Bincang Sastra Bersama Sastrawan Daerah 3T Tahun 2020 Edisi III: Proses Kreatif Menulis Novel

Bincang Sastra Bersama Sastrawan Daerah 3T Tahun 2020 Edisi III: Proses Kreatif Menulis Novel

Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kembali melaksanakan seri gelar wicara daring yang dikenal dengan program Bincang Sastra Bersama Sastrawan Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) pada Rabu, 1 Juli 2020. Tema yang diangkat dalam Bincang Sastra Edisi III itu adalah “Proses Kreatif Menulis Novel“. Kegiatan yang berdurasi 2 (dua) jam itu dilaksanakan melalui platform Zoom Cloud Meetings dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Narasumber yang dihadirkan dalam Bincang Sastra Edisi III adalah Ferdinandus Moses Tempo dan Farizal Sikumbang. Ferdinandus Moses Tempo merupakan peneliti sastra di Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Farizal Sikumbang merupakan seorang sastrawan asal Aceh yang terpilih untuk mengikuti program residensi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yakni Pengiriman Sastrawan Berkarya ke Wilayah 3T Tahun 2020.

Kegiatan yang diikuti oleh 254 peserta dari berbagai wilayah itu dibuka secara resmi oleh Drs. Muh. Abdul Khak, M.Hum. selaku Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra. Dalam sambutannya, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra menyampaikan bahwa salah satu program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang paling terkenal adalah merdeka belajar.

“Jadi saya pikir, Bincang Sastra pagi ini juga bagian dari merdeka belajar itu. Cirinya adalah narasumbernya berganti-ganti dan pesertanya juga siapa saja boleh ikut. Tidak ada klasifikasi apa pun yang penting mendaftar,” ujar Abdul Khak.

Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra juga menyatakan bahwa setiap orang dapat memilih untuk memajukan dirinya dengan cara memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) memilih wilayah 3T sebagai wilayah residensi sastrawan karena merupakan daerah eksotis dengan aspek sosial dan budaya yang patut digali. Dengan dilaksanakannya program itu pula, wilayah 3T dapat diketahui oleh masyarakat luas melalui karya jurnalisme sastra yang akan ditulis oleh para sastrawan yang bertugas.

Pemaparan materi diawali oleh Ferdinandus Moses Tempo yang menyampaikan cara berproses kreatif di wilayah 3T, khususnya yang berkaitan dengan penulisan novel. Moses mengatakan bahwa alasan dalam menulis novel harus berangkat dari diri sendiri. Dalam menulis novel, penulis perlu membangun perasaan yang dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti berdiskusi, memperbanyak koleksi buku, membaca, melihat dan mempelajari kiprah para penulis, menonton film, serta mendengarkan musik.

Moses juga mengatakan bahwa penulisan novel diawali oleh ide. Ide dituangkan dalam bentuk penguasaan materi, baik alur, tokoh, latar, maupun tema. Kemudian dilakukan pula pencatatan, olah riset ide dengan mentransformasikan film atau lagu kepada diri, dan komunikasi batin melalui perenungan. Ketika ide tak lagi cukup, penulis dapat melakukan diskusi. Penulis perlu membangun mental filmis dengan memahami pergerakan alur dan konflik yang terjadi. Suatu novel dapat dikatakan berhasil ketika enak dibaca meskipun memiliki gagasan yang sederhana. Yang penting gagasan yang ada tidak miskin oleh penafsiran. Cara kerja prosa bukan lagi soal apa yang diceritakan, melainkan bagaimana caranya bercerita.

Strategi penulis 3T dalam berproses kreatif, menurut Moses, adalah karakter dan keberanian dalam bermain dengan tenggat waktu. Sastrawan memiliki cara sendiri untuk menangkap fenomena yang ada pada suatu wilayah. Berpikir merdeka sangat penting bagi penulis dengan tentunya tidak melampaui batasan yang disepakati oleh masyarakat. Selain itu, tantangan menulis di wilayah 3T yang mungkin dijumpai oleh sastrawan adalah isu lingkungan dan kontekstual eksistensialis.

Narasumber kedua, Farizal Sikumbang, menyampaikan teori dan trik dalam menulis. Ia mengatakan bahwa proses kreatif adalah suatu peristiwa penting yang tidak dapat dipisahkan dari penulisan. Proses kreatif yang dialami oleh penulis tidak jauh berbeda. Perbedaan yang mungkin terjadi hanya meliputi ruang dan waktu. Menurut Farizal, menulis adalah semacam rindu yang tak tuntas. Terdengar klise, tapi ada ketergantungan yang jika terlewatkan sehari saja seperti ada sesuatu yang hilang. Menulis dapat dikatakan sebagai utang rindu, yaitu sesuatu yang harus segera diselesaikan.

Farizal juga mengatakan bahwa pengalaman masa kecil dan pengalaman saat pendidikan juga membentuk karakter seorang penulis. Proses kreatif yang perlu dilalui dalam menulis novel adalah menangkap ide, mengembangkan tema, memilih genre, menyusun kerangka, memunculkan tokoh dan penokohan, menentukan latar, meramu konflik, menentukan akhir cerita, dan melakukan publikasi. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghidupkan ide dalam menulis novel, di antaranya dengan membaca, berekreasi, mengalami, melihat, mendengar, dan membayangkan.

Materi yang disampaikan oleh kedua narasumber disambut dengan antusias oleh peserta Bincang Sastra Edisi III. Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada para narasumber. Banyak peserta yang tertarik dengan penanaman kepercayaan diri dalam menulis karya sastra dan pelaksanaan program residensi di wilayah 3T. Informasi mengenai Pengiriman Sastrawan Berkarya ke Wilayah 3T dapat dilihat pada laman http://badanbahasa.kemdikbud.go.id. Kegiatan Bincang Sastra Edisi III diakhiri dengan doa bersama agar pandemi korona yang saat ini melanda dunia dapat segera berakhir.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa