Badan Bahasa Fokus terhadap Upaya Pelindungan Sastra Lisan Melalui Kegiatan Konservasi dan Revitalisasi
Bahasa dan sastra selama ini memang selalu dihubungkan dengan kebudayaan. Itu terjadi karena adanya anggapan bahwa dalam perkembangannya, bahasa dan sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Namun, masyarakat banyak yang belum tahu bahwa dalam implementasinya di Indonesia bahasa dan sastra sebenarnya terpisah dari kebudayaan. Secara lebih spesifik, masyarakat masih gamang dengan batasan antara sastra lisan dan tradisi lisan, atau bahkan batasannya dengan kesenian secara lebih luas. Sehubungan dengan hal tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra mengadakan Seri Diskusi Daring Pelindungan Sastra Sesi V dengan tema “Tarik Menarik antara Sastra Lisan dan Tradisi Lisan dalam Kegiatan Konservasi dan Revitalisasi”. Kegiatan bertajuk Rembuk Sastra tersebut dilaksanakan pada Senin, 22 Juni 2020 melalui aplikasi daring dan ditayangkan secara langsung melalui akun YouTube Badan Bahasa. Pembicara diskusi daring pada kesempatan itu adalah Prih Suharto dan Jonner Sianipar. Sementara itu, moderator kegiatan tersebut adalah Deliar Noer Rahmahsani dari Badan Bahasa.
Jonner Sianipar membuka diskusi dengan memaparkan terlebih dahulu dasar hukum dan upaya pelindungan sastra yang dilakukan Badan Bahasa, mulai dari (1) pemetaan sastra, (2) kajian vitalitas sastra, (3) konservasi sastra, (4) revitalisasi sastra, hingga (5) registrasi sastra. Apabila dilihat dari dasar hukumnya, upaya pelindungan sastra, khususnya sastra lisan, memang memiliki dasar hukum yang berbeda dengan ranah kebudayaan. Contohnya adalah adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan. Hal yang berkaitan dengan sastra dijelaskan secara terpisah dari kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa peraturan tentang sastra berdiri sendiri sehingga membedakannya dengan peraturan tentang kebudayaan. Itulah yang menyebabkan kewenangan urusan sastra dikerjakan oleh Badan Bahasa, sedangkan kewenangan urusan kebudayaan yang memuat tradisi lisan dikerjakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, khususnya Direktorat Pelindungan Kebudayaan (dahulu bernama Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) di dalam lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Perihal batasan sastra lisan dan tradisi lisan ini dapat menjadi jelas jika mengacu pada rumusan tradisi lisan dari UNESCO. Dalam hal ini, UNESCO menyebutkan bahwa tradisi lisan memuat (1) sastra dan seni pertunjukan; (2) religi, termasuk ritual dan upacara adat; (3) sejarah dan hukum adat; (4) kearifan, pengetahuan, dan sistem kognitif tradisional; serta (5) manusia dan lingkungannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra lisan termasuk ke dalam bagian dari tradisi lisan. Namun, Badan Bahasa hanya berfokus kepada sastra lisan melalui kegiatan konservasi dan revitalisasi sastra lisan tanpa menyentuh ranah lainnya yang lebih luas dalam tradisi lisan yang menjadi objek kajian kebudayaan.”
Selanjutnya, Prih Suharto menyampaikan beberapa contoh pengalamannya dalam melakukan kegiatan konservasi dan revitalisasi sastra lisan. Sebelumnya, Prih Suharto juga menegaskan bahwa sastra lisan yang akan dikonservasi dan direvitalisasi lebih ditekankan pada tuturan, baik dalam bentuk mantra, syair, maupun pantun. Contoh dari konservasi sastra lisan adalah konservasi pantun syair “Jawe” di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku; konservasi mantra tolak bala di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan; dan konservasi syair “Lego-Lego” di Pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam hal ini, mantra, syair, atau pun pantun tidak dapat dipisahkan dari ritual atau upacara adat karena semua itu seperti satu kesatuan yang melekat satu sama lainnya. Sebagai contoh, syair “Jawe” berada dalam ritual renovasi atap masjid, mantra tolak bala berada dalam ritual penghormatan leluhur, dan syair “Lego-Lego” berada dalam ritual sunnah hadah atau sunatan massal. Namun, peneliti atau pelaksana konservasi sastra lisan harus dapat berfokus atau menaruh perhatian lebih pada objek sastra lisan dibandingkan dengan hal-hal pendukung lain yang menjadi objek kajian kebudayaan di Direktorat Jenderal Kebudayaan. Itulah yang menyebabkan istilah konservasi sastra lisan lebih condong ke arah dokumentasi sehingga dokumentasi sastra lisan harus dapat terekam dengan baik.
Pada pelaksanaan revitalisasi sastra lisan, hal yang menjadi penekanan adalah pemodelan dan pembuatan aksi dari revitalisasi sastra itu sendiri. Pemodelan revitalisasi sastra lisan terdiri atas tiga jenis, yaitu revitalisasi berbasis masyarakat, sekolah, dan komunitas. Pemilihan model revitalisasi sastra lisan tentu saja bergantung pada situasi dan kondisi dari sastra lisan tersebut. Tidak ada pakem tertentu untuk jenis sastra lisan tertentu. Model mana saja diperbolehkan selama menunjang tujuan revitalisasi sastra lisan untuk menggiatkan sastra lisan di daerah tersebut. Aksi revitalisasi sastra lisan pun meliputi banyak sekali kegiatan yang dapat dipilih, mulai dari bengkel sastra, penyusunan buku antologi sastra, alih wahana, atau pertunjukan kesastraan. Dari beberapa aksi tersebut, aksi revitalisasi yang paling sering diadakan adalah pertunjukan kesastraan karena paling fleksibel dan relevan untuk berbagai daerah. Contoh dari revitalisasi sastra lisan yang sudah pernah dilakukan Badan Bahasa adalah revitalisasi tembang “Cigawiran” di Provinsi Jawa Barat, revitalisasi sastra lisan “Go’et” di Provinsi Nusa Tenggara Timur, revitalisasi sastra lisan “Dampol Siburuk” di Provinsi Sumatra Utara, dan revitalisasi sastra lisan “Dideng” di Provinsi Jambi.
Pertunjukan kesastraan yang dimaksud dalam aksi revitalisasi sastra lisan bukanlah sekadar pertunjukan biasa. Hal yang menjadi luar biasa pada pertunjukan kesastraan tersebut adalah adanya kehadiran perwakilan pemerintah daerah. Setelah menyaksikan pertunjukan kesastraan tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat melihat sendiri antusiasme warganya dalam melindungi sastra lisan daerahnya sehingga dukungan pemerintah daerah dapat tertuang dalam bentuk peraturan daerah atau kegiatan sejenis yang diselenggarakan rutin ke depannya. Itu karena kewajiban melindungi sastra daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Badan Bahasa selaku pembuat kebijakan kebahasaan dan kesastraan hanya mengoordinasikan kepada pemerintah daerah supaya mereka memiliki kesadaran dalam melakukan upaya pelindungan sastra daerah sebagai bagian dari warisan kekayaan takbenda bangsa Indonesia.(SB)