Kritik Sastra di Badan Bahasa Menginspirasi dan Memotivasi
![Kritik Sastra di Badan Bahasa Menginspirasi dan Memotivasi](https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/resource/doc/images/1_18.jpg)
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan Seminar Kritik Sastra pada 15—16 Agustus 2017. Seminar bertema Kritik Sastra yang Menginspirasi dan Memotivasi itu, selain pemakalah utama seperti Dadang Sunendar, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Melani Budianta, Nirwan Dewanto, Yosi Avianto Pareanom, dan Martin Suryajaya, turut juga pemakalah panel.
“Selain pemakalah utama kami juga mengikutsertakan 16 pemakalah pendamping dari puluhan karya yang sudah terseleksi,” kata Jonner Sianipar, koordinator kegiatan acara ini.
Acara yang bertempat di Aula Sasadu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, ini dibuka oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. Dadang Sunendar yang sekaligus menjadi pembicara kunci usai pembukaan.
Dalam sambutannya, Dadang Sunendar sangat mengapresiasi acara yang dipelopori oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan ini. “Semoga melalui seminar kritik sastra, semakin tercipta iklim semangat kritik yang senantiasa menginspirasi sekaligus memotivasi,” tegasnya.
Seminar kritik sastra mendapat apresiasi penting dari peserta. Hal itu terbukti dari jumlah peserta melebihi kuota yang ditentukan. Pendaftaran dilakukan melaui daring peserta dan yang mendaftar sebanyak 267 orang,” kata Deliar, salah satu panitia.
Kritik sastra di Indonesia, dalam geliatnya, pernah berkembang dengan marak seiring dengan perjalanan sastra Indonesia itu sendiri. Setidaknya, pada awal abad ke-20 sudah muncul kritik sastra ketika Tirto Adhi Surjo berkomentar atas cerita-cerita yang dimuat di Medan Prijaji (1907—1912) atau Putri Hindia (1908—1911) atau ketika Mohammad Yamin pada tahun 1920 mengulas Babad Melayu. Selanjutnya, sejarah sastra kita pun mencatat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan J. E. Tatengkeng pada tahun 1930-an adalah para kritikus sekaligus sastrawan yang berperan penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Pada periode 1945—1950 terdapat beberapa kritik sastra yang ditulis H.B. Jassin , M. Balfas, Chairil Anwar, Asrul Sani, Aoh K. Hadimaja, dan Amal Hamzah. Memasuki tahun 1960, dengan diwarnai keadaan sosial-politiknya, muncul kritikus-kritikus baru, seperti Gunawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Boen S. Umaryati, dan Wiratmo Sukito. Demikianlah selanjutnya hingga dekade 2000-an saat ini kritik sastra Indonesia terus mengalir dan mengalami pasang surut.
Maka dalam kesempatan seminar kritik kali ini, melalaui para pembicara utama terdapat isu menarik dari pemikiran ditawarkan, seperti pernyataan Ignas Kleden bahwa kritik sastra di Indonesia sibuk pada tokoh dan bukan pada pokok karyanya. Kemudian Martin Sandjaya yang memasalahkan maraknya tawuran digital dalam kritik sastra Indonesia. Selanjutnya Yoseph Yapi Taum menegaskan bahwa teori hanyalah akuntabilitas bagi sastra Indonesia, maka anak didik itu perlu diajari mencintai karya sastra dengan membaca menulis supaya mampu berimajinasi.
Sapardi Djoko Damono juga mempunyai kegelisahannya tersendiri, yakni tentang suatu hal mesti dipahami oleh guru bahasa Indonesia, bahwa bahasa iklan baiknya juga masuk dalam kurikulum Bahasa Indonesia. “Jadi perihal iklan atau pun propaganda juga dimasukkan ke dalam kurikulum dengan tensi kesesuaiannya tersendiri. Supaya anak didik kelak bersikap lebih kritis. Kemudian saat mempelajari sastra dalam bahasa Indonesia baiknya guru tak perlu banyak bicara, biar anak didik bekerja dari kemampuan tafsirannya masing-masing,” tegas Guru Besar FIB UI sekaligus sastrawan Indonesia ini. (fm)