Lisda Hendrajoni: Jika Bahasa Indonesia Tidak Ada, Bagaimana Kita Bersatu?

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa)
melalui Balai Bahasa Provinsi Sumatra Barat menyelenggarakan kegiatan
Diseminasi Pembinaan Lembaga dalam Pengutamaan Bahasa Negara (Program Kemitraan
dengan Komisi X DPR RI) tahun 2023 di Hotel Santika Premiere, Kota Padang pada Rabu, 10 Mei 2023.
Kegiatan ini bertujuan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Badan Bahasa
yang berkaitan dengan bahasa dan sastra di Indonesia, yaitu meningkatkan
literasi kebahasaaan dan kesastraan. Kegiatan ini menyasar 100 peserta yang
terdiri atas para guru, dosen, perwakilan komunitas literasi, tokoh agama,
tokoh adat, dan sebagainya.
Lembaga yang akan
menjadi sasaran pembinaan penggunaan bahasa di ruang publik dan dalam dokumen
lembaga terbagi atas tiga kelompok lembaga, yaitu lembaga pemerintah daerah, pendidikan,
dan swasta. Tiga kelompok lembaga tersebut dipilih berdasarkan tiga
pertimbangan utama, yaitu (1) memiliki dampak besar dan mampu memberikan efek
domino atau berkelanjutan ke lembaga lain; (2) memiliki komitmen untuk menjaga
dan mengutamakan bahasa negara; dan (3) memiliki objek-objek penggunaan bahasa
di ruang publik dan dalam dokumen lembaga yang sering diakses oleh masyarakat. Itulah
yang disampaikan Eva Krisna, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatra Barat.
“Terima kasih
saya ucapkan kepada bapak/ibu yang telah hadir dalam kegiatan ini. Perlu kami
sampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan kemitraan bersama DPR RI yang
berfokus pada pengutamaan bahasa negara di lembaga-lembaga, yaitu lembaga
pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan Lembaga swasta yang diharapkan mampu
berkomitmen dalam mengutamakan bahasa Indonesia, baik di ruang publik maupun
dokumen negara,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Eva menilai saat ini masih banyak lembaga
yang bangga berbahasa asing dalam penjenamaan gedung, mencampurkan bahasa
Indonesia dan bahasa asing, bahkan banyak informasi di ruang pubik yang menggunakan
bahasa asing di jalanan Sumatra Barat, padahal bahasa negara harus diutamakan.
Ia menilai hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pengutamaan bahasa negara.
“Coba Bapak/Ibu perhatikan. Banyak sekali ruang-ruang
publik yang berbahasa asing, padahal belum tentu ada orang asing yang masuk ke
tempat itu. Sebenarnya gedung itu dibuat untuk melayani siapa, sih? Masyarakat lokal
atau orang asing?” tanya Eva kepada peserta.
Eva berharap agar kegiatan ini dapat memberikan pencerahan
kepada peserta tentang pentingnya kedudukan bahasa negara di atas bahasa lain. Ia
juga berharap agar peserta yang hadir di kegiatan tersebut dapat menjadi agen
perubahan dan perpanjangan tangan Badan Bahasa untuk membantu menertibkan
penggunaan bahasa di ruang publik.
“Bapak/Ibu yang hadir di ruangan ini adalah orang pilihan
yang kami harap mampu membantu menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik,
khususnya di lembaga Bapak/Ibu masing-masing. Saya berharap agar ilmu yang
didapat dari pertemuan ini bisa diterapkan,” harapnya.
Senada
dengan hal tersebut, Lisda Hendrajoni, anggota
Komisi X DPR RI, yang menjadi narasumber saat itu turut menanggapi keluhan Eva terkait
maraknya penggunaan bahasa asing di ruang publik. Ia pun turut mengingatkan tentang
pentingnya bahasa negara dalam NKRI. “Saya sangat bangga dapat hadir di
tengah-tengah Bapak/Ibu. Apa yang dikatakan Ibu Eva tadi benar. Di sepanjang
jalan menuju tempat ini memang banyak saya temukan ruang-ruang publik yang
menggunakan bahasa asing. Seharusnya bahasa Indonesia dulu di atas, setelah itu
di bawahnya bahasa asing, tidak masalah. Kita juga perlu tahu dan sadar akan
pentingnya bahasa Indonesia. Kalau bukan karena bahasa Indonesia, bagaimana
kita bersatu?” tanyanya.
Lebih lanjut, Lisda turut bercerita tentang pengalamannya
saat mengenyam pendidikan. Nilai bahasa Inggris lebih tinggi daripada nilai
pelajaran bahasa Indonesia dan itu banyak terjadi di masa sekarang. “Bapak/Ibu,
fenomena yang juga terjadi saat ini adalah nilai pelajaran bahasa Indonesia
siswa-siswi kita lebih rendah, bahkan lebih tinggi nilai bahasa Inggrisnya. Tentu
ini menjadi PR kita Bersama. Mengapa hal tersebut dapat terjadi dan bagaimana
solusinya? Kita sepakat bahwa kemampuan berbahasa seseorang sangat berpengaruh
terhadap kemampuan literasinya,” ucap Lisda.
Lisda berharap agar pertemuan ini dapat menjadi ajang
silaturahmi dan berdiskusi untuk memecahkan permasalahan kebahasaan dan
kesastraan yang ada di Sumatra Barat. “Bapak dan Ibu, saya sangat berharap
pertemuan ini menjadi ajang diskusi untuk memecahkan permasalahan kebahasaan
dan kesastraan yang terjadi selama ini. Saya ingin Bapak dan Ibu fokus sehingga
dapat menyosialisasikan ilmu yang didapat kepada kerabat yang ada di lembaga Bapak
dan Ibu,” harapnya.
Pada sesi diskusi, salah seorang peserta dari kalangan guru turut menceritakan fenomena yang terjadi di sekolahnya. Permasalahan kebahasaan ini terjadi bukan dari kalangan murid, melainkan dari kalangan guru. Ia melihat masih banyak guru yang kurang percaya diri dalam menggunakan bahasa daerah di sekolah. “Saya tertarik dengan apa yang Ibu Lisda sampaikan. Di sekolah kami, kami menerapkan hari berbahasa Indonesia dalam satu hari. Semua elemen sekolah harus menggunakan bahasa Indonesia, tetapi guru-guru banyak yang malu, kurang percaya diri, dan hanya sedikit berbicara,” ungkapnya sembari tersenyum.
Hal
serupa juga diceritakan oleh peserta lain yang mengaku ada rasa yang tidak dapat
disampaikan kepada murid jika menggunakan bahasa Indonesia, seperti saat
menegur murid menggunakan bahasa Indonesia. Para murid berpikir bahwa terguran
itu tidak serius. “Ada fenomena lain yang saya temukan. Jika marah kepada murid
menggunakan bahasa Indonesia, mereka tidak yakin kalau kami marah karena kami
menggunakan bahasa Indonesia. Setelah kami ganti berbahasa Minang, mereka baru sadar.
Ndak sampai raso berang tu kalau babahaso Indonesia do buk ,” ungkapNYA
sambil mengundang tawa peserta lain.
Hal tersebut memang menjadi perhatian bersama.
Pengutamaan bahasa negara dan peningkatan sikap positif masyarakat terhadap
bahasa membutuhkan pembinaan yang serius dan berkesinambungan. Tidak cukup menjadi
tugas Badan Bahasa saja, tetapi harus melibatkan setiap elemen masyarakat yang
mumpuni melakukan perubahan. Lembaga adalah objek vital yang memegang peran
penting dalam penggunaan bahasa yang memiliki ruang-ruang publik yang
berpengaruh terhadap pemajuan bahasa.
Di akhir sesi, Diana, salah satu Widyabasa Badan Bahasa yang juga Penyuluh Bahasa, turut memberikan pemahaman lebih dalam tentang kebahasaan dan kesastraan kepada peserta. Ia membahas materi seputar penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mengenalkan beberapa program prioritas serta beberapa layanan professional yang ada di Badan Bahasa. Sementara itu, Wahyudi (Kasubbag Umum) memberikan materi yang berfokus pada Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang menjadi alat ukur kemampuan berbahasa masyarakat. (DV)
Ilham Sailar
jakarta