Balai Bahasa Provisi Riau Taja Kopi dan Literasi

Balai Bahasa Provisi Riau Taja Kopi dan Literasi

PEKANBARU-Prestasi literasi Riau tertinggi dari 34 provinsi di Indonesia. Prestasi ini mengalahkan DKI Jakarta dan Yogyakarta. Ini hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2018. Jadi, rendahnya hasil literasi di Indonesia tidak seburuk peringkat negara Indonesia secara keseluruhan, yaitu pada angka 0,001 persen.

“Riau boleh disebut sebagai daerah yang sudah melaksanakan praktik literasi menggembirakan meskipun perlu terus ditingkatkan. Indikator literasi yang baik tampak pada saat orang membaca dan memahami, kemudian mampu melaksanakan apa yang dibaca,” ungkap pemerhati bahasa di Balai Bahasa Provinsi Riau pada saat memaparkan materinya dalam acara Kopi dan Literasi yang ditaja Balai Bahasa Provinsi Riau di Kong Djie Coffee, Pekanbaru, pada Selasa (1/9).

Latar belakang acara yang ditaja Balai Bahasa Provinsi Riau itu berawal dari bagaimana cara meningkatkan minat masyarakat terhadap berliterasi yang menjadi perhatian tersendiri dari pihak Balai Bahasa Provinsi Riau. Atas dasar itu, Balai Bahasa Provinsi Riau bekerja sama dengan Lembaga Adat Melayu Riau, Majalah Sagang, dan Majalah Be untuk menggelar kegiatan Kopi dan Literasi.

Kegiatan yang ditaja dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2020 dikemas dalam kegiatan Kopi dan Literasi bertema “Bahasa Penguat Sastra dan Budaya”. Turut hadir pada acara itu Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau yang baru, Drs. Muhammad Muis, M.Hum. dan sejumlah narasumber, yaitu pemerhati bahasa dari Balai Bahasa Provinsi Riau, Drs. Songgo Siruah, M.Hum.; Ketua Dewan Kehormatan Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau), Datuk H. Al Azhar; Direktur Yayasan Sagang, Kazzaini Ks; dan perwakilan dari Salamah Publishing, Siti Salmah. Kegiatan itu dimoderatori oleh Dr. Fatmawati Adnan, M.Pd. dari Balai Bahasa Provinsi Riau.

Menurut Songgo, tujuan dari kegiatan Kopi dan Literasi ini adalah untuk menyatukan pengguna bahasa Indonesia dari berbagai ragam, aliran, dan generasi. Dengan demikian, akan timbul sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia.

“Bahasa Indonesia digunakan di berbagai tempat, termasuk di ruang publik. Untuk meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, diperlukan adanya upaya kuat untuk menata dan membangun kembali karakter bangsa dalam hal berbahasa Indonesia. Ini tentu perlu keterlibatan pemerintah dan dukungan dari masyarakat,” kata Songgo.

Songgo juga menjelaskan bahwa media cetak, media daring, dan ruang publik lain dapat diakses oleh siapa pun untuk menjamin kebebasan beraktivitas. Untuk itu, ruang publik juga harus dibuat tanggap terhadap keadaan sehingga mampu memenuhi kebutuhan warga yang terwujud dalam desain fisik dan pengelolaannya. Selain itu, ruang publik harus dibuat bermanfaat bagi pengguna, terutama untuk menghubungkan kehidupan antara mereka dan dunia yang lebih luas,” jelas Songgo.

Sejumlah pembicara tampil dengan kupasan berbeda. Songgo bicara soal bahasa dalam berliterasi, Al azhar melihat literasi dari sudut pandang budaya, Kazzaini Ks mengupas bagaimana membangkitkan semangat berlitersi kalangan muda dan menghidupkan kembali literasi media cetak, sedangkan Siti Salmah berbagi pengalaman tentang kegiatan beriterasi, sastra, dan gerakan bersama.

Siti Salmah dalam materinya juga menyebutkan bahwa budaya literasi bisa dibangun dari lingkungan keluarga dan masyarakat. “Ini bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendorong putra-putrinya membaca buku. Bahkan, orang tua bisa mendongeng sebelum tidur. Untuk itu, membeli buku menjadi kebutuhan primer untuk membuat perpustakaan keluarga,” kata Siti.  

Selain itu, semangat berliterasi bisa ditanamkan dengan mengoptimalkan peran perpustakaan daerah dan lembaga-lembaga pendukung. Upaya lain yang juga dapat dilakukan, antara lain, meliputi penguatan komunitas-komunitas literasi di masyarakat, pembuatan kegiatan menarik, seperti lomba menulis; lomba baca puisi; lomba bercerita; dan diskusi buku, serta penerbitan buku.

Hadirkan Musik Jalanan

Sementara itu, ketua panitia, Irwanto, menambahkan bahwa budaya literasi bisa didefinisikan sebagai kemampuan setiap orang untuk berpikir cerdas, bersikap peka (berempati) dan jeli, mau belajar dan berbudaya, serta mampu membaca lingkungan dan mengaktualisasikannya dalam tulisan atau karya.

Dalam acara itu diundang sejumlah pihak sebagai peserta, seperti mahasiswa, anggota asosiasi wartawan cetak dan daring, anggota organisasi penulis, sastrawan, perwakilan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, dan perwakilan Dinas Pendidikan Provinsi Riau.

Pihak penyelenggara juga menampilkan musik jalanan, pembacaan puisi, dan teater sebagai hiburan. Selain itu, penyelenggara menyediakan hadiah lawang bagi peserta yang aktif dalam diskusi tersebut. Pada akhir acara, pihak penyelenggara memberikan cendera mata kepada narasumber dan moderator. (rls)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa