Badan Bahasa Ajak Peneliti Turut Serta Meningkatkan Pengembangan Karakter Bangsa Melalui Bahasa
![Badan Bahasa Ajak Peneliti Turut Serta Meningkatkan Pengembangan Karakter Bangsa Melalui Bahasa](https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/resource/doc/images/g315.jpg)
Dadang Sunendar, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, mengimbau para peneliti agar dapat terjun ke daerah dan meneliti wilayah yang ramah dan tidak atau kurang ramah terhadap penggunaan bahasa negara di ruang publik, sekaligus untuk melihat perbedaan karakter masyarakatnya. “Indonesia kaya akan objek penelitian bahasa karena Indonesia adalah negara dengan bahasa terbanyak kedua setelah Papua Nugini,” jelas Dadang.
Dadang menjelaskan pentingnya peran peneliti bahasa untuk meningkatkan perkembangan karakter bangsa Indonesia. “Melihat kondisi saat ini di ruang publik, banyak pengusaha yang tidak mengutamakan bahasa negara pada tampilan papan reklamenya. Seharusnya kita terganggu dengan kondisi ini. Jangan-jangan kita tidak bangga dengan bangsa kita sendiri?” tambah Dadang dengan nada bertanya.
Sikap atau karakter seseorang yang tidak bangga dengan bahasa negaranya sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V disebut sebagai xenomania, yaitu kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing (berasal dari luar negeri).
Perlu diketahui bahwa jumlah potensi titik reklame di Kota Bandung, menurut portal.bandung.go.id, pada tahun 2017 sudah 16.301 titik yang tersebar di tiga puluh kecamatan.
Selain pentingnya meningkatkan karakter masyarakat Indonesia untuk bangga menggunakan bahasa negara, Dadang juga menyinggung bahasa komunikasi di grup media sosial, seperti WhatsApp yang sering tidak mencerminkan kearifan budaya lokal. “Fenomena kekerasan verbal di media daring sudah dinyatakan oleh Profesor John Suler mengenai fenomena ‘kekerasan’ yang dihubungkan dengan media sosial dengan istilah Online Disinhibition Effects (ODE). Maknanya kurang lebih adalah suasana kebebasan masyarakat untuk menyampaikan suatu apapun tanpa ada sekat karena yang bersangkutan tidak beratatap muka. Kita perlu urun rembuk untuk mengatasi masalah ini” tegas Dadang.
John Suler adalah seorang Profesor Psikologi di Universitas Rider, Amerika Serikat, yang telah menulis tentang perilaku masyarakat dalam pengunaan media daring.
Anjuran yang disampaikan oleh Kepala Badan Bahasa itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Begitulah saran Dadang pada acara pembukaan kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra di Hotel Fox Harris, Bandung, Kamis, 12 Juli 2018. Kegiatan tersebut diikuti oleh seratus peserta dari kalangan peneliti, dosen, wartawan, mahasiswa dan guru. Peserta berasal dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Kegiatan seminar tersebut dilaksanakan selama dua hari, 12—13 Juli 2018. Seminar kebahasaan ini melibatkan empat kementerian sebagai pemakalah, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama, serta Kementerian Komunikasi dan Informasi. Pendaftaran makalah dibuka selama dua bulan dan tercatat sebanyak 148 peserta mendaftar dengan cara mengirimkan abstrak yang kemudian diseleksi menjadi 72 pemakalah.
Makalah yang sudah dipresentasikan akan mendapat masukan dari penelaah makalah. Setelah direvisi, makalah akan diterbitkan dalam prosiding ber-ISBN, dan pemakalah akan mendapatkan prosiding secara cuma-cuma.
Materi yang disajikan selama dua hari itu mencakup tema peran bahasa dan sastra dalam mengembangkan karakter bangsa serta kebijakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terhadap penelitian bahasa dan sastra. Penelaah terdiri atas Dr. Dendy Sugono dari Universitas Negeri Jakarta, Dr. Wahya, M.Hum. dari Universitas Padjajaran, Dr. Sunu Wasono, M.Hum. dari Universitas Indonesia, dan Dr. Yulianeta, M.Pd. dari Universitas Pendidikan Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai Bahasa Jawa Barat, Sutejo, menuturkan bahwa tujuan kegiatan seminar ini adalah untuk membina dan mengembangakan karakter bangsa melalui penelitian bahasa dan sastra, menggali nilai-nilai kearifan lokal dalam membina dan mengembangkan karakter bangsa, memberi kontribusi bahasa dan sastra dalam membina literasi sekolah, serta meningkatkan mutu penelitian bahasa dan sastra. “Bahasa, sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial, seharusnya bisa mengekspresikan nilai-nilai kearifan lokal yang menjunjung tinggi keadaban dalam berkomunikasi,” tutur Sutejo. “Kegiatan ini diselenggarakan dengan latar belakang kondisi era teknologi dan informasi yang serba instan ini. Sikap hidup pragmatis sebagian besar masyarakat Indonesia mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa,”tambah Sutejo.
Budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup instan dan modern.
Salah satu peserta yang berasal dari Universitas Negeri Makassar, Suga Hutami, merasa sangat beruntung dapat ikut serta dalam kegiatan ini. “Saya memang memerlukan sertifikat seminar kebahasaan sebagai syarat akademik dari universitas tempat saya kuliah. Saya sangat senang karena makalah saya dapat lolos seleksi dan saya dapat berkumpul bersama pemakalah dari daerah lain,” ujar Suga. (iw)