Hasil Revitalisasi Sastra Lisan dan Manuskrip Dapat Dimanfaatkan sebagai Bahan Pembelajaran di Sekolah

Hasil Revitalisasi Sastra Lisan dan Manuskrip Dapat Dimanfaatkan sebagai Bahan Pembelajaran di Sekolah

Banyaknya kekayaan sastra lisan dan manuskrip di Indonesia tidak luput menjadi perhatian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dalam melakukan revitalisasi. Revitalisasi sastra ini menjadi tema dalam Seri Diskusi Daring Pelindungan Bahasa dan Sastra sesi kedua pada hari Senin, 18 Mei 2020 lalu. Diskusi yang mengangkat topik “Revitalisasi Sastra Lisan dan Manuskrip” ini mengundang dua pembicara, yaitu Ferdinandus Moses Tempo dari Badan Bahasa dan Yulianeta dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Yulianeta membuka diskusi pertama dengan materi yang berjudul “Revitalisasi Manuskrip Nusantara ke Animasi sebagai Media Literasi Sastra”. Dalam pembahasannya, Yulianeta menyampaikan pengalamannya dalam melakukan revitalisasi manuskrip sejak tahun 2009 hingga 2020. Ada beberapa manuskrip yang telah direvitalisasi dengan cara alih wahana ini, di antaranya Hikayat Raja Kerang, I La Galigo, Gadjah Mada, dan  Babad Surapati. Dalam melakukan alih wahana, Yulianeta juga bekerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti Perpustakaan Nasional RI, pemilik naskah, hingga tenaga profesional di bidang animasi.

Upaya revitalisasi manuskrip yang dilakukan oleh Yulianeta, selain berangkat dari kecintaannya terhadap manuskrip dan dunia pernaskahan, juga berawal dari keprihatinannya terhadap kesenjangan antara manuskrip dengan masyarakat. “Ada gap yang besar antara naskah dengan masyarakat. Yang mengenal manuskrip hanya kalangan tertentu saja, misalnya filolog dan akademisi yang tertarik pada manuskrip. Padahal, banyak pesan moral yang bagus di dalam manuskrip. Dipilihnya animasi sebagai bentuk alih wahana dilakukan untuk mengundang minat anak-anak. Meskipun demikian, isi dan muatan manuskrip disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekarang tanpa mengurangi isi pesan dari manuskrip tersebut,” tegas Yulianeta.

Sementara itu, Ferdinandus menyambung diskusi dengan pembahasan revitalisasi sastra lisan. Sama seperti Yulianeta, Moses menyampaikan secara umum proses dan contoh kegiatan revitalisasi sastra lisan yang pernah dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. Mulai dari sastra lisan dolo-dolo di Nusa Tenggara Timur, vaino di Sulawesi Tengah, dideng di Jambi, hingga hiem di Aceh. Moses menambahkan bahwa Pusat Pengembangan dan Pelindungan juga pernah melakukan alih wahana sastra lisan ke dalam bentuk komik dan animasi. “Alih wahana hanya salah satu bentuk revitalisasi sastra. Maksudnya, bentuk revitalisasi sastra lainnya juga ada sehingga ada banyak pilihannya dalam melakukan revitalisasi sastra,” ujar Moses.

Pada diskusi tersebut, pembicara maupun peserta diskusi juga sepakat bahwa hasil revitalisasi sastra lisan dan manuskrip, baik dalam bentuk komik, animasi, maupun pertunjukan atau antologi sastra lisan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Guru maupun tenaga kependidikan dapat memanfaatkan hasil revitalisasi sastra lisan dan manuskrip ini dalam pelajaran bahasa, seni budaya, dan pelajaran lainnya yang berkaitan. Terlebih lagi, kurikulum 2013 memungkinkan adanya integrasi berbagai pelajaran yang saling berhubungan sehingga hasil revitalisasi sastra lisan dan manuskrip ini dapat menambah bahan pembelajaran. sehingga pembelajaran di sekolah menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Tidak hanya itu, revitalisasi sastra lisan dan manuskrip ini pun turut mendukung pemajuan kebudayaan yang dicanangkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017.  (SB)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa