Badan Bahasa Bantu Masyarakat Enggano Tentukan Status Bahasanya Sendiri

Badan Bahasa Bantu Masyarakat Enggano Tentukan Status Bahasanya Sendiri

Upaya pelindungan bahasa-bahasa di Indonesia, khususnya di pulau-pulau kecil terluar tidak luput menjadi perhatian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Hal itu terjadi karena pulau-pulau kecil terluar tidak serta-merta terbebas dari ancaman penurunan penggunaan bahasa daerah walaupun tempatnya jauh dari pusat kota. Terlebih lagi, banyaknya program pemerintah untuk membangun pulau-pulau kecil terluar serta perbatasan membuat masyarakat pendatang dari luar pulau banyak berdatangan. Kondisi demikian membuat kontak bahasa antara penutur jati dan penutur bahasa lain menjadi tinggi. Salah satu pulau kecil terluar yang memiliki kondisi demikian adalah Pulau Enggano di Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu, Kajian Vitalitas Bahasa Enggano dilakukan pada tanggal 1—8 Juni 2021 untuk mengetahui status penggunaan bahasa Enggano. Penggunaan bahasa Enggano dapat berstatus aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, atau punah.

Pada dasarnya, status penggunaan bahasa Enggano tersebut ditentukan sendiri oleh penutur bahasa tersebut. Itu karena situasi dan kondisi kebahasaan masyarakat Enggano tentunya lebih diketahui oleh penutur jati bahasa Enggano itu sendiri. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) hanya membantu masyarakat Enggano untuk menentukan status bahasanya sendiri melalui kajian vitalitas bahasa tersebut. Ada beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam kajian vitalitas bahasa Enggano, seperti pengisian kuesioner, kesepakatan penggunaan bahasa di lingkungan masyarakat serta keluarga, dan wawancara dengan pemangku kepentingan setempat. Pengisian kuesioner kajian vitalitas bahasa Enggano mempertimbangkan proporsi usia dan jenis kelamin. Ada tiga kelompok usia yang mengisi kuesioner, yaitu kelompok usia < 20 tahun, 20—39 tahun, 40—59 tahun, dan > 60 tahun dengan pembagian jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, pada setiap kelompok usianya. Adanya proporsi usia dan jenis kelamin diharapkan membuat hasilnya dapat mewakili suara masyarakat Enggano secara keseluruhan. Apalagi, kajian vitalitas tersebut dilakukan di enam desa di Kecamatan Enggano, mulai dari Desa Banjarsari, Desa Meok, Desa Apoho, Desa Malakoni, Desa Kaana, hingga Desa Kahyapu. Dengan demikian, diharapkan penentuan status bahasa Enggano dapat menggambarkan situasi dan kondisi kebahasaan yang sebenarnya.

Selain itu, ada pula tahapan kesepakatan penggunaan bahasa di lingkungan masyarakat serta keluarga. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi pembanding kesesuaian dengan pengisian kuesioner sebelumnya. Dalam hal ini, penutur bahasa diminta menggambarkan denah desanya dan menentukan bersama penggunaan bahasa di setiap tempat sebagai gambaran situasi dan kondisi kebahasaan di lingkungan masyarakat. Berikutnya, kesepakatan penggunaan bahasa di lingkungan keluarga dilakukan dengan cara menentukan penggunaan bahasa pada setiap anggota keluarga mulai dari anak, orang tua, hingga kakek dan nenek. Setiap penggunaan bahasa antaranggota keluarga juga disepakati untuk lebih mengetahui situasi dan kondisi penggunaan bahasa di lingkungan keluarga. Hal itu terjadi karena penggunaan bahasa di lingkungan masyarakat dan keluarga biasanya berbeda sehingga penentuan status penggunaan bahasa dapat lebih komprehensif. Tidak hanya itu, wawancara dengan pemangku kepentingan, mulai dari aparat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta perwakilan penutur jati bahasa Enggano, menjadi salah satu hal yang penting dalam kajian vitalitas bahasa Enggano. Semua elemen masyarakat turut menjadi faktor penentuan status bahasa Enggano.

Hasil kajian vitalitas bahasa Enggano nantinya dapat dijadikan dasar upaya pelindungan bahasa. Apabila status bahasa Enggano dikategorikan dengan status mengalami kemunduran atau terancam punah, upaya pelindungan bahasa selanjutnya adalah konservasi dan revitalisasi bahasa. Sementara itu, apabila status bahasa Enggano dikategorikan dengan status kritis atau punah, upaya pelindungan bahasa selanjutnya hanya dapat dilanjutkan dengan konservasi bahasa. Konservasi bahasa cenderung dilakukan melalui pendokumentasian bahasa dengan penyusunan sistem kebahasaan, sedangkan revitalisasi bahasa dilakukan dengan peningkatan penggunaan bahasa di kalangan penutur muda. Dengan begitu, keberlanjutan upaya pelindungan bahasa penting demi menjaga kekayaan takbenda bangsa Indonesia.(SB)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa