Bahasa Ibu Terancam Punah, Generasi Muda Jangan Sampai Lengah
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki beragam suku bangsa. Hal itu membuat penduduk Indonesia memiliki berbagai macam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Keragaman bahasa yang digunakan membuat Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan bahasa terbanyak di dunia. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, terdapat 718 bahasa yang ada di Indonesia. Dari jumlah itu, hampir 90 persen berada di wilayah timur Indonesia: 428 di Papua, 80 di Maluku, dan 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi.
Hasil kajian kebahasaan yang dilakukan oleh Badan Bahasa setiap tahun menunjukkan adanya kekhawatiran besar yang melanda bangsa ini, yakni terdapat delapan bahasa dikategorikan punah, lima bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah), dan 21 bahasa berstatus aman. Hal tersebut harus disikapi dengan bijak agar warisan budaya tak benda ini tidak hilang perlahan ditelan masa.
Menyikapi hal tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan Gelar Wicara dan Penampilan Tunas Bahasa Ibu dalam rangkaian kegiatan Festival Pemertahanan Bahasa Ibu 2021 dengan tema "Bahasa Daerah dan Industri Kreatif” pada Senin, 22 Februari 2021. Acara ini berlangsung secara virtual melalui aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di kanal YouTube Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kegiatan tersebut adalah representasi dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO setiap tanggal 21 Februari. Penetapan ini dianggap penting karena dapat menjadi tonggak kesadaran suatu bangsa untuk menjaga bahasa ibunya. Isu ini dinilai sangat penting mengingat banyak bahasa lokal di dunia yang mulai punah. Diperkirakan sekitar 3.000 bahasa lokal akan punah di akhir abad ini. Hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia saat ini yang masih akan eksis pada tahun 2100 nanti.
Acara yang dipandu oleh Akbar Renaldy dan Rima Budiarti (Terbaik I Duta Bahasa Nasional 2020) ini menghadirkan para pelestari bahasa daerah sekaligus pelaku industri kreatif, yaitu Wahyu Agung Prasetyo (Ravacana Films), Daryl Wilson (Asosiasi Industri Animasi Indonesia), Anggi Auliyani Suharja (Komunitas Arkais Sunda), Desy Genoveva (artis), dan Ridwan Maulana (Writing Tradition Project) serta Andre Sinaga (Kompas TV) sebagai moderator gelar wicara.
Selain Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz beserta pejabat eselon di lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, acara tahunan tersebut juga dihadiri secara daring oleh Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, dan Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia beserta wakilnya. Seperti tahun sebelumnya, penampilan Tunas Bahasa Ibu dimeriahkan oleh penampilan kesenian dan pertunjukan berbahasa daerah dari Sanggar Ananda, Kelompok Teater Pojok, dan Deri Firman.
Dalam laporannya, Dora Amalia selaku pelaksana tugas Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra menyebutkan bahwa Festival Pemertahanan Bahasa Ibu 2021 juga diselenggarakan oleh 30 UPT balai dan kantor bahasa di setiap provinsi di Indonesia dengan menggelar berbagai kegiatan di sepanjang bulan Februari, mulai dari lomba berbalas pantun, peluncuran kamus, bedah buku, gelar wicara secara daring, dan sebagainya. Dora juga berharap kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat bagi masyarakat, serta memotivasi masyarakat untuk turut aktif melestarikan bahasa daerah agar terhindar dari kepunahan.
Dalam kesempatan yang sama, Aminudin Aziz selaku Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada pembukaan kegiatan tersebut juga berterima kasih dan bersyukur atas terlaksananya kegiatan. Ia menyampaikan dukungan terhadap ajakan UNESCO untuk mengampanyekan bahasa ibu dalam pembelajaran terutama di kelas-kelas awal. Anjuran tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa siswa lebih mudah berkomunikasi dan memahami pelajaran serta menyampaikan pesan dalam bahasa ibunya.
“Saya mendukung ajakan UNESCO untuk mengampanyekan bahasa ibu untuk pembelajaran terutama di kelas-kelas awal. Meskipun ini sulit dilakukan di perkotaan, namun di pedesaan bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk meningkatkan kemampuan nalar siswa yang selama ini daya nalar kritis siswa masih rendah menurut survei PISA,” tuturnya.
Lebih lanjut, menurut Aminudin, bahasa daerah akan tetap lestari manakala masih digunakan oleh penuturnya. Itu artinya bahasa tersebut masih memiliki sifat adaptif terhadap perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Demi mewujudkan harapan tersebut, Badan Bahasa saat ini menyusun langkah strategis untuk melindungi bahasa daerah dengan berfokus kepada upaya konservasi dan revitalisasi bahasa dan secara aktif melibatkan seluruh elemen masyarakat yang dapat melestarikan bahasa daerah. Selain itu, Badan Bahasa juga merancang gerakan menulis karya dalam bahasa daerah sebagai bentuk pengayaan literasi serta mengutamakan dan memanfaatkan media digital dengan pertimbangan media tersebut dekat dengan dunia anak muda yang diharapkan mampu berperan aktif dalam melestarikan bahasa daerah.
Di akhir sambutannya, Aminudin juga menyampaikan pentingnya bahasa ibu untuk dilestarikan. “Saya mengajak seluruh masyarakat untuk turut aktif melestarikan bahasa ibu karena bahasa ibulah yang membentuk rasa, emosi, nalar, dan etika kita sejak dini yang menjadi dasar pertumbuhan berikutnya,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Arief Rahman. Menurutnya penggunaan bahasa ibu adalah bentuk diseminasi kebudayaan dengan keberagamannya. Bahasa ibu adalah sebuah aset pencapaian dalam bidang pendidikan. Tidak hanya itu, menurutnya bahasa ibu tidak hanya sebagai alat pendidikan tetapi juga sarana pendidikan dalam mempertahankan bangsa.
Di akhir sambutannya, Arief mengajak masyarakat untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dalam menjaga bahasa daerah. “Mari kita jaga bahasa daerah kita melalui apapun medianya karena keberagaman adalah bentuk kekayaan budaya. Akan sangat memprihatinkan jika ada satu bahasa yang punah. Perlu saya sampaikan kepada masyarakat bahwa inovasi dan kreativitas tidak hanya dari pemerintah, juga semua lini masyarakat. Kunci belajar sastra dan budaya adalah di bahasa. Jangan sampai bahasa kita punah,” tegas Arief.
Dalam sesi gelar wicara, Wahyu Agung Prasetyo mengemukakan alasannya membuat film berbahasa daerah adalah karena ada pesan yang tidak dapat tersampaikan jika ia dan rekannya menggunakan bahasa lain, bahkan bahasa Indonesia, ketika membuat film dengan latar budaya daerah. “Dalam kehidupan sehari-hari saya dan rekan-rekan saya menggunakan bahasa Jawa. Ketika film itu dibuat dengan bahasa lain sementara kejadiannya ada di Jawa, pesannya tidak sampai. Saya ingin berkarya natural. Indonesia kan bukan Jakarta saja. Banyak kekayaan lainnya dengan ragam masing-masing dan saya bangga dengan kekayaan tersebut, khususnya bahasa ibu saya,” ungkapnya sambil tersenyum.
Sementara dari Asosiasi Industri Animasi Indonesia, Daryl Wilson menuturkan bahasa daerah dalam sebuah film animasi berarti berbicara tentang karakter. Karakter itulah yang akan menggambarkan suatu daerah. Karakter tersebut secara langsung telah mempromosikan suatu daerah kepada masyarakat luas. Daryl mengajak Badan Bahasa untuk bisa mengembangkan potensi film animasi dalam pelestarian bahasa daerah. Mengangkat suatu daerah dalam sebuah film berarti ikut meningkatkan daya tarik masyarakat untuk mempelajarinya.
Serupa dengan hal tersebut, Ridwan Maulana melakukan pelestarian aksara daerah melalui teknologi. Hal ini dilandasi keprihatinannya terhadap aksara yang mulai kurang diperhatikan. Padahal menurutnya aksara adalah sarana untuk menjaga bahasa daerah. Selama ini pihaknya mengumpulkan aksara melalui riset literatur dan belum terjun langsung untuk mencari aksara tersebut ke berbagai daerah karena keterbatasan biaya. “Saya sangat prihatin dengan aksara yang kurang diperhatikan sehingga perlahan akan hilang. Hal itulah yang mendorong saya untuk mengabadikan aksara ke dalam gawai,” ungkapnya.
Kekhawatiran yang sama juga dirasakan Anggi Auliyani Suharja. Anggi melihat banyak bahasa yang terancam punah terjadi karena rendahnya sikap positif anak muda terhadap bahasa daerah. Anggi melalui Komunitas Arkais Sunda turut berupaya melestarikan bahasa daerah lewat karya dan berbagai produk yang memperkenalkan kata-kata arkais dari bahasa Sunda yang sudah tidak dikenal masyarakat. Harapannya masyarakat akan lebih mengenal kearifan dan nilai-nilai di dalamnya yang sekarang mulai pudar.
Selain itu, Anggi juga memotivasi para generasi muda untuk bergabung dengan komunitas-komunitas yang dapat menghidupkan kembali bahasa daerah. Anggi juga berharap akan terus konsisten dalam menjalankan misi tersebut sehingga hasilnya dapat dipetik hingga anak cucu nanti.
Desy Genoveva juga menuturkan hal serupa. Desy merasa bangga dengan gaya berbicaranya yang ngapak. Hal itu diakui menjadi daya tarik tersendiri baginya. “Saya menyukai komedi. Ketika saya menggunakan dialek ngapak, banyak yang tertawa, dan banyak yang tertarik mendengar saya sehingga tertarik juga untuk mempelajari bahasa ngapak,” ungkapnya.
Desy mengaku kebiasaan dan kecintaan menggunakan dialek ngapak menjadi ladang rezeki baginya. Ia kerap diundang di berbagai acara. Desy mengaku tidak pernah malu menggunakan dialek ngapak.
“Orang-orang mengundang saya dan berpesan, ‘Des, jangan lupa pakai bahasa ngapak yo!’,“ tambahnya dengan semangat.
Di akhir diskusi, Desy yang berasal dari Cilacap, Jawa Tengah ini mengajak generasi muda untuk tidak malu berbahasa daerah dan tidak melupakan bahasa ibu meski sudah banyak mengenal bahasa lain. Selain itu, Desy juga mengajak generasi muda untuk membuat karya dalam bahasa daerah di berbagai platform media sosial seperti yang telah ia lakukan. (DV)