Kemendikbud Dukung Penggunaan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran Kelas Awal di NTT

Kemendikbud Dukung Penggunaan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran Kelas Awal di NTT
Kupang, 24 Februari 2021---Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) mendukung penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran kelas awal di Provinsi NTT. Hal itu disampaikan oleh  Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz pada seminar daring bertajuk “Penggunaan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran Kelas Awal: Isu dan Peluang” pada Rabu, 24 Februari 2021. Acara yang digelar untuk menyambut Hari Bahasa Ibu Internasional itu terselenggara atas kerja sama Kantor Bahasa NTT, Program Inovasi (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia), dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
 
Hasil penelitian internasional menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ibu memberikan kontribusi yang positif terhadap pencapaian target atau hasil belajar siswa, terutama di kelas awal. “Ada 72 bahasa daerah di NTT yang saat ini yang telah dipetakan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dari 72 bahasa daerah itu sebagian besar atau bahkan semua bahasa daerah itu menjadi bahasa ibu di wilayah provinsi NTT,” ucap Aminudin Aziz di tengah penjelasannya mengenai latar belakang penyelenggaraan acara itu pada Rabu (24/2). 
 
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman mengatakan bahwa Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati untuk meningkatkan kesadaran atas keragaman bahasa dan budaya serta multibahasa yang dimiliki. UNESCO menyadari, pentingnya peran bahasa ibu dan bahasa lokal. Tema Hari Bahasa Ibu Internasional tahun 2021 adalah “Fostering Multilingualism for Inclusion in Education and Society” yang berarti mempertegas pengakuan UNESCO akan peran penting bahasa ibu, serta menunjukkan dukungan dan dorongan UNESCO dalam penggunaan bahasa Ibu pada kehidupan sosial, khususnya di dunia pendidikan. 
 
Arief mengungkapkan bahwa UNESCO menggarisbawahi pentingnya multilingualisme, khususnya penggunaan bahasa ibu, pada kehidupan sehari-hari maupun pembelajaran di sekolah yang saat ini mayoritas menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Bahasa ibu dinilai memiliki peran penting untuk menjamin inklusifitas dalam pendidikan, menjembatani proses pengajaran guru terhadap anak melalui daring, serta menyampaikan materi secara multilingual. 
 
Ia menambahkan bahwa tujuan pembelajaran yang utama di tahun-tahun awal pendidikan adalah pengembangan keterampilan literasi dasar, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Untuk bisa mencapai keterampilan itu, maka dibutuhkan pendekatan, metode, teknik maupun strategi pembelajaran yang inovatif. 
 
“The Interactive learner-center approach menjadi salah satu proses pengajaran yang akan sangat optimal jika menggunakan dua bahasa atau lebih (salah satunya adalah bahasa ibu), terlebih di masa PJJ saat ini. Pendekatan tersebut memungkinkan anak lebih antusias dalam memberikan saran, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengomunikasikan apa yang mereka ketahui, serta meningkatkan pengalaman belajar,” tuturnya.
 
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi memastikan program strategis untuk mendukung penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran sebagai bahasa transisi ke bahasa Indonesia telah tertuang dalam dokumen peta jalan (road map) pendidikan dan kebudayaan Provinsi NTT.
 
“Penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran sebagai bahasa transisi sudah terintegrasi dengan program quick-win dalam dokumen road map grand design,” ungkapnya.
 
Kegiatan Temu Inovasi adalah yang perdana di Provinsi NTT dan akan dilakukan secara berkelanjutan bersama pemerintah provinsi dan kabupaten di NTT. Acara tersebut diikuti oleh lebih dari 1.000 orang melalui aplikasi Zoom dan disiarkan langsung melalui YouTube Kemendikbud. 
 
Pentingnya Bahasa Ibu menjadi Bagian dalam Pembelajaran Kelas Awal
 
Berdasarkan kajian UNESCO di berbagai negara, dianjurkan agar bahasa ibu digunakan dalam kegiatan pembelajaran, terutama di kelas awal. Anjuran UNESCO ini sangat beralasan, sebab siswa di kelas-kelas awal pasti akan lebih mudah berkomunikasi dan memahami pelajaran andai kata disampaikan dengan bahasa ibunya. “Meskipun pada praktiknya memang tidak mudah apalagi dengan kondisi keragaman bahasa yang sangat tinggi seperti di Indonesia,”ungkap Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz pada sambutannya secara daring.
 
Dijelaskan Aminudin Aziz bahwa cara seperti itu dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran siswa di kelas awal pada daerah pedesaan. Meski sulit untuk diterapkan di perkotaan. Ia meyakini, rendahnya daya nalar dan tingkat kekritisan siswa sebagaimana ditunjukkan oleh survei PISA dapat ditingkatkan melalui proses pembelajaran yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar. 
 
“Asumsi ini tentu didasarkan pada pemikiran bahwa para siswa memiliki bahasa ibu yang relatif homogen dan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa kedua mereka,” jelasnya.
 
Lebih lanjut, penelitian lain yang dilakukan oleh RTI International dalam laporannya yang berjudul Improving Learning Outcomes through Mother Tongue-Based Education, mengungkap bahwa di 22 negara berkembang terdapat 160 bahasa yang dipakai sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Diterangkan dalam laporan tersebut bahwa penggunaan bahasa ibu di sekolah memberikan sekurang-kurangnya enam manfaat. 
 
Pertama, akses pendidikan yang lebih luas karena tingkat ke luar dari sekolah (drop out) lebih kecil dan bisa ditekan; kedua, meningkatkan kemampuan membaca dan hasil belajar yang lebih baik; ketiga, memfasilitasi atau mempercepat pencapaian keberhasilan belajar bahasa asing; keempat, meningkatkan efisiensi biaya pendidikan karena kecilnya jumlah siswa yang harus mengulang pelajaran akibat tidak naik kelas; kelima, meningkatkan rasa percaya diri, konsep diri, dan identitas diri siswa; dan keenam, meningkatnya dukungan dan partisipasi dari masyarakat dan terjadinya penguatan pelestarian budaya.
 
Sementara itu, Direktur Program Inovasi, Mark Heyward mengatakan bahwa penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa transisi pembelajaran memberikan kemudahan bagi anak-anak, hasil program rintisan inovasi bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan juga organisasi serta beberapa yayasan menunjukan jika penggunaan bahasa Ibu terbukti dapat meningkatkan hasil belajar. “Studi yang dilakukan oleh Program Inovasi pada 2019 di empat provinsi di Indonesia termasuk provinsi NTT secara konsisten menunjukan hasil belajar siswa kelas awal yang berbahasa ibu lebih mudah daripada menggunakan bahasa Indonesia dalam sehari-hari,” katanya. 
 
Mark Heyward menambahkan bahwa hasil dari Badan Pusat Statistik pada 2010 mencatatkan bahwa hanya 20% populasi Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dalam bahasa sehari-hari. Lebih dari 16 juta orang yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia di mana 20 persen diantaranya adalah anak-anak berumur 5-9 tahun. “Jadi, kalau bahasa Indonesia digunakan dalam kelas awal untuk anak-anak yang belum fasih berbahasa Indonesia, mereka pasti bingung dan tidak dapat belajar dengan baik,” ungkapnya.
 
Penggunaan Bahasa Ibu pada Pembelajaran Kelas Awal Perlu Didukung Kapasitas Guru
 
Mark Heyward menguraikan hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendukung penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran kelas awal, yakni pengembangan kapasitas guru. Menurutnya, perlu dipastikan bahwa guru-guru memiliki kapasitas untuk mengajar anak-anak yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa transisi. 
 
Pengembangan kapasitas guru berbasis kelompok kerja guru (KKG) adalah salah satu cara yang sudah terbukti, sehingga perlu terus dikembangkan. Selain itu, ketersediaan buku bacaan dalam bahasa Ibu merupakan hal yang sangat penting. “Saya ketahui bahwa kantor bahasa NTT telah menerbitkan beberapa judul buku dalam bahasa Ibu. Ini tentu saja merupakan sesuatu yang menggembirakan dan memberikan kesempatan untuk belajar dengan baik kepada anak-anak,” tutur Heyward.
 
Pada kesempatan yang sama, Asisten Bidang Pemerintahan, Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Benyamin Lola mengatakan bahwa bahasa daerah adalah bahasa ibu mayoritas dari 1,35 juta anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari sehingga saat masuk ke sekolah dasar mereka belum dapat berbahasa Indonesia dengan baik, dengan kosakata yang sangat terbatas atau bahkan asing sama sekali. Sementara itu, dalam sistem pendidikan nasional, bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar resmi sehingga terdapat ketertinggalan bagi anak-anak penutur tunggal bahasa ibu.
 
Disampaikan Benyamin, sejak hari pertama sekolah, anak-anak kelompok penutur tunggal bahasa ibu sudah kebingungan ketika berkomunikasi dengan gurunya. Di NTT terdapat 40–50 persen anak terutama di pedesaan adalah anak penutur tunggal bahasa ibu. Hal ini menimbulkan berbagai tantangan bagi implementasi kurikulum yang pada akhirnya memengaruhi hasil belajar siswa. “Anak datang ke sekolah, tetapi belum tentu berhasil belajar, salah satu sebabnya adalah kendala bahasa yang digunakan di sekolah,” ungkapnya.
 
Benyamin menjelaskan bahwa untuk mengatasi ketimpangan ini, satuan pendidikan dasar sebenarnya dapat menggunakan bahasa ibu untuk membantu siswa memahami pelajaran dan bertransisi ke bahasa Indonesia. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019. “Hal ini dapat menjadi peluang besar, khususnya bagi warga NTT untuk meningkatkan mutu pembelajaran siswa sekaligus melestarikan budaya tutur,” ujar Benyamin.
 
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi NTT telah menyadari tantangan sekaligus peluang tersebut dan terus berupaya agar anak-anak hadir di sekolah dan mendapatkan hasil belajar yang layak. Kemitraan antara  Pemprov NTT, Kantor Bahasa NTT, dan Program Inovasi adalah upaya bersama untuk mencari jalan keluar bagi anak-anak NTT yang fasih berbahasa ibu, tetapi belum mampu berbahasa Indonesia sebagai bahasa ajar di kelas.
 
Upaya Badan Bahasa dalam Pemanfaatan Bahasa Daerah atau Bahasa Ibu
 
Dalam rangka mendukung upaya pemertahanan pengembangan bahasa ibu, yang bagi kita (Indonesia) adalah bahasa daerah, Badan Bahasa Kemendikbud sudah menetapkan indikator keberhasilan program melalui pengukuran indeks pemanfaatan bahasa daerah atau bahasa ibu oleh penuturnya. Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz mengungkapkan bahwa sebuah bahasa ibu atau bahasa daerah akan tetap lestari manakala masih tetap digunakan oleh para penuturnya. Keberhasilan indeks tersebut diukur dalam beberapa indikator. 
 
Pertama, kita ingin mengetahui berapa jumlah penutur yang menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu saat berkomunikasi sehari-hari, baik itu di ranah pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Kedua,  kita ingin mengetahui jumlah bahasa daerah yang menjadi mata pelajaran atau muatan lokal di masing-masing daerah. Ketiga, terkait dengan jumlah guru bahasa daerah di masing-masing wilayah. "Harapan kita, guru bahasa daerah adalah guru yang memang memiliki latar belakang pendidikan tentang bahasa daerah, bukan guru-guru yang beralih tugas. Misalnya, guru olahraga harus mengajar bahasa daerah hanya karena guru olahraga tersebut adalah penutur bahasa daerah itu atau guru-guru mata pelajaran lainnya," terang Aminudin Aziz. 
 
Keempat, kita ingin mengukur publikasi cetak maupun digital dalam bahasa daerah baik itu karya sastra maupun nonsastra, apakah itu koran, majalah, buletin, atau yang lainnya. Kelima, jumlah media penyiaran elektronik yang memiliki program bahasa daerah, seperti televisi, radio, siniar (podcast), kanal YouTube, dan lain-lain.
 
Selanjutnya, untuk mewujudkan harapan tersebut, Badan Bahasa merancang sejumlah strategi. Pertama, mengaitkan dengan konservasi dan revitalisasi bahasa yang akan menjadi fokus utama. Program di Badan Bahasa akan diarahkan kepada kegiatan yang benar-benar mendukung revitalisasi bahasa ibu, yang dimaknai dengan tumbuhnya daya hidup bahasa tersebut yang mengakar di dalam jiwa para penuturnya. 
 
Kedua, melibatkan seluruh elemen pemangku kepentingan, apabila di pemerintah pusat ada Badan Bahasa, di daerah ada UPT Bahasa (balai dan kantor bahasa) dan tentu saja hal ini harus menggerakkan perorangan maupun komunitas yang ada di sana, sehingga akan terjadi penguatan praktik berbahasa ibu, baik di ranah keluarga, sekolah, maupun masyarakat. 
 
Ketiga, memperkuat gerakan menulis karya dalam bahasa daerah, yang nantinya akan menjadi sumber penerjemahan bahasa untuk dijadikan bahan pengayaan literasi. Menurut Aminudin Aziz, semakin semarak praktik penulisan karya-karya sastra dan nonsastra berbahasa ibu, maka itu sejatinya akan menjadi media untuk menghidupkan kembali bahasa ibu di tengah masyarakat. 
 
 
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa