Bahasa Ibu: Kekayaan Indonesia yang Harus Dijaga

Bahasa Ibu: Kekayaan Indonesia yang Harus Dijaga

Bahasa merupakan salah satu bentuk kekayaan sebuah bangsa. Kekayaan bahasa menjadi refleksi keragaman budaya sebuah bangsa. Secara historis, bahasa dapat dimaknai sebagai panjangnya garis sejarah dalam sebuah perjalanan bangsa. Lebih dari itu, bahasa merupakan representasi karakter sebuah bangsa. Bahkan, sebuah pepatah lama menyebut "bahasa menunjukkan bangsa." Jika dimaknai lebih dalam, bahasa berkaitan erat dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dari sisi budaya, sejarah, maupun keseharian.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk beragam suku bangsa. Hal itu membuat penduduk Indonesia memiliki berbagai macam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Keragaman bahasa yang digunakan membuat Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan bahasa terbanyak di dunia. Berdasarkan hasil pemetaan, kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, hingga registrasi bahasa yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra,  Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, terdapat 718 bahasa yang ada di Indonesia. Jumlah tersebut mengungguli Negara Paman Sam yang berada di urutan kelima dengan 335 bahasa.

Hasil kajian kebahasaan yang dilakukan oleh Badan Bahasa setiap tahunnya menunjukkan adanya kekhawatiran besar yang melanda bangsa ini, yakni terdapat 25 bahasa yang terancam punah, 6 bahasa yang kritis, dan 11 bahasa yang telah punah. Hal tersebut harus disikapi dengan bijak agar warisan budaya tak benda ini tidak hilang perlahan ditelan masa.

Menyikapi hal tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan Gelar Wicara dan Penampilan Tunas Bahasa Ibu dengan tema "Melestarikan Bahasa Daerah untuk Pemajuan Bangsa" di Aula Sasadu, Gedung M. Tabrani, Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, pada Selasa, 25 Februari 2020.

Kegiatan tersebut adalah representasi dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO setiap tanggal 21 Februari. Penetapan ini dianggap penting karena dapat menjadi tonggak kesadaran suatu bangsa untuk menjaga bahasa ibunya kepada generasi penerus. Isu ini dinilai sangat penting mengingat banyak bahasa lokal di dunia yang mulai punah. UNESCO memperkirakan sekitar 3.000 bahasa lokal akan punah di akhir abad ini. Hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia saat ini yang masih akan eksis pada tahun 2100 nanti.

Kegiatan Gelar Wicara tersebut mengundang beberapa narasumber, yaitu Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, Bupati Bungo, Provinsi Jambi,  H. Mashuri, dan Tokoh Adat dari Maluku, Eliza Marthen Kissya, serta perwakilan Polyglot Indonesia dan Wikitongue.
Acara tahunan tersebut juga dimeriahkan oleh penampilan sastra lisan Dideng dari anak-anak Rantaupandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi bersama dengan maestro Dideng, Ibu Jariah. Turut juga tampil monolog berbahasa daerah dari komunitas Oryza Lokabasa.


Dadang Sunendar, plt. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, berharap kegiatan tersebut mampu memantik kepedulian masyarakat terhadap bahasa daerah sekaligus sastra daerah, khususnya di kalangan milenial. Selain itu, Dadang juga berharap setiap keluarga mampu mewariskan bahasa ibu kepada anak-anak di rumah sebab banyak terjadi kawin campur di tengah-tengah  masyarakat yang menyebabkan bahasa ibu perlahan punah. Padahal, seharusnya anak tersebut bisa menguasai tiga bahasa sekaligus, yakni bahasa Indonesia dan dua bahasa daerah orang tuanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Arief Rachman. Ia berpendapat bahwa melestarikan bahasa akan memperkokoh mutu manusia itu sendiri. Menurutnya, bahasa daerah memiliki empat kekuatan, yakni menguatkan rasa kekeluargaan, menumbuhkan toleransi, mengenal satu dengan yang lain, dan menjaga perbedaan. “Mudah-mudahan bahasa daerah tidak hanya dalam nyanyian saja, tetapi digunakan dalam keseharian kita,” ujarnya.

Sementara Abdul Fikri Faqih selaku legislator menilai bahwa mencintai bahasa nasional dan bahasa daerah adalah bentuk tegaknya konstitusi. Ia berharap pada masyarakat desa agar terus mempertahankan bahasa daerahnya masing-masing dan tak kehilangan kemampuan berbahasa daerah.

Tegaknya konstitusi berarti masyarakat telah membantu melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebahasaan, terutama Pasal 25—Pasal 45. Selain itu, ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan Pembinaan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Bahkan, kewajiban melindungi bahasa daerah juga terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.

Penutup kegiatan tersebut, dalam sesi tanya jawab, H. Mashuri menuturkan pihaknya akan berusaha melestarikan bahasa daerah, terutama dengan mewajibkan bahasa daerah menjadi pelajaran muatan lokal di daerah Bungo, Jambi. Tidak hanya itu, Mashuri akan mendukung pelestarian bahasa daerah melalui kesenian-kesenian daerah yang bisa diperagakan oleh kalangan muda. (Dv)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa