Praktik dan Prinsip Dasar Penulisan Kritik Sastra
Dalam rangka menyambut kegiatan Sayembara Kritik Sastra Tahun 2020, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan kuliah daring dengan tema “Praktik dan Prinsip Dasar Kritik Sastra”. Melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) berusaha menggiatkan kritik sastra di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan jumlah produktivitas karya sastra di Indonesia yang tinggi tidak sebanding dengan jumlah kritik sastranya. Dengan kritik sastra, jumlah karya sastra yang banyak dapat terangkat sebagai sebuah hubungan sebab-akibat yang positif sehingga menjadi sebuah mata rantai yang tidak terpisahkan antara teks, penulis, dan masyarakat. Kuliah daring ini diadakan pada hari Kamis, 2 Juli 2020 pukul 09.00—12.00 WIB dengan menggunakan aplikasi daring dan tayang secara langsung pada akun YouTube Badan Bahasa, Kemdikbud. Pembicara dalam kuliah daring kali ini adalah Manneke Budiman dari Universitas Indonesia yang didampingi oleh Sastri Sunarti dari Badan Bahasa sebagai moderator.
Saat berbicara tentang kritik sastra, seorang kritikus harus mengetahui terlebih dahulu esensi atau konsep dari kritik sastra itu sendiri. Hal ini diperlukan sebagai fondasi awal dalam penulisan kritik sastra yang sesuai dengan kaidah sebagai bagian dari kegiatan Sayembara Kritik Sastra. Pada dasarnya, kritik sastra itu bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami karya sastra secara mendalam, khususnya hal yang belum terungkap dengan intensitas tinggi. Kritik sastra tidak hanya mencari informasi, tetapi merekonstruksi makna yang dibangun dari informasi yang ada dalam karya sastra. Kritik sastra sebisa mungkin mengungkapkan hal tersirat yang bernilai untuk dijelaskan kepada pembaca. Namun, hal bernilai itu merupakan sesuatu yang belum pernah dibahas atau diulas oleh kritikus lainnya. Dengan begitu, kritik sastra dapat dinilai berbobot karena menampilkan sisi lain dari sebuah karya sastra yang berbeda dari yang lainnya.
Meskipun demikian, kritikus dilarang untuk menghakimi karya sastra. Hal tersebut sama saja dengan menghancurkan karya sastra itu sendiri. Kritikus perlu menulis kritik sastra dengan kerendahan hati supaya hasil dari kritik sastra bukan menjelekkan karya sastra, melainkan lebih dapat menggali kekayaan atau kompleksitas karya sastra. Hal yang tidak kalah penting adalah penulisan kritik sastra jangan menyesatkan. Keintiman antara kritikus dengan penulis karya sastra pun perlu dibangun dalam tulisan kritik sastra sehingga maksud dan tujuan kritikus tersampaikan dengan baik. Di sisi lain, kritik sastra dapat memperpanjang usia karya sastra. Hal ini disebabkan setiap kritikus sastra selalu menampilkan atau menciptakan hal-hal baru dari suatu karya sastra sehingga karya sastra tersebut selalu tampil dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Panjang atau tidaknya usia karya sastra juga ditentukan dari jumlah kritik sastra. Semakin banyak kritik sastra, semakin panjang pula usia karya sastra. Sebaliknya, bila tidak ada kritik pada suatu karya sastra, karya sastra tersebut dapat dengan mudah hilang dari peredaran tanpa ada rekam jejak.
Kritik sastra dimulai dari tahap apresiasi. Tahap apresiasi berarti pembaca menilai kemasan dengan menampilkan unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah karya sastra. Penilaian pun lebih banyak didominasi oleh deskripsi dan eksplanasi. Biasanya, tahap apresiasi ini dilakukan oleh pelajar SMP dan SMA. Para pelajar baru diperkenalkan dengan karya sastra sehingga penilaian pelajar terhadap karya sastra itu hanya sebatas menilai kemasan yang tertulis tanpa kedalaman dan intensitas tinggi. Tahap apresiasi ini juga dikenal dengan resensi. Perbedaan resensi dengan kritik sastra adalah tingkat kedalaman pembahasannya.
Tahap berikutnya adalah pemberian tanggapan pada karya sastra. Tahap ini sudah dapat dikategorikan sebagai aktivitas kritik sastra. Akibat dari kemasan terhadap makna menjadi titik tolak kritik sastra. Hal ini dilakukan karena ada hal yang tidak diungkapkan secara jelas dalam karya sehingga pembaca dapat turut andil menciptakan kembali karya (re-kreasi) yang tidak terjadi terhadap pembacaan secara umum. Penciptaan kembali suatu hal baru yang tersimpan dalam karya sastra harus dapat diungkapkan dengan utuh, runut, dan jelas. Terlebih lagi, tidak ada format khusus dalam kritik sastra. Semua gagasan dalam penulisan kritik sastra harus saling berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain sehingga menjadi sebuah kesatuan yang dapat memudahkan pembaca dalam memahami maksud dari kritik sastra.
Dalam hal ini, Menneke Budiman mencoba menawarkan struktur kritik sastra untuk memudahkan penulisan kritik sastra. Struktur kritik sastra yang ditawarkan dimulai dari (1) perkenalan, (2) penjajagan, (3) pendalaman, hingga (4) refleksi. Perkenalan yang dimaksud adalah kritikus memperkenalkan terlebih dahulu karya sastra yang diulas, seperti apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana. Kemudian, kritikus dapat memulai penjajagan dengan membawa pembaca ke perjalanan menelusuri cerita dengan segala keunikan, keanehan, dan pesonanya. Setelah itu, pendalaman perlu dilakukan dengan cara memprovokasi pembaca untuk masuk lebih dalam ke hal-hal yang tidak tampak di permukaan cerita untuk menemukan hal-hal baru. Akhir dari penulisan kritik sastra dapat berupa refleksi dengan menawarkan pandangan atau komentar kritikusuntuk membantu pembaca memaknai pengalaman universal dalam kehidupan atau hal lain yang berhubungan dekat dengan pembaca. Semua hal tersebut harus dapat mengalir seperti air tanpa hambatan atau hal ganjil yang dapat menganggu pembaca dalam menangkap maksud dari penulisan kritik sastra.
Sementara itu, teori dalam kritik sastra belum tentu menerangi cahaya secara terang benderang dari kegelapan sebuah karya sastra. Teori hanyalah pendukung untuk menjadi rambu atau petunjuk jalan sehingga kompleksitas karya lebih terungkap dengan jelas. Hal yang perlu diingat adalah kritik sastra tidak perlu menampilkan kompleksitas teori karena itu bukanlah sebuah kritik sastra, melainkan lebih kepada kajian teori saja. Selain itu, hindari menggunakan deskripsi dan eksplanasi karena kedua hal tersebut hanya mengungkapkan kedangkalan. Kritik sastra justru harus dapat mendalami intensitas makna supaya karya lebih berbobot. Hal ini disebabkan tidak ada benar atau salah dalam kritik sastra. Hanya saja, kritik sastra itu dapat dikatakan berbobot atau tidak berbobot. Sebagai contoh, jika kritikus mengungkapkan hal yang sama dengan kritik sastra lain sebelumnya, kritik sastra tersebut menjadi tidak berbobot. Jangan pula terjebak dengan kritik atas kritik sastra karena itu dinamakan ulasan atau review. Kritik sastra yang baik adalah kritik yang mudah dipahami dan mengungkapkan hal yang belum diberikan kritikus sebelumnya. (SB)