Webinar Nasional Inovasi NTT: Peran Bahasa Ibu dalam Meningkatkan Pendidikan

Webinar Nasional Inovasi NTT: Peran Bahasa Ibu dalam Meningkatkan Pendidikan

“Dari beberapa laporan penelitian tentang prestasi belajar siswa di berbagai belahan dunia dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa ibu berkontribusi sangat positif terhadap pencapaian target atau hasil belajar siswa.”

Demikian dikemukakan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau lazim disebut Badan Bahasa, Prof. E. Aminudin Aziz, dalam acara Webinar Nasional Inovasi NTT pada Rabu, 24 Februari lalu. Aminudin merujuk hasil laporan yang dikeluarkan oleh UNESCO yang melakukan kajian di berbagai negara. Kemudian, UNESCO mengampanyekan penggunaan bahasa ibu untuk kegiatan pembelajaran, terutama di kelas-kelas awal.

“Anjuran UNESCO ini sangat beralasan,” ucapnya, “sebab siswa di kelas-kelas awal pasti akan lebih mudah berkomunikasi dan memahami pelajaran andai kata disampaikan dalam bahasa ibunya.”

Meskipun demikian, praktiknya tentu tidak mudah, apalagi dengan kondisi keberagaman bahasa yang sangat tinggi seperti di Indonesia. Misalnya, walaupun guru mampu menyampaikan pelajaran dengan menggunakan bahasa ibu, bagaimana dengan keberagaman bahasa ibu para siswa yang ditemukan di sebuah kelas? Di daerah perkotaan mungkin tampak sulit untuk menerapkan anjuran tersebut. Berbeda halnya dengan di perdesaan. Cara seperti itu bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Rendahnya daya nalar dan tingat kekritisan berpikir siswa sebagaimana ditunjukkan oleh survei PISA, misalnya, dapat ditingkatkan melalui proses pembelajaran yang menggunakan bahasa ibu. Itu tentu asumsi yang didasarkan pada pemikiran bahwa para siswa memiliki bahasa ibu yang (relatif) homogen serta posisi bahasa Indonesia masih menjadi bahasa kedua bagi mereka.

Webinar yang diikuti para pimpinan unit eselon II dan kepala UPT di lingkungan Kemendikbud, Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO, para pimpinan unit struktural di Provinsi NTT, Rektor Universitas YARSI, dan para narasumber berikut penanggap, serta peserta seminar lainnya ini dinilai Aminudin sangat penting. Sehubungan dengan hal itu, Kepala Badan Bahasa menyampaikan terima kasih kepada panitia, khususnya Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Syaiful Bahri Lubis, yang telah menggagas diadakannya seminar tersebut dengan bekerja sama dengan Projek INOVASI dan juga Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Dikatakannya bahwa penyelenggaraan seminar pasti dilatari oleh alasan yang sangat kuat yang bisa dibaca dalam peta bahasa di Provinsi NTT, yaitu ada 72 bahasa daerah yang setakat ini telah dipetakan dan mungkin bisa lebih banyak lagi daripada jumlah tersebut. Diyakini pula bahwa dari 72 bahasa daerah tersebut, sebagian besar atau bahkan semuanya menjadi bahasa ibu masyarakat di wilayah Provinsi NTT.

Bahasa Ibu: Kemampuan Mengkreasi

“Ini seminar yang isinya menyangkut salah satu esensi kehidupan manusia sejak mereka berkembang untuk menjelajahi perjalanan panjang dalam hidupnya itu. Substansi yang paling pokok dari seminar ini adalah tentang pendidikan, yang pasti menjadi hajat hidup orang banyak. Topik ini kemudian dikaitkan dengan bagaimana bahasa ibu memiliki peran sentral dalam menentukan keberhasilan pendidikan tersebut. Artinya, bahasa, terlebih-lebih adalah bahasa ibu, dipandang sebagai salah satu faktor yang instrumental di dalam menentukan berhasil tidaknya sebuah program pendidikan,” lanjut Aminudin.

Memang benar bahwa bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah. Bahasa ibu lebih merujuk pada bahasa yang pertama kali diperoleh oleh seseorang pada saat dia dibesarkan atau digunakan untuk berinteraksi di dalam lingkungan keluarganya. Sementara itu, bahasa daerah lebih dinisbahkan dengan bahasa-bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu yang secara sosiologis berhubungan. Bahasa daerah tidaklah menunjukkan keberadaan dan batas sebuah wilayah (pemerintahan), tetapi lebih mengacu pada keterkaitan dan kesatuan budaya dari para penuturnya.

Aminudin kemudian memaparkan pengalamannya sekian tahun lalu dalam kaitan pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar. “Ketika masih sering berkunjung ke wilayah-wilayah perdesaan, saya sering bertemu dengan anak-anak usia sekolah dan sering mengajak mereka mengobrol. Walaupun mungkin terkesan iseng, saya sering bertanya kepada mereka tentang berbagai macam aktivitas dan juga pendapat serta penilaian mereka tentang sebuah peristiwa. Kadang-kadang saya bertanya kepada mereka tentang pengalaman dan cerita di dalam keluarganya. Kadang-kadang tentang pengalaman belajar di sekolahnya, tentang pelajaran, tentang gurunya, dan tentang teman-temannya. Kadang-kadang juga saya bertanya bagaimana sebuah proses pembuatan gula aren, atau kalau bertemu dengan anak-anak yang sedang mengambil rumput, saya bertanya kepada mereka alasan mengapa tidak boleh mengambil rumput di waktu tertentu ketika misalnya terlalu pagi atau terlalu siang apalagi sore? Saya meminta mereka untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa itu di dalam bahasa ibu atau bahasa daerah mereka. Mereka sama sekali tidak memiliki kesulitan. Dengan lancarnya mereka bercerita (narative skills), menjelaskan proses-proses, memberikan analisis, sintesis, bahkan memberikan evaluasi terhadap sebuah peristiwa. Kehebatan anak-anak dalam memberikan respons terhadap tantangan yang saya berikan itu menunjukkan sesungguhnya tingkat literasi mereka sudah sangat tinggi. Mereka bisa membaca, memahami, menerapkan, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, bahkan mengkreasi bahasa.”

Akan tetapi, ketika Aminudin meminta mereka menjelaskan hal yang persis sama dengan menggunakan bahasa Indonesia, anak-anak tersebut sepertinya mengalami kesulitan yang luar biasa. Mereka seperti kekurangan kata-kata untuk menjelaskan pikirannya, bahkan dengan kata-kata di dalam bahasa Indonesia yang sederhana. Banyak di antara mereka yang kemudian “menyerah” dan tidak bersedia melanjutkan penjelasannya. “Padahal, anak-anak itu, ketika saya tanya, sudah belajar bahasa Indonesia bertahun-tahun, bahkan sejak masuk sekolah dasar. Menilik peristiwa ini, tentu saja kita akan bisa menduga bagaimana kejadiannya kalau mereka malah ditanya dan diminta untuk menjelaskannya di dalam bahasa asing,” ungkapnya.

Dari kejadian dan fakta itu, bisa saja diambil simpulan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia belum memberikan hasil yang optimal sehingga dapat menjadi alat bagi para siswa agar dapat berkomunikasi dengan bahasa tersebut ketika mereka ingin menyampaikan pikiran-pikirannya, bahkan yang sederhana sekalipun. Bisa jadi pembelajaran bahasa Indonesia selama ini masih berbasis pengajaran yang lebih menekankan pada penguasaan aspek-aspek linguistik kebahasaan dan bukannya pada esensi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Atau bisa juga dibuat simpulan lain, yakni intensitas penggunaan bahasa ibu atau bahasa daerah di lingkungan anak-anak tadi mungkin masih sangat tinggi.

“Kesalahan” Proses Pembelajaran Bahasa

Kalau kita menengok sejarah pendidikan di mana pun, kita bisa percaya bahwa awalnya pendidikan diselenggarakan dengan menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah atau bahasa yang paling banyak digunakan di lingkungan masyarakat tersebut. Bahkan, guru-gurunya pun direkrut dari orang-orang yang ada di sekitar mereka, yang diyakini memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang lebih daripada orang kebanyakan. Praktik seperti itu mungkin bukanlah hal baru, tetapi terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.

Perubahan format penyelenggaraan pendidikan, kata Aminudin, termasuk penggunaan bahasa pengantar, terjadi ketika ada formalisasi pendidikan yang kemudian mengatur kurikulum pembelajarannya, termasuk jenis dan jumlah mata pelajaran, isi mata pelajaran, kualifikasi guru, fasilitas belajar, asesmen dan evaluasi hasil pembelajaran, dan hal-hal lain yang sifatnya formal.

Berkaitan dengan penggunaan bahasa pengantar pembelajaran, hal itu menjadi isu ketika diberlakukan sistem pendidikan nasional di sebuah negara. Isu paling mendasarnya adalah manakala bahasa yang diwajibkan untuk digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan itu adalah bahasa yang tidak sama dengan bahasa sehari-hari para siswa. Bahasa yang mestinya menjadi media untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melalui pembahasan topik-topik pembelajaran sehingga membuat terasahnya pikiran para murid, justru kemudian dijadikan mata pelajaran. Tentu saja, dengan status sebagai mata pelajaran, bahasa akan dipelajari dan diajarkan sebagaimana mata pelajaran lain. Di sinilah tampaknya “kesalahan” proses pembelajaran tentang bahasa, yakni formalisasi secara struktural dalam pengajaran bahasa yang mestinya diarahkan pada penguasaan bahasa sebagai alat untuk mengomunikasikan substansi pikiran dan perasaan, berubah menjadi pengetahuan tentang unsur-unsur bahasa itu sendiri.

Aminudin mengambil contoh yang sudah dilakukan di RTI International. Di dalam laporan yang berjudul “Improving Learning Outcomes through Mother Tounge-Based Education”, RTI International melakukan pengkajian di 22 negara berkembang dengan 160 bahasa yang dipakai sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajaran. Laporan tersebut menghasilkan informasi bahwa penggunaan bahasa ibu di sekolah memberikan manfaat sebagai berikut: (1) memperluas akses pendidikan sebab tingkat drop-out lebih kecil sehingga bisa ditekan; (2) meningkatkan kemampuan membaca sehingga hasil belajar lebih baik; (3) memfasilitasi atau mempercepat pencapaian keberhasilan belajar bahasa asing; (4) meningkatkan efisiensi biaya pendidikan karena kecilnya jumlah murid yang harus mengulang pelajaran akibat tidak naik kelas; (5) meningkatkan rasa percaya diri serta konsep dan identitas diri murid; dan (6) meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat sehingga terjadi penguatan pelestarian budaya.

Mereka kemudian mengingatkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan di dalam merancang program pembelajaran yang berbasis bahasa ibu ini, terutama terkait dengan (a) model bahasa yang akan digunakan dikaitkan dengan tujuan pendidikan: apakah bahasa ibu itu akan digunakan sebagai bahasa untuk pemertahanan atau bahasa transisi untuk pembelajaran bahasa berikutnya; (b) distribusi atau sebaran bahasa: apakah situasi kelas itu homogen, adakah bahasa mayoritas yang digunakan oleh para siswa, bagaimana pengaturan kelasnya, dan sebagainya; (c) rekrutmen guru dan persiapannya: kualifikasi guru untuk mengajar dalam bahasa ibu; (d) pengembangan dan penyiapan materi pembelajaran; (e) dukungan orang tua dan masyarakat; dan (f) penyesuaian kebijakan-kebijakan di dalam sektor pendidikan.

“Beberapa penelitian lainnya, seperti yang dilakukan oleh para peneliti di Mauritius, Nigeria, dan Iran, menunjukkan hasil yang sama, yakni penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran meningkatkan hasil belajar secara signifikan. Bukti-bukti empiris ini, bagaimanapun, dapat menjadi landasan bagi kita untuk mempromosikan penggunaan bahasa ibu di dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah di negeri ini, tentunya dengan berbagai macam penyesuaian terhadap kondisi yang dihadapi oleh masing-masing daerah,” lanjut Aminudin.

Indikator Keberhasilan

Ditegaskan oleh Aminudin bahwa dengan menyadari pentingnya pemertahanan dan pengembangan bahasa ibu yang bagi kita umumnya adalah bahasa daerah, Badan Bahasa menetapkan indikator keberhasilan programnya melalui indeks pemanfaatan bahasa daerah oleh penuturnya. Hal ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebuah bahasa ibu atau bahasa daerah akan tetap lestari manakala masih tetap digunakan oleh para penuturnya. Itu artinya bahasa tersebut akan terus memiliki sifat adaptif terhadap perkembangan dalam masyarakat.

Indeks tersebut kemudian diwujudkan ke dalam indikator berikut ini: (a) jumlah penutur yang menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari dalam ranah keluarga, pendidikan, dan masyarakat; (b) jumlah bahasa daerah yang menjadi mata pelajaran atau muatan lokal di sekolah di tiap-tiap daerah; (c) jumlah guru bahasa daerah di tiap-tiap wilayah; (d) jumlah publikasi cetak ataupun digital dalam bahasa daerah, baik karya sastra maupun nonsastra (koran, majalah, buletin, atau yang sejenisnya); dan (e) jumlah media penyiaran elektronik yang memiliki program dalam bahasa daerah (radio, televisi, siniar [podcast], atau kanal YouTube).

Untuk mewujudkan harapan tersebut, Badan Bahasa merancang sejumlah strategi, di antaranya, adalah sebagai berikut.

  1. Konservasi dan revitalisasi merupakan fokus utama. Program di lingkungan Badan Bahasa akan diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang benar-benar mendukung terjadinya revitalisasi bahasa ibu (tumbuhnya daya hidup bahasa tersebut) yang mengakar di dalam jiwa para penuturnya.
  2. Setiap elemen pemangku kepentingan dilibatkan, yaitu pemerintah pusat melalui Badan Bahasa; pemerintah daerah berkoordinasi dengan balai/kantor bahasa; penutur bahasa daerah, baik perorangan maupun komunitas; dan penutur bahasa ibu di ranah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
  3. Gerakan menulis karya dalam bahasa daerah menjadi sumber penerjemahan bahan pengayaan literasi. Praktik penulisan karya-karya sastra dan nonsastra yang makin semarak sejatinya menjadi media untuk mengidupkan kembali bahasa ibu di tengah masyarakat.
  4. Pengutamaan media digital dilakukan karena kita hidup di era digital dan sasaran kita adalah para penutur muda yang jelas-jelas begitu akrab dengan dunia digital. Bahan-bahan pembelajaran atau permainan yang disajikan dalam dunia yang dekat dengan target pasti akan lebih diminati dan lebih mudah diikuti.

Strategi dan program diselenggarakan secara fleksibel sesuai dengan kondisi daerah. Wilayah Indonesia merentang dari Sabang sampai Merauke dengan karakteristik wilayah dan demografi yang sangat berbeda-beda. Oleh karena itu, penyelenggaraannya akan dibuat sefleksibel mungkin sesuai dengan keadaan di tiap-tiap wilayah.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa