Revitalisasi Sastra Lisan Melalui Alih Wahana Animasi dalam Industri Media Kreatif

Revitalisasi Sastra Lisan Melalui Alih Wahana Animasi dalam Industri Media Kreatif

Ada banyak aksi revitalisasi sastra lisan yang telah dilaksanakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Salah satu di antaranya adalah alih wahana. Namun, pada pelaksanaan alih wahana guna mendukung aksi revitalisasi sastra lisan ini membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, khususnya praktisi dari industri media kreatif. Sehubungan dengan itu, Badan Bahasa, dalam hal ini  Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, mencoba menghadirkan pelaku atau kreator animasi dalam industri media kreatif dalam Seri Diskusi Daring Pelindungan Sastra dengan tema "Revitalisasi Sastra Lisan dan Cerita Rakyat melalui Animasi". Pembicara dalam diskusi ini adalah Anto Lupus, konsultan media kreatif dan Daryl Wilson dari Asosiasi Industri Animasi Indonesia (Ainaki). Moderator diskusi daring adalah Tri Indira Satya Pancawardhana, salah satu pengembang teknologi pembelajaran dari Badan Bahasa. Diskusi daring bertajuk Rembuk Sastra ini dilaksanakan pada hari Senin, 20 Juli 2020 melalui aplikasi daring dan tayang langsung pada akun YouTube Badan Bahasa, Kemendikbud.

Pada awal diskusi, Anto Lupus menyampaikan peran dari industri kreatif dalam memajukan sastra lisan dengan wadah yang bagus dan menarik melalui animasi. Meskipun pembuatan animasi yang mengambil atau mengadopsi dari sastra lisan dan cerita rakyat bukanlah hal baru, belum ada animasi yang berhasil merebut hati masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh teknis pembuatan animasi itu sendiri tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kolaborasi antara animator dan peneliti sastra lisan dan cerita rakyat sangat penting. Tentu saja sinergi ini perlu diwujudkan dalam bentuk konkret berupa film atau video pendek sebagai pengembangan konten dari sastra lisan dan cerita rakyat yang terdokumentasikan. Hendaknya sastra lisan dan cerita rakyat tersebut tidak terhenti pada tahap dokumentasi. Sebisa mungkin sastra lisan dan cerita rakyat juga dialihwahanakan ke dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah bentuk animasi, sebagai bagian dari upaya pelindungan sastra yang bernama revitalisasi sastra. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengenalkan generasi muda terhadap sastra lisan dan cerita rakyat yang khas di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, pengalihwahanaan sastra lisan dan cerita rakyat ke dalam animasi atau bentuk menarik lainnya juga dapat memperpanjang hidup sastra lisan dan cerita rakyat itu sendiri di masyarakat.

Daryl Wilson dari Ainaki turut menambahkan penjelasan terkait dengan proses pembuatan animasi yang berhubungan dengan sastra lisan dan cerita rakyat. Proses pembuatan animasi ini  membutuhkan perhatian lebih, khusus  dalam hal perencanaan, karena sangat menentukan hasil animasi yang akan dibuat. Tanpa perencanaan yang matang, proses eksekusi animasi bakal kurang maksimal dan hasilnya pun menjadi tidak optimal. Peneliti sastra lisan dan cerita rakyat perlu mematangkan konsep awal dan hasil yang diharapkan dengan berbagai hal teknis lainnya yang mengikuti proses pembuatan animasi. Mulai dari waktu pengerjaan, durasi film atau video animasi, pesan yang hendak disampaikan, penyesuaian cerita, hingga media distribusi. Semuanya itu  sangat menentukan teknis pelaksanaan lainnya dalam pembuatan animasi. Kerja besar ini perlu juga mendapat dukungan penuh, baik instansi maupun pelaku animasi atau kreator supaya upaya revitalisasi sastra lisan dapat terealisasikan dengan baik.

Dukungan dari instansi pemerintah biasanya memiliki beberapa kendala yang bertabrakan dengan proses ideal pembuatan animasi pada umumnya. Sebagai contoh, instansi pemerintah memiliki kecenderungan hanya mempunyai waktu yang relatif singkat dalam melaksanakan alih wahana. Di satu sisi   pembuatan animasi yang ideal itu biasanya tidak dapat dikerjakan dalam waktu singkat karena ada beberapa hal dalam pembuatan animasi yang harus disesuaikan. Akan tetapi, hal tersebut hedaknya tidak  dijadikan sebagai masalah yang besar selama komunikasi antara peneliti sastra lisan dan cerita rakyat dengan pelaku animasi berjalan dengan baik, khususnya dalam hal pendanaan, hasil animasi juga masih dapat dimaksimalkan sesuai dengan kebutuhan. Hal yang terpenting dari semua itu, sebisa mungkin sudut pandang dalam pembuatan animasi yang mengadopsi dari sastra lisan dan cerita rakyat ini harus berdasarkan sudut pandang sasaran atau penonton yang dalam hal ini adalah masyarakat. Jika pembuatan animasi benar-benar mengedepankan sudut pandang masyarakat, seharusnya hasil animasi dari sastra lisan dan cerita rakyat dapat diterima dengan baik pula oleh masyarakat.

Hal yang terkadang luput, baik dari pihak peneliti sastra lisan dan cerita rakyat maupun kreator animasi, pada umumnya adalah sudut pandang animasi masih berkutat dari satu sisi pembuat saja. Hal tersebut membuat hasil animasi menjadi kurang menarik yang pada akhirnya menjadi kurang berterima di masyarakat. Memang  masalah tersebut tidak bisa dipungkiri disebabkan oleh terlalu spesifiknya atau terpakunya, baik peneliti sastra lisan dan cerita rakyat maupun kreator animasi, terhadap tema atau topik. Padahal, tema atau topik yang terlalu spesifik terkadang secara tidak langsung juga turut mematikan kreativitas. Peneliti sastra lisan dan cerita rakyat serta kreator animasi harus luwes dalam menggarap animasi. Salah satu caranya adalah membuat universal cerita supaya tidak terlalu spesifik sehingga hal-hal teknis lain menjadi terhambat. Misalnya, bajunya atau bentuk rumahnya benar-benar harus sesuai dengan fakta walaupun dalam sastra lisan dan cerita rakyat seringkali hal-hal teknis seperti itu tidak disebutkan secara terperinci.

Karya animasi yang mendunia, seperti Kung Fu Panda, Moana, hingga Hercules, dapat ditiru sebagai gambaran pembuatan animasi dari sastra lisan dan cerita rakyat yang dapat berterima di masyarakat dengan membuat penyesuaian yang universal. Penyesuaian universal yang dimaksud dalam hal ini tidak berarti mengubah cerita, tetapi lebih  pada  unsur pendukung di luar cerita yang disesuaikan. Isi cerita sebisa mungkin diupayakan mirip dengan aslinya atau bisa juga hanya mempertahankan kandungan isi cerita atau pesan dari sastra lisan dan cerita rakyatnya. Penyebutan nama tempat atau nama tokoh juga dapat dibuat universal supaya tidak memunculkan pertentangan di kalangan   masyarakat di kemudian hari. Intinya, selama memiliki konsep yang matang dan adanya kolaborasi dari industri media kreatif serta pendanaan yang mencukupi, animasi tersebut dapat diterima masyarakat sehingga sastra lisan serta cerita rakyat terlindungi dengan baik dan terus hidup dalam masyarakat walaupun dalam dunia yang berbeda.  (SB)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa