Tradisi Lisan Sebagai Pemersatu dalam Pembelajaran Multikulturalisme

Tradisi Lisan Sebagai Pemersatu dalam Pembelajaran Multikulturalisme

Indonesia sebagai tempat berkumpulnya beragam suku, agama, budaya, dan bahasa menyimpan keunikan atau kekhasannya tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Pasalnya, semua suku, agama, budaya, dan bahasa yang berbeda itu dapat hidup berdampingan secara harmonis dalam sebuah komunitas di berbagai daerah. Keharmonisan tersebut tidak terlepas dari peran tradisi lisan dalam menciptakan pembelajaran multikulturalisme. Bentuk konkret dari adanya keharmonisan dan peran tradisi lisan di dalamnya diulas dalam Seri Diskusi Daring yang diadakan Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa). Dengan mengangkat tema “Pembelajaran Multikulturalisme melalui Tradisi Lisan”, kegiatan bertajuk Rembuk Sastra ini diadakan pada hari Senin, 8 Juni 2020 melalui aplikasi daring dan ditayangkan secara langsung pada kanal YouTube Badan Bahasa. Diskusi daring kali ini mengundang Sastri Sunarti, peneliti Badan Bahasa dan Susi Fitria Dewi, dosen sekaligus ketua Prodi Magister Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Padang dengan moderator Anita Astriawati Ningrum.

Pada awal diskusi, Susi membicarakan tentang pembelajaran multikulturalisme di Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Multikulturalisme terlihat di Nagari Sungai Buluah antara dua suku dan agama yang berbeda, yaitu masyarakat Nias yang beragama Kristen dengan masyarakat Minang yang beragama Islam. Meskipun berbeda suku dan agama, tetapi keduanya hidup berdampingan dengan harmonis di Nagari Sungai Buluah. Keharmonisan ini dapat diketahui dari berbagai sikap dan perilaku, seperti menghormati perbedaan, mendapatkan pengakuan masyarakat, mendukung kontribusi berbagai kelompok, hingga menghargai ekspresi dan kontribusi budaya. Sebagai contoh, masyarakat Nias di Nagari Sungai Buluah masih mempertahankan tradisi lompat batu dan berbagai kesenian lainnya walaupun masyarakat Nias berada di tanah rantau. Hal tersebut disambut hangat oleh masyarakat Minang. Bahkan, pemerintah daerah setempat menjadikan salah satu tradisi masyarakat Nias ini sebagai salah satu potensi wisata dan budaya.

“Ada pembelajaran multikulturalisme yang menarik di Nagari Sungai Buluah antara masyarakat Minang dengan Nias dari penyelenggaraan pesta pernikahan. Masyarakat Nias mengadakan pesta pernikahan dua hari. Satu hari untuk tamu sesama masyarakat Nias sementara satu hari berikutnya untuk tamu masyarakat Minang. Bukan bermaksud membedakan, tetapi masyarakat Nias menghargai masyarakat Minang sehingga dua hari pesta pernikahan tersebut berbeda hidangan makanannya yang disesuaikan dengan agama masing-masing. Saat hari pesta pernikahan untuk tamu masyarakat Minang, pembuat pesta dari masyarakat Nias meminta bantuan masyarakat Minang membuat makanan supaya makanan pestanya dapat dikonsumsi oleh tamu Minang. Semua itu dipersatukan oleh tradisi lisan yang telah disepakati oleh nenek moyang dan masih dipegang teguh hingga sekarang,” ungkap Susi.

Sastri juga mengungkapkan adanya multikulturalisme di Alor-Pantar dan Banten. Kedua wilayah tersebut memiliki kemiripan dalam hal multikulturalisme. Di Alor-Pantar, multikulturalisme ditunjukkan antara dua suku dan agama yang berbeda, yaitu Kristen dan Islam. Sementara itu, multikulturalisme di Banten diperlihatkan oleh masyarakat yang menganut dua agama dan suku yang berbeda, yakni Buddha dan Islam. Meskipun berbeda wilayah, tetapi multikulturalisme di Alor-Pantar dan Banten sama-sama memiliki keunikan dalam hal memberi ruang penganut agama melakukan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing. Bahkan, Gereja Ismail di Desa Alila Timur, Kecamatan Kabola, Alor dibangun oleh Komunitas Muslim Baranusa. Perbedaan agama di Alor-Pantar ini pun terdapat dalam syair pantun lego-lego.

“Situasi dan kondisi menarik juga terdapat di Banten. Hal ini disebabkan adanya multikulturalisme antara Buddha dan Islam. Dalam cerita lisan di Banten Lama, keharmonisan etnis Tionghoa dengan penduduk Muslim berawal dari adanya pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien Nio, seorang Tionghoa yang menjadi mualaf. Cerita lisan tersebut turun-temurun disampaikan,” ujar Sastri.

Dari berbagai contoh yang dikemukakan oleh Susi dan Sastri, baik di Padang, Banten, hingga Alor-Pantar, semuanya memiliki keharmonisan di tengah perbedaan suku, agama, budaya, dan bahasa. Bentuk keharmonisan ditunjukkan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Perbedaan tersebut tidak serta-merta menjadikan keduanya saling bermusuhan. Sebaliknya, perbedaan tersebut justru memperkokoh kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut difasilitasi dengan adanya tradisi lisan yang masih hidup di masyarakat sehingga tradisi lisan itu dapat dikatakan sebagai warisan takbenda dari nenek moyang yang masih dihormati, dihargai, dan dijaga oleh masyarakat. Ada baiknya pula tradisi lisan yang sudah hampir punah dihidupkan kembali, sedangkan tradisi lisan yang masih hidup lebih dibangkitkan lagi keberadaan di masyarakat untuk dapat menjadi pembelajaran multikulturalisme. Dengan begitu, tidak mudah timbul konflik dalam masyarakat yang memiliki perbedaan suku, agama, budaya, dan bahasa dan justru memperkuat semangat persatuan dan kesatuan sesuai dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. (SB)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa