M. Aji Surya: “Gunakan Prinsip Man Jadda Wajada dalam Menulis”

M. Aji Surya: “Gunakan Prinsip Man Jadda Wajada dalam Menulis”

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra mengadakan kegiatan Diskusi Daring Bedah Buku Lockdown: Asa, Cinta, dan Zahira pada Rabu, 8 Juli 2020. Kegiatan tersebut diselenggarakan lintas negara melalui aplikasi Zoom dan dihadiri langsung oleh penulis buku, yaitu M. Aji Surya. Penulis novel yang tengah naik daun tersebut merupakan Wakil Duta Besar Indonesia untuk Mesir sehingga saat ini berada di Mesir.

M. Aji Surya merupakan seorang penulis yang cukup aktif dan telah menghasilkan banyak buku kontemporer serta beragam artikel di media massa. Novel yang diselesaikan dalam waktu dua bulan tersebut dibantu seorang penulis muda bernama Ahmad Mina RA yang hidup satu atap bersamanya di Kairo.

Diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut dipandu oleh Ganjar Harimansyah yang merupakan peneliti Badan Bahasa dan juga seorang penulis. Selain itu, yang paling menarik dari diskusi itu adalah hadirnya sosok penulis novel best seller Trilogi Negeri 5 Menara, yang tak lain adalah Ahmad Fuadi. Fuadi hadir sebagai narasumber dengan ditemani oleh Joesana Tjahjani, Dosen Program Studi Prancis, Universitas Indonesia. Selain dikenal sebagai dosen, Joesana juga dikenal sangat piawai dalam membedah karya sastra.

Fuadi dalam pembahasannya mengaku kagum dengan kecepatan penulis dalam menyelesaikan karya. Bagaimana tidak? Pria asal Sumatra Barat itu biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menulis, bahkan bisa satu hingga dua tahun.

“Saya sangat kagum dengan kecepatan penulis dalam menyelesaikan karyanya sebab bagi saya menulis itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, bisa bertahun-tahun. Bahkan, buku Negeri 5 Menara saya selesaikan dalam kurun waktu dua tahun,” tuturnya.

Fuadi menilai, ada hal menarik dalam penulisan novel tersebut. Pada saat dunia perbukuan menyerah dan merasa susah karena banyak pegawai bekerja di rumah sehingga pemasarannya menjadi agak sulit, penulis novel tersebut malah terus berkarya dengan cepat. Bahkan, novel tersebut diluncurkan secara daring sehingga mudah diakses oleh masyarakat di mana pun dan kapan pun tanpa perlu menungu untuk diterbitkan oleh percetakan.

“Cara baru mereka adalah mereka langsung menerbitkannya tanpa harus melewati editing, diterbitkan, dibukukan, tapi mereka menerbitkan versi daring di Google Play dan ini adalah waktu yang tepat untuk go digital,” tuturnya.

Lebih lanjut, Fuadi menuturkan bahwa penulis biasanya memiliki berbagai alasan untuk menunggu inspirasi dalam memunculkan ide menulis, tetapi kedua penulis tersebut malah mengejar inspirasi sehingga dapat bekerja dengan cepat.

“Biasanya seorang penulis itu memiliki alibi dalam menulis. Mereka kerap menunggu inspirasi dulu, tapi berbeda dengan penulis novel ini. Mereka yang mengejar inspirasi. Menulis bukan hanya masalah teknis kata-kata, tetapi menyiapkan fondasi, yakni nilai dalam penulisan. Ketika niat jelas dan kuat, tulisan itu akan mudah diselesaikan. Penulis buku ini memiliki fondasi yang kuat sehingga patut dijadikan contoh,” tegas Fuadi.

Pada akhir pembahasannya, Fuadi meninggalkan beberapa catatan. Pertama, ia menilai bahwa novel tersebut akan membawa pembaca ke semesta baru Zahira dan Bahir yang diilhami dunia nyata sehingga memerdekakan penulis. Kedua, ada karakter dan situasi yang dikenal akrab oleh penulis, seperti alumni pondok, perantau antarbangsa, tokoh bernama Bagas dan Yayan, perusahaan Bondowoso, dan badai pasir, yang memang gado-gado, tetapi asyik untuk dibaca. Ketiga, novel tersebut memuat tekstur budaya dan sejarah. Di sisi lain, novel tersebut tetap kekinian karena berisi isu terkini, seperti pandemi Covid-19 dan pemanfaatan media sosial Instagram dan Youtube. Keempat, waktu penyelesaian penulisan novel yang sangat cepat tentu berisiko seperti adanya struktur dan detail yang terlewat. Apa saja kendalanya tentu perlu diketahui bersama. Kelima, novel tersebut ditulis oleh dua orang. Hal itu adalah catatan yang menarik dari sosok Fuadi. Ia menuturkan bahwa jarang novel digarap oleh dua orang sehingga ia merasa penasaran bagaimana dua penulis tersebut membagi proses menulisnya.

“Biasanya novel sangat jarang ditulis oleh dua orang. Saya sangat penasaran bagaimana tulisan ini selesai dan bagaimana membagi kepenulisannya. Saya berharap, akan ada edisi cetak dari novel ini yang digarap lebih dalam dan lebih kuat sehingga ini akan menjadi karya yang luar biasa,” ungkap Fuadi dengan penasaran.

Hal senada juga diungkapkan Joesana. Ia menilai novel tersebut adalah novel baru yang sangat menarik dan mengandung nilai-nilai yang sangat luar biasa. Dalam novel tersebut ia melihat kematian adalah sesuatu yang pasti sehingga setiap manusia harus siap menghadapinya. Selama ini mungkin orang tidak terlalu sadar dengan kematian. Namun, karena adanya virus korona, kematian itu terasa makin dekat. Apalagi virus itu melanda hampir semua negara di dunia.

“Saya sangat kagum dengan novel ini. Ini adalah novel baru yang sangat menarik. Novel ini mengajarkan kita bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti dan setiap manusia harus siap dengan kematian yang kapan pun bisa datang. Selama ini mungkin orang kurang sadar bahwa kematian itu dekat, tapi virus ini membuat itu semua nyata dan semua negara mengalaminya,” tuturnya.

Selain itu, Joesana melihat ada nilai religius lain tentang hubungan antara manusia dan Tuhan yang selama ini kurang kuat. Namun, dalam novel tersebut digambarkan adanya hubungan yang dekat antara manusia dan Tuhan. Bahkan, novel tersebut menyadarkan manusia bahwa hubungan metafisik dengan Tuhan memang tidak terlihat, tetapi terasa.

Dalam kesempatan yang sama, Aji sebagai pembicara terakhir mengaku tidak menyangka bahwa novel yang ditulisnya akan mendunia. Bahkan, ia menyebutkan bahwa novelnya itu hanyalah novel abal-abal yang pertama kali ditulisnya. Namun, saat ini telah banyak yang mengundangnya dalam berbagai acara bedah buku.

“Saya tidak menyangka bahwa novel ini akan mendunia. Padahal, saya melihat ini hanyalah novel abal-abal saja yang pertama kali saya tulis, tetapi sekarang sudah mendunia. Kami merasa ciut juga karena banyak yang mengundang,” tuturnya sembari bercanda.

Ia mengakui bahwa dalam penulisannya ia kerap berkonsultasi kepada Ahmad Fuadi sebab dalam proses menulis ini ia merasa dikejar waktu. Ada hal yang menjadi kekhawatirannya, yakni lockdown akan selesai lebih dahulu dibandingkan dengan novel yang ditulisnya.

“Hal yang mendasar bagi saya untuk menyelesaikan tulisan ini adalah waktu. Saya khawatir jika lokcdown selesai, sedangkan tulisan saya belum rampung. Kalau saya tidak memulai, akan ada yang memulai. Maka dari itu, siapa cepat dia dapat,” ungkap Aji sembari tersenyum.

Menurutnya, novel yang diselesaikan dalam waktu dua bulan tersebut ditulis dengan memanfaatkan waktu bekerja dari rumah (BDR). Tulisan itu harus memiliki nilai unik sehingga dalam novel tersebut digambarkan bagaimana situasi menghadapi virus korona di negeri Arab yang berbeda dengan negara lain.

Hal yang menarik bagi Aji adalah adanya dorongan dari dalam diri bahwa menulis dapat membantu korban virus korona. Ia mengaku tidak mencari keuntungan dengan novelnya itu. Novel tersebut sengaja diluncurkan secara daring supaya orang-orang di seluruh dunia bisa mengaksesnya dan membelinya sesuai dengan mata uang di negara masing-masing.

Lebih lanjut, Aji mengungkapkan bahwa nilai yang terkandung dalam novel tersebut adalah kekuatan untuk menghadapi masa depan, yakni kekuatan pada saat orang tidak ingin kembali ke hari kemarin sehingga mereka tidak menjadi putus asa. Hidup selalu berputar sehingga harus dijalani dengan optimistis. Dengan demikian, hidup dapat bermanfaat bagi orang lain.

Pada akhir sesi, Aji memberikan trik menulis bagi pemula, yakni bersungguh-sungguh, konsisten, niat yang lurus, serta riset yang banyak.

Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya. Setiap orang pasti merasakan kesulitan dalam menulis. Jangan putus asa, banyaklah menulis, dan perbanyak riset,” ungkapnya. (DV)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa