Membidik Peluang dan Tantangan Pengajaran BIPA di Luar Negeri
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. E. Aminudin Aziz, M.A., Ph.D menjadi narasumber pada acara Seminar Internasional Perkembangan BIPA pada Perguruan Tinggi Islam di Dunia pada Sabtu, 13 Juni 2020. Seminar ini diselenggarakan oleh Ikatan Program Studi Tadris Bahasa Indonesia (IPTABI) di lingkungan Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tema yang diangkat dalam seminar ini adalah “Tantangan dan Peluang Pengajaran BIPA di Luar Negeri”.
Selain Aminudin Aziz, turut hadir narasumber lain, yakni Dr. Mamat S. Burhanuddin, M.Ag. (Kasubdit Pengembangan Akademik Direktorat PTKI Ditjen Pendis Kemenag RI ), Dr. Usman Syihab, M.A. (Atdikbud KBRI Cairo, Mesir), Asst. Prof. Dr. Sukree Langputeh (Wakil Rektor Bagian Hubungan Luar Negeri dan Alumni Fatoni University Thailand), dan Prof. Dr. Sangidu, M.Hum. (Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta). Kegiatan yang berlangsung secara daring in diikuti oleh 200 peserta melalui aplikasi Zoom dan 300 peserta lain menyaksikan melalui media Youtube. Adapun peserta seminar ini tersebar di beberapa negara, yaitu Indonesia, Inggirs, Kairo, dan Thailand.
Dalam paparannya, Aminudin Aziz mengungkapkan bahwa ada empat peluang yang dapat dijadikan sarana pengembangan BIPA. Peluang pertama adalah keberadaan Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) di tujuh belas negara akreditasi dan perwakilan Indonesia di lebih dari 30 negara. Peran Atdikbud dan perwakilan RI ini dinilai sangat berpotensi untuk pengembangan BIPA, apalagi selama ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sangat berkomitmen untuk menggaungkan bahasa Indonesia di kancah internasional melalui kerja sama dengan Atdikbud dan perwakilan Indonesia di luar negeri.
Peluang kedua adalah adanya komunitas pecinta budaya Indonesia, terutama alumni penerima beasiswa Darmasiswa RI. Keberadaan komunitas ini tentu saja menjadi peluang besar untuk perkembangan BIPA di luar negeri karena penerima beasiswa ini adalah orang asing yang sudah pernah tinggal di Indonesia dan mengetahui seluk-beluk Indonesia sehingga pengetahuan tersebut dikembangkan di negaranya. Beasiswa Darmasiswa telah dimulai sejak tahun 1974 dan tentunya sudah sangat banyak alumni penerima beasiswa yang akan membantu perkembangan BIPA dengan harapan Atdikbud atau perwakilan RI bersedia untuk memberdayakan mereka.
Peluang ketiga adalah adanya ahli-ahli mengenai Indonesia (Indonesianis) di beberapa perguruan tinggi. Indonesianis yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki perhatian khusus tentang Indonesia. Mereka memiliki perhatian khusus di berbagai bidang, baik politik, budaya, bahasa maupun bidang lainnya. Jika Atdikbud membuat kajian keindonesiaan dan melibatkan mereka, peluang pengembangan BIPA akan menjadi sangat bagus. Peluang keempat adalah peluang yang muncul dari dalam negeri, yaitu komitmen pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Badan Bahasa.
Dibalik adanya peluang-peluang untuk pengajaran bahasa Indonesia, Aminudin juga mengungkapkan empat tantangan yang harus dihadapi dalam pengajaran BIPA di luar negeri, yakni pertama, untuk beberapa kawasan, Indonesia merupakan negara yang tidak banyak dikenal dan kurang terpajan (less known and less exposed). “Tantangan ini cukup serius karena seperti di kawasan Eropa, ketika kita membicarakan tentang Indonesia, mereka bertanya, negara Indonesia itu di mana”, jelas Aminudin. Sebagian besar dari mereka hanya mengenal Bali dan Bali itu adalah Indonesia, padahal Bali adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Aminudin yang sebelumnya menjabat sebagai Atdikbud pada kantor perwakilan Inggris dan Irlandia kerap menjelaskan tentang Indonesia kepada rekan-rekannya. Ia menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan memiliki ragam budaya. Bahkan, jika menaiki pesawat untuk mengelilingi Indonesia, hampir sama jaraknya dari London ke Istanbul karena negara ini sangat besar.
Tantangan kedua adalah keberadaan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa di Eropa dan Asia Timur masih tertinggal. Ia menilai bahwa di wilayah tersebut bahasa yang diajarkan di perguruan tinggi adalah bahasa-bahasa yang ada di Eropa. Jika belajar bahasa di luar bahasa Eropa, mereka mengajarkan bahasa yang ada di Asia timur dan bahasa yang dipilih adalah bahasa Cina, Jepang, dan Korea. Jadi, jika kita memberikan insentif bahasa baru, itu adalah tantangan yang berat sekali dan kita harus dapat meyakinkan mereka bahwa bahasa Indonesia itu penting untuk dipelajari.
Tantangan ketiga adalah apakah mereka perlu belajar bahasa Indonesia atau belajar budaya Indonesia? Ini adalah hal yang harus menjadi perhatian karena ada yang mengatakan bahwa mereka akan belajar budaya Indonesia, sedangkan bahasa Indonesia hanyalah pengantar saja. Sementara itu, jika belajar bahasa Indonesia, belum tentu bisa belajar budaya Indonesia. Hal-hal tersebut harus menjadi perhatian khusus. Oleh karena itu, menurut Aminudin, guru yang akan mengajar BIPA di luar negeri adalah mereka yang selain berlatar belakang bahasa dan pendidikan, mereka juga memiliki kemampuan budaya Indonesia karena budaya dan bahasa harus terintegrasi.
Tantangan keempat adalah ketersediaan dan keterampilan guru BIPA serta guru lokal dan guru yang diutus ke luar negeri. Memberdayakan guru lokal adalah upaya yang bagus, misalnya orang-orang yang paham dengan bahasa Indonesia dapat menjadi guru BIPA atau dapat juga dengan memberdayakan alumni penerima beasiswa Darmasiswa. Hal ini lebih menghemat biaya dibandingkan dengan mengirimkan guru dari Indonesia.
Di akhir paparannya, Aminudin mengungkapkan bahwa ada beberapa program yang sudah berjalan, yaitu kelas-kelas BIPA hasil kerja sama dengan Atdikbud di KBRI, di sekolah, di perguruan tinggi, di lembaga riset, atau di masyarakat. Adapun program yang akan dilaksanakan Badan Bahasa adalah penyediaan program BIPA Teaching Fellowships, yaitu program yang memberdayakan diaspora Indonesia di luar negeri dan Program beasiswa BIPA (BIPA Scholarship), yaitu beasiswa bagi pembelajar BIPA yang berbeda dengan beasiswa Darmasiswa. Sementara peluang lain berasal dari Kementerian Agama, yaitu penyediaan dana abadi (endowment fund) di perguruan tinggi, seperti yang ditawarkan oleh OXCIS (Oxford Centre for Islamic Studies).
Narasumber kedua, Mamat S. Burhanuddin dalam paparan mengatakan bahwa Kementerian Agama memiliki beberapa program kegiatan internasional. Salah satu dari program tersebut adalah program pengiriman lima ribu doktor ke luar negeri. Dengan demikian, doktor yang bertugas bisa diberdayakan untuk pengembangan BIPA di luar negeri.
Sementera itu, narasumber ketiga, yaitu Usman Syihab menuturkan bahwa perkembangan bahasa Indonesia di Mesir sangat pesat. Setiap tahunnya peminat BIPA terus bertambah. Namun, karena keterbatasan waktu dan tempat, semua pendaftar tidak dapat ditampung. Lokasi pengajaran BIPA bersamaan dengan sekolah Indonesia, seperti di Pusat Kebudayaan Indonesia (Puskin). Siang hari lokasi ini akan digunakan untuk sekolah Indonesia, sedangkan dari sore hingga malam akan digunakan untuk siswa BIPA. Ia berharap, di masa depan akan ada solusi terkait tingginya minat masyarakat Mesir untuk belajar bahasa Indonesia. Sementara itu, di Universitas Al Azhar bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa kedua.
Dalam waktu yang sama, Sukree Langputeh mengungkapkan bahwa saat ini pengajaran BIPA di Thailand mulai berkembang. Beberapa universitas telah melakukan pembelajaran BIPA yang tersebar di tiga kawasan, yaitu wilayah selatan, tengah, dan utara.
Seminar ini diharapkan mampu menjadi sarana silaturahmi dan mewujudkan ide-ide kreatif serta memunculkan orang-orang yang tekun untuk menghadapi tantangan dan peluang pengajaran BIPA di luar negeri.(Dv)