Revitalisasi Kayat Kuansing Berharap Lahir Tukang Kayat Muda
Kuantan Singingi-Kayat termasuk salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Rantau Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kunsing), Riau. Bentuknya berupa pantun yang disampaikan dengan cara didendangkan oleh tukang kayat sebagaimana halnya selawat dulang di Sumatra Barat. Kini keberadaan kayat sudah sulit ditemui. Oleh karena itu, Balai Bahasa Riau, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) merasa perlu melakukan revitalisasi sastra lisan kayat sebagai kekayaan budaya nasional yang perlu dirawat dan dilestarikan.
Menurut salah seorang tim revitalisasi sastra lisan kayat dari Badan Bahasa, Eva Yenita Syam, S.S., M.Pd., program revitalisasi ini dilakukan bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Kuantan Singingi dalam kurun waktu April--Agustus 2018 di Benai, Kuansing.
Pada kesempatan itu Eva berujar, “Program ini bertujuan agar sastra lisan kayat tetap lestari dan dikenali, khususnya oleh generasi muda. Berdasarkan hasil survei dan kajian vitalitas (daya hidup) yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada 2016 dan hasil penelitian tim peneliti di Universitas Riau, keberadaan sastra lisan ini sudah masuk kategori mengalami kemunduran, bahkan menuju pada status terancam punah.
Jika tidak segera diwariskan kepada generasi muda, kayat Kuansing akan punah. “Untuk daerah Benai contohnya, maestronya atau tukang kayat-nya, yaitu Pak Roestam dan Pak Anas, sudah berusia lanjut,” tambah Eva. “Begitu juga di daerah lain di Kuansing. Sudah banyak tukang kayat yang meninggal dunia. Belum lagi perubahan yang terjadi pada tradisi lisan tersebut. Dahulu cerita yang terkandung di dalam kayat banyak bernuansa islami, tetapi sekarang pantun-pantun percintaan yang lebih mengemuka. Tidak jarang tukang kayat membawakan cerita kekinian. Perubahan terjadi pula pada durasi dan waktu penampilan.”
Kepala SMAN 1 Benai, Kabupaten Kuantan Singingi, Drs. Yurnalis, M.M., menyatakan dukungannya terhadap program revitalisasi kayat Kuantan. Yurnalis mengharapkan kegiatan revitalisasi ini dapat menjadi model dan contoh pelestarian sastra lisan kayat di Kabupaten Kuantan Singingi, khususnya di lingkungan sekolah.
Biasanya kayat dimainkan oleh empat orang tukang kayat. Salah seorang dari mereka menjadi pemimpin kayat. Setiap tim terdiri atas dua orang sebagai pasangan untuk bersahut-sahutan (berbalas pantun). Kayat dimainkan di hadapan penontonnya tanpa ada jarak dan batas formal. Pada awalnya pertunjukan kayat diiringi alat musik berupa talam atau dulang yang terbuat dari kuningan/ atau tembaga. Dalam perkembangannya alat musik tersebut berkembang sehingga dipergunakan pula gendang, biola, ketabung, dan kerincing.
Pada acara rapat koordinasi lanjutan dengan para pemangku kepentingan di SMAN 1 Benai, Kabupaten Kuantan Singingi (Jumat, 27 April 2018), Dra. Juhriah, anggota Tim Revitalisasi dari Badan Bahasa, menyatakan bahwa revitalisasi sastra ini bertujuan agar kayat tetap lestari dan dikenali, khususnya, oleh para generasi muda.
Kepala sekolah yang diwakili oleh guru kesenian di SMAN 1 Benai, Yurmadalis, S.Sn. yang berkolaborasi dengan guru kesenian lain, Patrick Arieza, S. Pd, juga berharap kegiatan revitalisasi sastra lisan kayat ini dimasukkan ke dalam ekstrakurikuler seni budaya. “Lewat kegiatan seperti itu pelestarian dan pewarisan sastra lisan kayat diharapkan bisa lebih komunikatif dan interaktif,” ungkapnya.
Pada akhir kegiatan, sekitar pertengahan Agustus muncul gagasan agar diadakan pementasan hasil revitalisasi dalam bentuk festival di perhelatan nagari bernama Pacu Jalur. Seluruh guru SMA1 Benai dan dua maestro kayat terlibat secara penuh. Dalam perhelatan itu tentu anak-anak akan tertarik dan senang mengikuti pembelajaran sastra lisan tersebut . “Pencapaian yang luar biasa dan kita harapkan berjalan lancar sampai pelaksanaan festival nanti. Harapan kami, melalui festival itu akan lahir para peng-kayat muda. Semoga!” tukas Eva penuh harap. (Irwanto, Balai Bahasa Riau)