Kehilangan Bahasa, Kepunahan Sastra

Kehilangan Bahasa, Kepunahan Sastra

Pada tahun 2009, Unesco merilis sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia, terancam punah. Sebanyak 200 bahasa telah punah dalam tiga puluh tahun terakhir dan 607 bahasa berstatus tidak aman. Kehilangan bahasa juga turut menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup sastra.

Demikian dikatakan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dadang Sunendar, dalam paparannya pada kegiatan Lokakarya Pemetaan Sastra hari kedua di Pekanbaru, Rabu (11/3). “Pemetaan sastra adalah salah satu upaya pelindungan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun ini. Ini menjadi langkah awal guna menyelamatkan sastra di Indonesia,” kata Dadang. Dikatakannya, pemetaan sastra merupakan pemetaan khazanah sastra (mapping the wealth of literature) yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tutur bahasa daerah pada wilayah tertentu yang ada di Indonesia.

Diakui Dadang, selama ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memprioritaskan pada perampungan peta bahasa sebab ada ribuan bahasa beserta dialeknya di Indonesia. Beberapa diantaranya berstatus terancam punah. Jika bahasanya hidup, maka sastra dan kearifannya pun akan tetap hidup. Akan tetapi, jika bahasanya punah, sastranya juga akan ikut punah. Inilah alasan bahasa menjadi prioritas. “Saat ini, kami akan merampungkan pemetaan sastra sastra lisan, manuskrip, dan sastra cetak,” kata Dadang.

Dadang mengakui bahwa Riau kaya akan sastra lisan, manuskrip, dan sastra cetak. “Jangan sampai kekayaan dan kearifan lokal ini punah. Maka, tugas kita semua, terutama pemerintah daerah dan masyarakat pemilik sastra itu sendiri, untuk melindungi dan menjaga sastra. Caranya dengan memetakan, mengonservasi atau merevitalisasi, dan meregistrasi,” kata Dadang.

Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Riau, Songgo Siruah, dalam paparannya juga mengimbau semua pihak untuk lebih peduli terhadap upaya-upaya pelindungan bahasa dan sastra. Selama ini, Balai Bahasa Riau sudah melakukan upaya revitalisasi nandung di Siak, kayat di Kuansing, dan onduo di Rokan Hulu. Balai Bahasa Riau juga telah mengonservasi pantun otui, pantun ugam di Kabupaten Kampar, serta mengonservasi sastra cetak Nolam dan manuskrip di Kampar.

“Upaya yang lebih besar perlu didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah daerah. Ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 32, yaitu ‘Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional’.”

Dalam lokakarya ini, Elmustian Rahman dari Universitas Riau, selaku salah satu narasumber, mengungkapkan mengenai bentuk, jenis, dan persebaran karya sastra lisan yang berpotensi diteliti dan dipetakan di Riau. Elmustian mengistilahkannya dengan tapak lapan dalam pemetaan sastra di Riau, yaitu sastra dalam berdagang, berburu, argoindustri, nelayan, ladang darat, ladang sawah, berkebun, dan bertukang.

Acara lokakarya ini juga menghadirkan pemerhati sastra cetak, Junaidi, yang juga merupakan  Rektor Universitas Lancang Kuning. Junaidi menyebutkan bahwa Riau memiliki khasanah sastra cetak yang masih perlu digali sebagai upaya pelindungan. (Irwanto)

 

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa