh hari ia sempat dirawat di rumah sakit.

Pria kelahiran Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931 ini dikenal sebagai sosok yang hangat, lembut, dan bersemangat dalam tulis-menulis.   Ia juga sosok yang senang berbagi ilmu. Ia pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956—1958) dan Bima, Sumbawa (1958). Beliau juga pernah menjadi wartawan Sinar Harapan (1962-1970) dan Kantor Berita Antara tahun 1970--1971. Ia tercatat empat kali meraih penghargaan jurnalistik Adinegoro (1965, 1966, 1985, dan 1986). Ia juga pernah menerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia dan menerima penghargaan sebagai sastrawan ASEAN, SEA Write Award (1989).  Harian Kompas pernah memberikan hadiah padanya Lifetime Achievement Award untuk jasa-jasanya sebagai sastrawan dan wartawan Indonesia.

Ia dicatat dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia (Badan Bahasa, 2013) sebagai seorang pengarang yang “... telah banyak berperan dalam memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia ... Tahun 1960-an dan 1970-an, ia dikenal sebagai figur pengarang yang penting. Hal itu disebabkan oleh munculnya karya-karya Gerson yang memiliki ciri khas pada dekade ini, yaitu berisi petualangan yang berdasarkan pengamatannya ketika mengembara. Cerpen-cerpennya banyak diikutsertakan dalam antologi, baik di Indonesia maupun di luar negeri.”

Herson Gubertus Gerson Poyk—nama lengkap Pak Be’a—telah menghasilkan lebih dari 100 buku sastra, terdiri atas kumpulan puisi, cerpen, novel, dan esai. Kumpulan puisi terakhirnya yang menghimpun puisi-puisi pilihan yang dibuat sejak tahun 1950-an, yakni Dari Rote ke Iowa, diluncurkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Juni 2016, dalam rangka memperingati ulang tahun ke-85 Pak Bea. Kumpulan puisi itu adalah kumpulan puisi pilihannya sejak pertama dibuat pada 1950-an.

Novel Gerson yang fenomenal berjudul Sang Guru  (1971) diterbitkan oleh Pustaka Jaya, tahun 1973. Novel ini berlatar di daerah Ternate dan berkisah tentang kehidupan—terutama para guru—di pulau itu. Karya-karya Gerson yang lain adalah Tiga Resital Kecil, Mutiara, Hari-Hari Pertama (novel, 1968), Matias Akankari (kumpulan cerpen, 1971), Nostalgia Nusa Tenggara (kumpulan cerpen, 1976), Jerat (kumpulan cerpen, 1978), Cumbuan Sabana (novel, 1979), Seutas Benang Cinta (novel, 1982), Giring-Giring (novel, 1982), Di Bawah Matahari Bali (kumpulan cerpen, 1982), Requiem untuk Seorang Perempuan (novel, 1983), Anak Karang (kumpulan cerpen, 1985), Doa Perkabungan (novel, 1987), Impian Nyoman Sulastri (novel, 1988), Hanibal (novel, 1988), dan Poti Wolo (novel, 1988).

H.B. Jassin menempatkan Pak Be’a sebagai sastrawan Angkatan ’66.  Periode kepengarangan sezaman dengan sastrawan besar lainnya, seperti Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang.  Puisi pertamanya yang berjudul "Anak Karang" dikirimkannya ke Mimbar Indonesia dan dimuat oleh H.B. Jassin kemudian disusul dengan roman pendek yang berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Roman ini melukiskan tentang perjuangan orang-orang dan gereja Kristen dalam usaha meningkatkan taraf hidup rakyat di daerah terpencil. Cerpennya "Oleng-Kemoleng" (Horison, Juli 1968) mendapat pujian dari redaksi Horison. Cerpennya itu bersama dengan cerpen-cerpennya yang lain kemudian dikumpulkannya menjadi sebuah kumpulan cerpen yang berjudul Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk diterbitkan oleh Nusa Indah, Ende-Flores tahun 1974.

Nama baik dan karya Gerson Poyk mendapat apresisasi tinggi dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namanya dilekatkan pada Taman Budaya Provinsi NTT di Kupang dengan nama Taman Budaya Gerson Poyk.

Selamat jalan, Pak Be’a.  Semoga karya-karyamu terus mengilhami. (ghw/an)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa