Pemertahanan Bahasa Bugis dan Minahasa di Kecamatan Tanjung Priok Perlu Mendapat Perhatian
Sejak dahulu, Kecamatan Tanjung Priok terkenal dengan lokasinya yang dekat dengan pelabuhan sebagai jalur perdagangan. Hal tersebut membuat wilayah ini menjadi tempat bertemunya berbagai suku dari berbagai daerah di Indonesia. Heterogenitas di Kecamatan Tanjung Priok—lebih luas lagi di Kotamadya Jakarta Utara—dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan kotamadya lain di Provinsi DKI Jakarta. Kondisi ini membuat dominasi suku dan bahasa daerah yang ada di Kecamatan Tanjung Priok, khususnya suku dan bahasa daerah yang berasal dari luar Pulau Jawa, menarik untuk ditelusuri. Sehubungan dengan itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan melakukan kegiatan verifikasi pemetaan bahasa di Kecamatan Tanjung Priok, Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Kegiatan verifikasi pemetaan bahasa dilaksanakan pada tanggal 24—30 November 2020 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.. Peneliti yang terlibat dalam kegiatan verifikasi pemetaan bahasa di Kecamatan Tanjung Priok ini adalah Mardi Nugroho dan Satwiko Budiono. Selain itu, Tulus Silalahi dari Kantor Kecamatan Tanjung Priok dan Victor Hotma Parulian dari Kantor Kelurahan Sungai Bambu juga turut membantu kegiatan tersebut sebagai pendamping lapangan.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2018, bahasa yang digunakan sehari-hari dalam berkomunikasi di Kotamadya Jakarta Utara adalah bahasa Indonesia. Kondisi ini tidak mengherankan melihat banyak suku yang bermukim di Kotamadya Jakarta Utara sehingga masyarakatnya lebih memilih menggunakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini juga ditemukan di semua daerah perkotaan yang masyarakatnya heterogen. Terlebih lagi, pemukimannya juga sudah bercampur antara satu suku dengan suku lain atau dapat dikatakan tidak ada pemukiman suku tertentu yang bergerombol membentuk sebuah kawasan sendiri. Berdasarkan data BPS tersebut juga terlihat bahwa Kecamatan Tanjung Priok memiliki dominasi suku yang lebih bervariasi dibandingkan kecamatan lainnya. Hal ini disebabkan Kecamatan Tanjung Priok memiliki beberapa suku dominan yang tersebar di beberapa kelurahan, seperti Betawi, Jawa, Sunda, Bugis, Minahasa, Ambon, dan Batak. Jumlah suku-suku tersebut di Kecamatan Tanjung Priok juga dapat dikatakan terbanyak di antara kecamatan lainnya di Kotamadya Jakarta Utara.
Dari beberapa suku dominan di Kecamatan Tanjung Priok tersebut, bahasa daerah yang digunakan oleh suku Bugis di Kelurahan Kebon Bawang dan suku Minahasa di Kelurahan Sungai Bambu dipilih sebagai objek dalam kegiatan verifikasi pemetaan bahasa di Kotamadya Jakarta Utara. Pemilihan objek ini merupakan rekomendasi dari Kantor Kecamatan Tanjung Priok selaku instansi pemerintah daerah yang mengetahui situasi dan kondisi masyarakat setempat. Selain itu, suku Bugis dan Minahasa dipilih karena kedua suku tersebut merupakan suku terbesar kedua pada masing-masing kelurahan setelah suku Jawa dan Sunda. Suku Bugis dan Minahasa juga dianggap identik mendiami Kecamatan Tanjung Priok berdasarkan pengakuan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan beberapa rumah makan khas Minahasa dan banyaknya penjual es pisang ijo khas Bugis, terutama pada saat bulan Ramadan.
Dalam wawancara dengan informan di Kelurahan Kebon Bawang, diketahui bahwa suku Bugis yang berada di Kecamatan Tanjung Priok berasal dari berbagai daerah, seperti Makassar, Bone, bahkan ada pula yang berasal dari kampung transmigran Bugis di Lampung. Hal tersebut memengaruhi penggunaan bahasa Bugis di Kecamatan Tanjung Priok. Banyak informan yang sudah lupa kosakata bahasa Bugis karena jarang menggunakannya. Zainal Abidin, salah satu informan, menyatakan bahwa pada saat pulang kampung dan bertemu dengan penutur Bugis lainnya maka penggunaan bahasa Bugis akan lebih lancar. Sebaliknya, pada saat wawancara dengan informan dari suku Minahasa di Kelurahan Sungai Bambu diketahui bahwa penggunaan bahasa Minahasa dialek Tountemboan dapat dikatakan masih baik dilihat dari kelancaran informan menjawab pertanyaan. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas pulang kampung yang dilakukan oleh informan ke Manado dan intensitas pertemuan dengan penutur bahasa Minahasa dialek Tountemboan lainnya dalam sebuah komunitas di Jakarta. Velmy Rorimpandey, salah satu informan suku Minahasa di Kelurahan Sungai Bambu, juga menambahkan bahwa lagu bahasa Minahasa dialek Tountemboan masih sering dinyanyikan setiap ada pertemuan keluarga atau komunitas.
Berdasarkan hasil wawancara dalam kegiatan verifikasi pemetaan bahasa tersebut, pemertahanan bahasa Bugis dan Minahasa di Kecamatan Tanjung Priok perlu mendapat perhatian dari banyak pihak, mulai dari keluarga, komunitas, hingga pemerintah daerah setempat sesuai perannya masing-masing.. Bahasa daerah mencerminkan jati diri dan identitas suatu kelompok sebagai bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Ketika bahasa daerah tidak digunakan, hilanglah jati diri dan identitas kelompok meskipun penanda identitas lainnya, seperti pakaian dan makanan, masih tetap digunakan. Nilai, norma, dan kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu suku pun dapat hilang bersamaan dengan ketidakmampuan berbahasa daerah. Dalam hal ini, keluarga dapat berperan mengajarkan kosakata sederhana bahasa daerah, komunitas dapat menjadi tempat praktik penguasaan bahasa daerah, dan pemerintah daerah dapat berperan sebagai pelindung bahasa daerah dengan cara melakukan berbagai fasilitasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan minat dari kelompok bahasa dominan yang ada di wilayah tersebut sehingga penanda identitas dan jati diri kelompok suku tertentu tidak hilang dan dapat terlindungi walaupun tinggal di daerah perkotaan. (SB)