Penyair W.S. Rendra Tutup Usia

Penyair W.S. Rendra Tutup Usia

Penyair dan budayawan yang diberi julukan si “Burung Merak” ini menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis (6/8) pukul 22.20 WIB pada usia 74 tahun. Ribuan pelayat menghadiri proses pemakaman dramawan WS Rendra di kompleks pemakaman keluarga di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) siang. W.S. Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Pada perkembangannya Bengkel Teater dipindahkan Rendra di Depok.Si Burung Merak, demikian dia diakrabi banyak orang, menghentakkan puisi-puisi penuh nilai dan moral serta berenergi dalam membangunkan negeri ini dari tidur pulas karena dipeluk materialisme, ketidakpedulian dan pengabaian, sekaligus menegakkan jiwa-jiwa lunglai karena bekapan tirani, penyimpangan dan kesewenang-wenangan. Penyair yang pernah dimiliki Indonesia ini telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi-puisi dan semua karya sastranya, larut abadi di setiap generasi setelahnya. Jenazah Rendra, Jumat pagi(7/8), disemayamkan di Rumah Lampung, di kompleks Bengkel Teater. Budayawan Emha Ainun Nadjib memimpin doa dan penghormatan menjelang pemakaman. Di sekitar Rumah Lampung warga berjejalan mendengarkan doa dan kesaksian para sahabat Rendra, seperti penyair Sutardji Calzoum Bachri, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif. Setelah shalat Jumat sekitar pukul 14.30, jenazah Rendra dikebumikan di areal bagian belakang kawasan Bengkel Teater. Ribuan orang mengiringi jenazah W.S. Rendra sejak dibawa ke Masjid untuk disalatkan seusai salat Jumat. Salawat serta ayat suci Alquran mengiringi keranda yang membawa jenazah Rendra menuju lokasi pemakaman. Makam Rendra terletak tidak jauh dari makam Mbah Surip yang juga dimakamkan di pemakaman keluarga Rendra, di lokasi yang sama. Kepergian Mas Willy, begitu beliau disapa, tak hanya meninggalkan jejak bagi keluarganya, tetapi juga masyarakat Indonesia. Karya-karya beliau begitu membumi dan kerap menyuarakan masalah sosial. Karya-karyanya yang berbau protes pada massa aksi mahasiswa tahun 1978 membuat Rendra pernah ditahan pemerintah berkuasa. Demikian juga pementasannya yang terkenal berjudul Sekda dan Mastodon dan Burung Kondor pernah dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki. Dibalik itu anugerah penghargaan seni justru mengalir untuk W.S. Rendra yang dikenal sebagai si Burung Merak, antara lain SEA Write Award pada tahun 1996. Sejak disemayamkan di rumah duka, tidak henti-hentinya pelayat mendatangi rumah duka untuk memberikan penghormatan yang terakhir kalinya. Hingga proses pemakaman para anggota keluarga dan kerabat dekat, misalnya Iwan Fals, Emha Ainun Najib, Slamet Raharjo, Eros Djarot, Tarzan, Ian Antono, Miing Bagito, Ikranegara, Putu Wijaya, Odi Agam, dan para pejabat. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, juga terlihat khidmat mengikuti prosesi pemakaman tersebut. Bahkan sang istri, Ken Zuraida, dan Clara Sintha (anak W.S. Rendra) sempat tak kuasa menyembunyikan rasa sedihnya dengan menitikkan air mata. Calon wakil presiden (cawapres) Boediono yang ikut melayat menilai hingga saat ini belum ada yang dapat menggantikan sosok WS Rendra karena Rendra di mata Boediono adalah seorang budayawan besar. "Beliau adalah budayawan yang besar, tidak ada yang bisa menggantikan beliau," kata Boediono. Cawapres dari calon presiden SBY itu juga menilai si “Burung Merak" adalah seorang pejuang keras yang mampu berdiri dengan kaki sendiri, di saat orang lain tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, menurutnya, almarhum semestinya dijadikan teladan oleh anak zaman sekarang. "Ia mampu berdiri di kakinya sendiri di saat orang enggak bisa sendiri. Semestinya anak muda sekarang menjadikan beliau teladan," ujarnya. Sastrawan Danarto yang sempat menengok Rendra saat dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, juga menangkap semangat hidup Rendra yang kuat. ”Saya bawakan dia buah kesukaannya, stroberi dan anggur. Ia berkata, dua kali didatangi almarhum Mbak Narti (Sunarti, istri Rendra). Ia bilang, ’Kelihatannya ajal sudah dekat’.Bagi ”Presiden Penyair Indonesia”, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra adalah penyair besar dengan karya besar. Banyak seniman punya karya besar, tetapi tidak punya kepribadian besar. Rendra mempertautkan orang besar dengan karya besar. Ia seniman yang punya integritas. Sutardji merasa kehilangan sosok orang yang tingkah polahnya bisa menjadi teladan. ”Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar di antara kita,” kata Sutardji. Sementara itu, sastrawan peraih SEA Write Award 2008 dari Raja Thailand, Hamsad Rangkuti, menilai Rendra sebagai budayawan dengan pemikiran yang kritis, tajam, dan menohok. ”Dalam peta seni kontemporer Indonesia, khususnya sastra dan teater, W.S. Rendra adalah salah satu nama terkemuka. Karyanya akan abadi untuk bangsa ini,” kata Hamsad. Tidak ada yang bisa membeli integritasnya sebagai pejuang yang merasa harus melaksanakan suratan tugas yang tergariskan baginya, berupa bakat dan minat dalam kesusastraan. Kata demi katanya, menurut Sapardi Djoko Damono, berupa sihir lebih unggul dari bedil. Kita harus berpuji syukur punya Chairil Anwar, punya W.S. Rendra, punya para seniman pahlawan almarhum/almarhumah lainnya dengan memelihara spirit dan karya mereka. Kini si Burung Merak telah tiada, namun keindahannya lewat puisi dan teater tetap abadi. Seluruh staf Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional ikut berduka dan merasa kehilangan atas berpulangnya W.S. Rendra salah satu tokoh sastra Indonesia. Selamat Jalan W.S. Rendra. Foto diambil dari Kompas.com.(hr.)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa