Penghargaan bagi Tokoh Kebahasaan pada Awal Perjuangan Indonesia
“Indonesia didirikan dalam keberagaman: suku, agama, ras, dan bahasa. Akan tetapi, para pejuang dan pendahulu kita sangat menyadari bahwa keberagaman yang ada di sekeliling mereka adalah kekuatan yang kemudian dirajut dalam satu tekad untuk membawanya ke dalam satu kata, yakni merdeka!”
Demikian disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—atau lebih dikenal sebagai Badan Bahasa—Kemendikbud, Prof. E. Aminudin Aziz, pada saat memberikan sambutan dalam acara webinar yang digagas Balai Bahasa Provinsi Sumatra Utara pada Rabu, 23 Februari lalu yang bertajuk “Pengusulan Sanusi Pane Menjadi Pahlawan Nasional”. Webinar tersebut diikuti sejumlah pemangku kepentingan di Sumatra Utara, baik tokoh di lingkungan pemerintahan maupun tokoh masyarakat atau budayawan setempat.
Menurut Aminudin, keberagaman di satu sisi bisa memunculkan potensi disintegrasi dan di sisi lainnya bisa menjadi kekuatan. Pada saat itulah para pejuang kita terdahulu bertekad untuk menjadikan keberagaman sebagai kekuatan baru, yang salah satu unsurnya adalah bahasa.
Bagaimanapun, bangsa Indonesia dan keindonesiaan kita lahir dari sebuah situasi sebagai bangsa terjajah. Secara nyata, keindonesian kita pun didirikan dan dibangun dari jerih payah perjuangan untuk membebaskan diri dari keterpurukan dan kehinaan masyarakat yang terjajah. Hal itu kemudian berhasil mewujud dalam satu ikatan yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kita semakin menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu, kalau bukan satu-satunya, yang bisa menyatukan rasa dan mengukuhkan hakikat keindonesian kita. Melalui bahasa, sekat-sekat perbedaan bisa dimasuki sebab dengan bahasa, kita bisa melakukan pertukaran pikiran dan memperoleh pemahaman ketika ada elemen masyarakat kita yang telah menipis rasa keindonesiannya itu,” tegas Aminudin.
Dikatakannya pula bahwa lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928 diawali dengan serangkaian perdebatan sejak beberapa tahun sebelumnya. Namun, karena semua pihak menyadari akan pentingnya perjuangan bagi masa depan, akhirnya disepakati penyebutan bahasa Indonesia.
“Pada Kongres Pemuda Pertama Tahun 1926 sudah terjadi diskusi untuk menentukan pilihan dan nama bahasa yang akan digunakan sebagai media pemersatu dalam perjuangan itu. Bahasa Melayu menjadi pilihan para pemuda saat itu untuk dijadikan sebagai bahasa pengantar. Namun, masalah penamaan bahasa itu belum betul-betul disepakati para peserta kongres. Baru kemudian pada saat deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di Kongres Pemuda Kedua disepakati bahwa nama bahasa yang diambil dan bersumber dari bahasa Melayu itu adalah bahasa Indonesia,” ungkap Aminudin.
Perdebatan para pemuda pada masa itu untuk menentukan nama bahasa Indonesia memang unik dan sangat mencerahkan. Usulan Mohammad Yamin yang bersikukuh untuk menggunakan nama bahasa Melayu dan kemudian sepertinya mendapat dukungan Djamaloedin mendapat respons kritis dari M. Tabrani yang kemudian didukung oleh Sanusi Pane. Kedua pemuda tersebut lebih berkeinginan untuk memberi nama bahasa baru itu dengan bahasa Indonesia, yang kemudian disetujui oleh peserta kongres lainnya. Catatan perdebatan sengit yang mencerahkan itu tertuang, misalnya, di dalam tulisan M. Tabrani pada tahun 1979, yaitu dalam bentuk autobiografi berjudul Anak Nakal Banyak Akal yang diterbitkan oleh Aqua Press di Bandung.
“Kalau kita membaca catatan sejarah tadi, maka kita sekurang-kurangnya, bisa menemukan dua hal penting dalam perjuangan bahasa Indonesia di awal perkembangannya. Pertama, bahasa Indonesia adalah nama yang benar-benar baru dipakai saat Kongres Pemuda Kedua. Ia lahir dari ketiadaan nama untuk sebuah wujud yang nyata di antara para penutur bahasa saat itu, yang secara jelas menggunakan sebuah bahasa yang sudah bernama bahasa Melayu. Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar saat itu, sebagaimana saya sebutkan tadi, muncul di tengah-tengah keragaman bahasa masyarakat yang tengah berjuang memerdekakan diri. Kalaulah bukan karena kebesaran jiwa para pemuda saat itu, dan kalau hanya mengedepankan sentimen etnis dan mayoritas, maka kita patut menduga bahwa pilihan bahasa dan penamaan terhadap bahasa baru itu tidak akan tercapai. Walaupun akhirnya mungkin tercapai kesepakatan, bisa saja ada pihak yang kemudian merasa ‘kalah’. Untungnya, hal itu tidak terjadi sebab para pemuda lebih mengedepankan kepentingan yang jauh lebih besar daripada hanya kepentingan etnis atau penutur bahasa mayoritas. Dalam kaitan ini, gagasan ‘si anak nakal banyak akal’ itu patut diacungi jempol,” ungkap Aminudin.
Ia menambahkan, “Kedua, perjuangan untuk membesarkan dan menghidup-hidupkan bahasa yang baru itu tentu tidaklah selesai pada saat dideklarasikan. Pernyataan melalui Sumpah Pemuda adalah pernyataan yang sangat politis untuk menopang kekuatan dan menyulut api perjuangan. Akan tetapi, kelanjutan dari perjuangan harus terus dikobarkan, khususnya untuk membangun tatanan yang kokoh tentang bahasa baru itu. Di sinilah gagasan cerdas dari pemuda asal Sumatera bernama Sanusi Pane menjadi sangat sentral. Sanusi Pane menggagas pembentukan Instituut Bahasa Indonesia yang ia bayangkan akan menjadi penjaga marwah perkembangan bahasa perjuangan ini. Pikiran dan karya yang dihasilkan oleh Sanusi Pane tampak melampaui batas-batas kesukuannya dan juga telah melewati ruang dan waktu yang ia alami. Gagasan untuk pelembagaan bahasa ini terwujud secara formal sejak awal kemerdekaan dengan berbagai nama. Bagaimanapun, keberadaan Badan Bahasa yang saya pimpin saat ini merupakan kelanjutan dari warisan pemikiran Sanusi Pane tersebut. Dengan demikian, kedua tokoh ‘kebahasaan’ yang pada awal masa perjuangan menemukan bahasa Indonesia dan pelembagaannya patut mendapat penghargaan yang layak dari kita sebagai penerus perjuangan mereka.”
Pada kesempatan tersebut, Aminudin juga menjelaskan keberadaan dan peran lembaga yang dipimpinnya. Dijelaskannya bahwa Badan Bahasa adalah lembaga yang diberi mandat konstitusional untuk merajut keindonesiaan sebagaimana yang secara singkat telah dipaparkan. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan secara jelas dinyatakan bahwa lembaga ini memiliki tugas utama, yaitu (1) melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Indonesia (Pasal 41); (2) melaksanakan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam hal bahasa daerah (Pasal 42); dan (3) melakanakan tugas pemerintah dalam koordinasi peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional (Pasal 44).
“Secara sistemik dan programatik, kami menyelenggarakan tugas dan fungsi-fungsi itu, yang tentu saja menjadi wujud keberlanjutan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Saat ini kami tengah berada pada sebuah tahap ketika kami harus melakukan peninjauan ulang atau mereviu dan merefleksi gerak langkah dan kiprah kami itu supaya keberadaan Badan Bahasa benar-benar semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Arah kebijakan yang kami kembangkan ditujukan untuk mewujudkan Badan Bahasa yang lebih bermartabat dan bermanfaat. Ukuran kemartabatan dan kebermanfaatan itu, salah satunya, disajikan dalam bentuk semakin luasnya jenis pelayanan yang akan diberikan oleh Badan Bahasa,” tutur Aminudin.
Pada bagian akhir sambutannya Aminudin mengajak para pemangku kepentingan di Sumatra Utara untuk bersama-sama merumuskan langkah terbaik mengenai apa yang dapat dilakukan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada para pejuang kebahasaan yang telah menorehkan jasanya untuk kemerdaan dan pembangunan bangsa ini.