Meskipun Berbeda Perspektif, Badan Bahasa dan LIPI Justru Saling Melengkapi Upaya Pelindungan Bahasa Melalui Kajian Vitalitas Bahas
Ada anggapan masyarakat awam bahwa tugas pengkajian vitalitas bahasa yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengembangan dan Pembinaan (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengalami tumpang tindih satu sama lain. Namun, hal yang tidak disadari oleh masyarakat awam adalah LIPI dan Badan Bahasa memiliki perspektif yang berbeda dalam pelaksanaan kajiannya sehingga anggapan tersebut tidaklah benar. Agar masyarakat lebih mengenal dan mendalami perspektif dalam melakukan kajian vitalitas bahasa, Badan Bahasa melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra menyelenggarakan Seri Diskusi Daring Pelindungan Bahasa Sesi IV dengan tema “Kajian Vitalitas Bahasa dalam Berbagai Perspektif”. Kegiatan Rembuk Bahasa tersebut diadakan pada Senin, 6 Juli 2020 melalui aplikasi daring dan ditayangkan secara langsung melalui akun YouTube Badan Bahasa, Kemendikbud. Pembicara diskusi daring tersebut adalah Wati Kurniawati dari Badan Bahasa dan Dwi Purwoko dari LIPI. Sementara itu, moderator kegiatan tersebut adalah Suladi dari Badan Bahasa.
Pemaparan pertama disampaikan oleh Dwi Purwoko dari LIPI. Dalam kesempatan tersebut, Dwi Purwoko membagikan pengalamannya dalam melakukan kajian vitalitas bahasa Pagu di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Pengalaman tersebut diperolehnya dengan berkolaborasi bersama dosen dari Universitas Indonesia, yaitu Multamia Lauder dan alm. Benny Hoed. Pelaksanaan kajian vitalitas bahasa Pagu dilakukan secara kualitatif melalui wawancara dan diskusi kelompok terpumpun (DKT) di lapangan. Meskipun kajian vitalitas bahasa Pagu menggunakan indikator dari UNESCO, hal lain yang lebih luas cakupannya pun tidak luput dari pengamatan. Mulai dari masalah nilai sosial, kebijakan politik setempat, peran sistem adat, hingga faktor ekonomi-budaya masyarakat. Semua hal yang berkaitan dengan pemakaian bahasa Pagu, khususnya faktor eksternal, digali secara mendalam untuk mengetahui akar permasalahan dan solusi dari permasalahan tersebut.
“Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari LIPI yang di dalamnya terdapat Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan, kajian vitalitas bahasa Pagu lebih berfokus pada konteks masyarakat dan budaya yang cakupannya lebih luas dibandingkan dengan ilmu bahasa itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa kajian vitalitas bahasa Pagu merupakan kajian kebijakan strategis bidang kebudayaan yang memuat permasalahan marginalisasi bahasa dan komunitas Pagu di Halmahera Utara. Hal itu terjadi karena bahasa erat kaitannya dengan masyarakat dan budaya adat sehingga berbagai faktor di luar bahasa juga penting dan menarik untuk didokumentasikan secara detail dan mendalam,” tutur Dwi Purwoko.
Berikutnya, Wati Kurniawati menjelaskan konsep kajian vitalitas bahasa secara umum, berbagai perspektif kajian vitalitas bahasa, dan berbagi pengalaman dalam melakukan kajian vitalitas bahasa Retta di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tengga Timur. Konsep umum yang perlu diketahui adalah kajian vitalitas bahasa yang dilakukan Badan Bahasa, Kemendikbud, lebih ditekankan pada penentuan status bahasa ke dalam beberapa tingkatan kategori mulai dari aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam, kritis, hingga punah. Beberapa tingkatan kategori itu ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif. Penentuan itulah yang membedakan kajian vitalitas bahasa antara Badan Bahasa dan lembaga lainnya, seperti UNESCO dan SIL. Selain itu, jangkauan penentuan status bahasanya juga berbeda sehingga tidak mengherankan apabila tingkatan status dan cara penggolongannya pun berbeda. Dalam hal ini, Badan Bahasa hanya berfokus pada penentuan status bahasa-bahasa di Indonesia, sedangkan UNESCO dan SIL, yang juga memiliki tingkatan status bahasa, memiliki jangkauan lebih luas pada bahasa-bahasa di dunia.
“Saat melakukan kajian vitalitas bahasa Retta di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, medan yang berat harus dilalui peneliti karena lokasinya yang jauh dari daerah perkotaan. Untuk sampai ke tempat penutur bahasa Retta di Desa Ternate Selatan dan Pura Selatan, peneliti harus naik perahu di laut lepas dengan tetap menjaga instrumen kegiatan, seperti kuesioner, panduan wawancara, hingga alat perekam supaya aman dan dapat digunakan selama kegiatan berlangsung. Pada tahap pengolahan data, isi kuesioner diolah menggunakan aplikasi SPSS untuk mengetahui angka indeks status bahasanya. Penghitungan secara kuantitatif tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil wawancara dengan penutur dan pemangku kepentingan setempat. Hasil yang diperoleh adalah bahasa Retta berstatus mengalami kemunduran sehingga direkomendasikan untuk dilakukan konservasi bahasa sebagai tindak lanjut kegiatannya,” jelas Wati Kurniawati.
Berdasarkan pemaparan pembicara dan berbagai respons dari peserta diskusi daring yang sangat antusias dan bersemangat dari awal hingga akhir sesi, dapat disimpulkan bahwa kajian vitalitas bahasa yang dilakukan Badan Bahasa dan LIPI memiliki perspektif yang berbeda dan tidak dapat dikatakan sebagai kajian yang tumpang tindih. Kajian Badan Bahasa lebih ditekankan pada perspektif mikro, sedangkan kajian LIPI lebih ditekankan pada perspektif makro. Keduanya justru saling melengkapi satu sama lain apabila dikolaborasikan sehingga kajian vitalitas bahasa, khususnya bahasa daerah, menjadi lebih komprehensif. Perbedaan perspektif tersebut harus disadari oleh masyarakat dan dijadikan penekanan sehingga tidak ada kajian vitalitas bahasa yang benar dan salah. Semua dikembalikan pada tujuan kajian serta peran dan fungsi instansi peneliti.(SB)