Upaya Merawat Bahasa dan Sastra Daerah di Era Global
![Upaya Merawat Bahasa dan Sastra Daerah di Era Global](https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/resource/doc/images/15.jpeg)
Badan Bahasa, Jakarta—Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kembali mengadakan kegiatan Seri Diskusi Daring #RembukBahasa #RembukSastra dengan tema “Merawat Bahasa dan Sastra Daerah di Era Global”, 11 September 2020. Kegiatan melalui aplikasi zoom ini diikuti oleh 250 peserta dari berbagai daerah di Indonesia dan disiarkan langsung di kanal Youtube Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya hasil kajian dan kegiatan Bidang Pelindungan Bahasa dan Sastra, yang selama ini baru bisa disosialisasikan melalui seminar dan lokakarya secara terbatas kepada khalayak umum di DKI Jakarta dan kota-kota besar tertentu. Padahal, hasil kajian dan kegiatan tersebut bisa jadi ditunggu oleh masyarakat di kota-kota lain, terutama di daerah yang menjadi sasaran lembaga kebahasaan ini.
Secara khusus diskusi tersebut bertujuan untuk mendiskusikan peran aktif mendiang Ajip Rosidi dalam merawat bahasa dan sastra daerah. Ajip, sastrawan Indonesia yang dikenal memiliki segudang prestasi kesastraan ini, selama hidupnya telah banyak membantu dan mendukung kegiatan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Seri Diskusi Daring ini diharapkan mampu membuka ruang diskusi antara para peneliti—khususnya di bidang bahasa dan sastra--, pegiat bahasa dan sastra, pelaku industri, lembaga pemerintah, serta masyarakat umum dalam upaya pemajuan media dan sastra cetak berbahasa daerah.
Kegiatan yang berlangsung selama dua jam tersebut dipandu oleh Devyanti Asmalasari dari Balai Bahasa Jawa Barat dengan narasumber Etty R.S dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Dian Hendrayana dari majalah Mangle, dan Kukuh Setyo Wibowo dari majalah Panjebar Semangat.
Yayasan Kebudayaan Rancage, menurut Etty dalam paparannya, didirikan oleh Ajip dan telah banyak membantu pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra daerah, misalnya dengan memberikan Hadiah Rancage setiap tahun kepada sastrawan asal Sunda. Tujuannya untuk mendorong semangat mereka agar dapat menghasilkan karya bermutu dan membantu industri perbukuan. Dengan demikian, selain diharapkan pemerintah membeli buku peraih Hadiah Rancage dan menjadi koleksi perpustakaan, juga dapat menginspirasi daerah lain dalam upaya pembinaan apresiasi masyarakat terhadap sastra daerahnya.
“Terima kasih kepada seluruh panitia yang telah menyelenggarakan kegiatan diskusi daring ini,” ujar Etty. Selanjutnya, dikatakan bahwa pemberian Hadiah Sastra Rancage setiap tahun tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh rendahnya honorarium pengarang Sunda di media massa.
Yayasan Kebudayaan Rancage yang telah berdiri sejak tahun 1993 itu tidaklah luput dari kendala, termasuk masalah finasial. Etty menuturkan, dari tahun ke tahun pihaknya semakin sulit mencari dana kegiatan dan mencari donatur baru karena donatur lama banyak yang sudah meninggal. Perlu diketahui bahwa Hadiah Sastera Rancagé berasal dari kantung pribadi mendiang AJip Rosidi. Untuk itu, Etty berharap adanya uluran tangan Pemerintah dalam mendukung keberlangsungan Yayasan yang menjadi reksa bahasa dan sastra Sunda tersebut.
“Selama ini, dana pemberian Hadiah Sastra Rancage berasal dari kantung Bapak Ajip, tanpa ada donasi dari pihak lain. Kami cukup khawatir dengan kendala dana ini, apalagi Bapak Ajip sudah tiada, kami pun merasa sulit mencari donatur baru. Kami berharap pemerintah turut memperhatikan Yayasan yang menjadi reksa bahasa dan sastra Sunda tersebut,” tuturnya dengan penuh harap.
Pada akhir paparannya, Etty berharap sastra daerah tetap tumbuh dan hidup dengan subur sepanjang zaman melalui media apa pun sesuai dengan perkembangannya. Yayasan Kebudayaan Rancage hendaknya dapat terus eksis di mata masyarakat dengan menyajikan materi kebahasaan dan kesastraan daerah yang bermutu.
Pada kesempatan yang sama, narasumber Dian Hendrayana menyebutkan bahwa majalah Mangle lahir karena tingginya literasi masyarakat Sunda. Majalah ini turut membangun negeri berupa sumbangan sastra dengan hadirnya para penulis fiksi sastra Sunda. Banyak juga di antara mereka yang mendapatkan penghargaan atau peraih Hadiah Sastra Rancage. Ia menegaskan bahwa Mangle bisa disebut sebagai museum Bahasa dan Sastra Sunda yang mampu mencatat perkembangan kehidupan sastra serta merekam perkembangan kehidupan sosial masyarakat Sunda.
Lebih dalam Dian mengungkapkan bahwa pihaknya selalu berupaya dalam merawat bahasa dan sastra Sunda. Hal itu terlihat dari adanya pergeseran sikap pembaca dalam mengikuti perubahan zaman. Dahulu Mangle banyak dinikmati oleh kaum perempuan, tetapi sekarang cukup beragam dan variatif, misalnya merambat ke zona pendidikan, kaum akademisi yang mulai sadar untuk mengikuti gerakan literasi, sehingga majalah Mangle semakin dicari. Ia menyebutkan, pihaknya banyak mendekati insan berpendidikan dan bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi serta lembaga pendidikan lainnya, karena kaum akademisi dinilai banyak bersingggungan dengan gerakan literasi.
Saat menutup paparannya, Dian menyampaikan upaya terpenting yang telah dilakukan adalah mendigitalkan konten majalah Mangle di laman www.mangle-online.com sehingga dapat dinikmati oleh pembaca dari seluruh penjuru dunia. Hal ini dinilai banyak memberikan sumbangan ke masyarakat.
“Kami juga mendigitalkan konten-konten Majalah Mangle, sehingga dapat dinikmati oleh pembaca dari seluruh penjuru dunia, dan ini banyak memberikan banyak sumbangan ke masyarakat, Saya berharap majalah ini terus berkembang dan aktif menyajikan konten-konten menarik di hati masyarakat” tutupnya
Senada dengan itu, Kukuh Setyo Wibowo, mengungkapkan bahwa majalah berbahasa jawa tertua, Penjebar Semangat, telah mendapatkan tempat di hati masyarakat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti Suriname dan Belanda. Adapun konten yang menarik di hati pembaca adalah genre fiksi, misalnya “Layang Saka Warga”, “Apa Tumon”, “Alaming Lelembut”, cerkak (“Cerita Cekak”, “Cerita Rakyat”, “Taman Geguritan”, dan “Cangkriman Prapatan PS”.
Oplah Penjebar Semangat masih membubung sekalipun usianya sudah 87 tahun. Di antara 30.000 eksemplar setiap minggunya, sebagian dikirim ke Suriname atas permintaan Duta Besar Indonesia, dan juga dikirim ke negeri Belanda. Mungkin inilah satu-satunya media massa tertua di Indonesia yang masih bisa dinikmati sampai lintas benua.
Pria yang menjadi kontributor di majalah ini juga mengungkapkan bahwa Panjebar Semangat bukan sekadar majalah berusia tua, tetapi menjadi bagian dari warisan sejarah, dan munculnya tokoh pergerakan nasional Boedi Oetomo, yaitu dr. Soetomo, pada tanggal 2 September 1933. Dari namanya saja kita bisa menebak, majalah ini digunakan sebagai corong pembebasan kaum pribumi kala itu.
Panjebar Semangat menggunakan bahasa Jawa sejak awal berdiri sampai hari ini. Kenapa? Karena saat itu tidak ada rakyat kecil yang bisa berbahasa Indonesia, kecuali yang mengenyam bangku sekolah. Sementara itu, semangat perjuangan harus dikobarkan seluas-luasnya. Demikian ungkap Kukuh Setyo Wibowo
Pada akhir diskusi, menurut Kukuh, saat ini majalah ini membutuhkan generasi baru untuk ikut menyumbangkan materi kebahasaan dan kesastraan karena sudah banyak penulis di Panjebar Semangat yang telah tutup usia. Ia juga mengatakan bahwa majalah tersebut memiliki ruang yang masih terbatas. Dalam satu minggu ada sepuluh karya yang masuk, tetapi hanya satu yang dapat dipublikasikan.
Salah satu peserta, Imam M.J. dari Komunitas Sketsa Pribumi, terlihat sangat antusias mengikuti sesi diskusi daring saat itu. Ia turut melontarkan pertanyaan kepada ketiga narasumber tentang bagaimana menyemangati kaum milenial yang enggan menggunakan bahasa daerah. Pria asal Cirebon ini merasa gelisah dengan anak muda yang mulai enggan menggunakan bahasa daerah, padahal bahasa merekalah yang diharapkan mampu menjaga kekayaan negara budaya tersebut. “Saya Imam, dari Komunitas Sketsa Pribumi, Cirebon, bagaimana tanggapan serta solusi dari narasumber tentang kaum milenial yang enggan menggunakan bahasa daerah, dan kegiatan apa yang bisa kita lakukan untuk menarik perhatian mereka. Karena penutur bahasa Cirebon sangat sedikit, sSaya khawatir bahasa tersebut punah,” tanyanya.
Menurut narasumber, hal tersebut memang telah menjadi fenomena saat ini. Ada kecenderungan bahwa generasi muda mulai merasa turun gengsi jika berbahasa daerah. Hal tersebut bisa diatasi dengan mengadakan kegiatan kebahasaan dan kesastraaan daerah yang melibatkan anak muda. Misalnya, membuat konten baca puisi dan menayangkannya di kanal Youtube atau mengadakan berbagai lomba bagi kawula muda yang kreatif dan inovatif.
Pada saat menutup diskusi tersebut, menurut moderator, kegiatan yang menjadi rutinitas selama pandemi ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi para penggiat pelindungan bahasa dan sastra di berbagai daerah untuk saling berdiskusi. Jangkauannya juga bisa lebih luas dibandingkan dengan pelaksanaan seminar atau lokakarya secara tatap muka. (DV)