Pemetaan: Langkah Awal Upaya Pelindungan Sastra
Hingga tahun 2019, sebanyak 136 sastra dan 718 bahasa daerah terpetakan di Indonesia. Sebagai salah satu bagian dari program pelindungan bahasa dan sastra, pemetaan sastra merupakan langkah awal tindakan pelindungan selanjutnya, yakni kajian vitalitas, konservasi, dan revitalisasi sastra. Dari hasil pemetaan sastra, tindakan-tindakan pelindungan sastra diharapkan dapat dilakukan secara sistematis dan efektif.
Demikian dikatakan oleh Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hurip Danu Ismadi, dalam acara Lokakarya Pemetaan Sastra di Pekanbaru pada hari Selasa, 10 Maret 2020 silam.
Dalam paparannya tentang Kebijakan Pemetaan dalam Rangka Pelindungan Bahasa dan Sastra di Indonesia, Hurip menekankan bahwa kegiatan pemetaan sastra merupakan salah satu upaya pendokumentasian serta langkah awal sebelum melakukan kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, dan registrasi sastra dalam rangka pelindungan yang komprehensif.
Penelitian terhadap sastra di Indonesia, terutama yang berbahasa daerah, telah banyak dilakukan oleh peneliti dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dengan dukungan dari UPT Balai/Kantor Bahasa yang tersebar di 30 provinsi, penelitian sastra di Indonesia ini mengangkat objek sastra dari berbagai daerah, seperti sastra lisan, sastra cetak, dan manuskrip. “Hasil penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sastra di Indonesia tidak hanya kaya dari segi bentuk atau genre, tetapi juga memiliki kebinekaan dalam gaya ungkap, tema, motif, hingga ke latar historis, sosial, politik, dan budaya etnik,” kata Hurip.
Lokakarya yang berlangsung selama 10--12 Maret 2020 ini bertujuan untuk mematangkan kegiatan pemetaan sastra yang sudah dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa selama ini. “Ke depan, hasil pemetaan sastra dapat dijadikan dasar untuk melihat dan merancang jejaring dan motif dari tiap karya sastra yang ada. Selain itu, hasil pemetaan sastra juga dapat dijadikan rujukan untuk memahami konsep budaya tertentu sejauh konsep itu tecermin dalam bahasa dan sastra,” jelas Hurip.
Lokakarya ini juga dihadiri oleh sejumlah narasumber dari berbagai kalangan, yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar; Kepala Balai Bahasa Riau, Songgo Siruah; sastrawan Riau, Fakhrunas M.A. Jabbar; Rektor Universitas Lancang Kuning, Junaidi; Ellya Roza dari Universitas Sultan Syarif Kasim; Junaidi Syam; Kabid Bahasa dan Seni, Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Reni Hafzan; dan perwakilan Bappedalitbang Provinsi Riau, Ibnu Suhelzi.
Fakhrunnas M.A. Jabbar dalam paparannya tentang Urgensi Pemetaan Sastra untuk Pelindungan Sastra Daerah menyatakan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki sastra lokal dengan karakteristik berbahasa daerah dan penggunaan simbol-simbol yang khas. “Lokalitas dalam karya sastra tentu tecermin pada eksistensi para pengarang yang bersumber dari nilai-nilai budaya lokal yang berlaku dalam masyarakat,” kata pengarang Air Mata Musim Gugur ini.
Fakhrunas juga menekankan pentingnya pemetaan sastra yang bisa membangkitkan semangat dan kebanggaan akan nilai-nilai budaya dan estetika lokal. “Ketinggian dan kehalusan budi nilai lokalitas patut dijunjung sebagai bagian dari peradaban (tamadun),” ungkapnya.