Revitalisasi Sastra Lisan Dolo
![Revitalisasi Sastra Lisan Dolo](https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/resource/doc/images/WhatsApp_Image_2019-07-23_at_11.07.37_(1).jpeg)
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaksanakan kegiatan Revitalisasi Sastra Lisan Dolo-Dolo. Kegiatan ini terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, Maret 2019 berupa survei dan koordinasi antara pihak Badan Bahasa dan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Tahap kedua dilaksanakan pada April hingga Juni 2019 bersama para pengajar Dolo-Dolo (David Kopong, Lusia Uban Salam, Amber Kembaren Lorens Lema Lewo, Kamilus Kopong, serta beberapa Ina dan Ama). “Terus terang kami, terlebih saya pribadi, kaget! Ternyata ada tim dari Kemdikbud Jakarta bernama Badan Bahasa yang entah kenapa, masih peduli pada kami, khususnya Adonara, yang rupanya kaya akan situasi dan tradisi yang kemudian dianggap berteks sastra,” kata David sambil terkekeh.
Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk menciptakan ruang bagi komunitas baru supaya semakin melebarkan sayapnya dalam mencintai dan memelihara sastra lisan Dolo. Pesertanya sebanyak 21 orang anak-anak dan 30 orang remaja.
Adapun tahap ketiga kegiatan ini berupa pementasan hasil selama pelaksanaan pelatihan. Pementasan dilaksanakan pada 24 Juni—1 Juli 2019 di Desa Horinara, Kecamatan Kelubagolit, Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Tim perevitalisasi ini adalah Ferdinandus Moses Tempo dan Evi Fuji Fauziyah (Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra) dan Erwin Syahputra Kembaren (Kantor Bahasa NTT). “Sekarang ini Badan Bahasa lebih mengutamakan kaum remaja sebagai peserta pelatihan. Pada kesempatan yang akan datang , saya memberanikan diri mengusulkan supaya anak-anak yang notabene sekolah dasar juga harus ikut latihan dan bisa tampil saat pentas. Anak-anak mestinya juga paham dari kegiatan ini,” tegas Ina Lusia
Jumat sore (28/6/2019) menjadi acara puncak dari hasil latihan anak-anak dan remaja. Kami berharap Dolo-Dolo semakin dicintai ke depannya. Selain mudah dipelajari di kalangan suku Lamaholot, diharapkan Dolo-Dolo dapat menjadi muatan lokal bagi pendidikan karakter luhur yang dapat dijadikan teladan dalam membina generasi masa mendatang. Dolo-Dolo memiliki makna yang dalam berupa nilai-nilai semangat kebersamaan, kerja sama, serta teladan moral dalam hidup keseharian.
“Bagi Badan Bahasa, revitalisasi sastra boleh dianggap seperti ritus bertanda petik. Maksudnya, tradisi yang kemudian disebut sastra lisan itu berujung menjadi teks, sekaligus kekuatan sastra itu sendiri, sastra Indonesia. Nah, basis komunitas di sini, seperti tempat lainnya juga, pada akhirnya dimaksudkan supaya tidak terjadi keterputusan pelisanan yang kelak menjadi teks sastra, apalagi menjadi punah,” tegas Moses. (princes)