Konferensi Internasional XX HISKI, Bandung 2009

Konferensi Internasional XX HISKI, Bandung 2009

Perkembangan karya sastra dalam ruang yang sporadis selama lebih dari sepuluh tahun ini meninggalkan jejak yang kerap mencemaskan. Gairah kemunculan para sastrawan muda yang mengusung berbagai kecenderungan tematiknya, ternyata tidak diimbangi oleh institusi yang semestinya melakukan pembacaan ke arah mana perkembangan itu bergerak. Institusi dimaksud adalah dunia kritik. Sehubungan dengan itu Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) Komisariat Bandung merasa perlu menyelenggarakan konferensi internasional. Konferensi yang mengundang sejumlah guru besar kesusatraan, rektor, dan akademisi kebudayaan dari sejumlah perguruan tinggi sebagai pembicara ini, hadir dengan tema "Membaca Ulang Fungsi Sosial Sastra Dalam Menumbuhkan Nilai dan Sikap Kebangsaan". Konferensi ini berlangsung di Isola Resort Hotel, Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 5-7 Agustus 2009. Sejumlah sastrawan, kritikus, dan akademisi, tampil sebagai pembicara dalam konferensi ini. Di antaranya, Prof. Dr. Melanie Budianta, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Prof. Dr. Riris Sarumpaet, Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Prof. Dr. Chaedar Alwasilah, Dr. Haryatmoko, dan penyair Acep Zamzam Noor. Konferensi ini secara tematik membagi dirinya menjadi empat subtema, yang masing-masing diandaikan memiliki benang merahnya untuk menyaran pada tema besar. Secara tematik konferensi ini menekan pada soal fungsi sastra dan subtema pengajaran sastra memang menjadi keperluan untuk dipermasalahkan. Subtema ini akan mengurai sejumlah persoalan dalam pengajaran sastra yang mungkin telah berulang-ulang didiskusikan, diseminarkan, disemilokakan, diworkshop-kan, hingga dikonferensikan. Bentuk pengajaran sastra Indonesia di sekolah sebaiknya dievaluasi. Saat ini, sistem pengajarannya lebih condong mementingkan teori ketimbang praktik. ”Akibatnya, pemahaman siswa pada sastra Indonesia sangat dangkal. Mereka sekadar bisa berbahasa Indonesia, tetapi kesulitan mendalami karya sastra,” kata Rektor Universitas Padjadjaran Bandung Gandjar Kurnia dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XX yang bertema ”Membaca Ulang Fungsi Sosial Sastra dalam Menumbuhkan Nilai dan Sikap Kebangsaan” di Bandung, Rabu 5 Agustus 2009. Gandjar mengatakan, porsi pengajaran sastra Indonesia tidak berimbang. Sebanyak 80 persen masih berupa pengajaran aspek teori, di antaranya sekadar memperkenalkan karya sastra dan siapa pengarangnya. Hanya sekitar 20 persen materi pelajaran yang digunakan untuk mendalami, membuat, dan mempraktikkan karya sastra. Contohnya, pendalaman pembuatan cerita pendek, puisi, hingga pementasan drama sastra. Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, Riris Sarumpaet, mengatakan, pengajaran sastra di Indonesia masih sekadar hafalan dan berorientasi nilai akhir. Akibatnya, pemahaman tentang arti dan kualitas sastra menjadi terabaikan. Seorang siswa akan mendapatkan nilai akhir yang baik apabila bisa menghafalkan judul karya sastra dan memperoleh nilai sempurna dalam ujian teori. Sedangkan pengamat bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia, Chaedar Alwasilah, mengatakan, pemahaman tentang pentingnya karya sastra belum dimiliki akademisi dan ilmuwan Indonesia Jika karya sastra diasumsikan menjadi representasi dari kesadaran ihwal Indonesia, bagaimanakah hal itu mengemuka dalam konteks memandang masyarakat perbatasan atau pesisir? Pertanyaan ini penting dan menarik untuk diurai mengingat betapa karya sastra Indonesia hari ini relatif belum cukup merepresentasikan multikulturalisme yang ada, terutama dalam konteks geokulturalnya. Subtema ini tampaknya akan menguji sejauh mana perkembangan sastra komtemporer hari ini menghadirkan keberbagaian Indonesia. Sementara bagaimana konferensi ini memeriksa kembali hubungan antara sejarah sastra dan sejarah kebangsaan akan menjadi subtema yang menantang. Di sini bagaimana sebenarnya para sastrawan bekerja dan memaknai perannya dalam keperluan membangun gagasan kesadaran nasionalisme. Tentunya sastrawan hari ini amatlah berbeda dengan mereka yang hidup dan berkarya di awal-awal tumbuhnya kesadaran sebuah Indonesia. Hanya soalnya bagaimanakah perbedaan itu dihadirkan, baik dalam bentuk pengucapan atau kesadarannya? Menurut kritikus Acep Iwan Saidi selaku panitia pengarah, konferensi ini juga mengandaikan pembacaan terhadap bagaimana sesungguhnya karya-karya sastra kontemporer melihat kesadaran kebangsaan, yang tentu saja berbeda dengan generasi para sastrawan sebelumnya yang hidup di tengah konteks sejarah yang berbeda. "Dalam karya sastra, sikap nasionalisme selalu tampil dalam bentuk yang lain. Ketika karya berbicara tentang realitas sekeliling, dia sebenarnya sudah menanamkan kesadaran tentang kebangsaan, begitu juga ketika karya mengungkap potensi lokal. Sastra kita menarik jika dikaitkan dan berbicara modernis dan posmodernis. Modernisme antilokal, tetapi dalam perjalanannya, sastra kita sangat lokal. Pada titik itu saya melihat kesadaran kebangsaan kita sangat tinggi," ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Riris Sarumpaet, betapa dalam karya sastra hari ini kesadaran nasionalisme itu tidaklah diungkapkan secara langung. Sesuatu yang berlainan dengan masa-masa generasi Moh.Yamin, Rustam Effendi, hingga Chairil Anwar.(ct)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa